Opini

Bagaimana Menghadirkan Isra' Mi'raj dalam Diri Kita?

Sab, 14 April 2018 | 12:00 WIB

Oleh M. Zidni Nafi’

Semua peristiwa dalam sejarah Islam tidaklah beku tanpa melahirkan berbagai nilai dan makna. Sebagaimana peristiwa Isra' Mi'raj Rasulullah yang bisa membuahkan beragam makna bagi setiap orang terutama umat Islam yang masih memfungsikan akal sehatnya.

Peristiwa Isra’ Mi’raj berlangsung pada tahun 621 M. Pada saat itu Rasulullah berusia 50 tahun atau tahun kesepuluh kenabian. Sudah berlalu lebih dari 1400 tahun silam—dalam hitungan tahun Hijriah— namun peristiwa monumental tersebut tak pernah usang untuk diperingati oleh kaum Muslimin. Berbagai cara pun ditempuh untuk mengenang dan memperingati ‘rekreasi’ Rasulullah yang hanya berlangsung semalam itu.

Isra’ Mi’raj untuk Semua Umat

Bagi sebagian kalangan, ada yang menggelar peringatan Isra' Mi'raj hanya sebatas berupa kegiatan positif, selama tidak bertentangan dengan ajaran agama. Tidak sedikit pula kalangan yang benar-benar merefleksikan (menghadirkan) Isra’ Mi’raj itu ke dalam kehidupannya. Bahkan ada keyakinan bahwa peristiwa yang hanya sekali dilakukan Rasulullah itu bisa juga dilakukan (dinikmati) oleh umatnya.

Lantas bagaimana manusia biasa seperti kita bisa menikmati Isra’ Mi’raj? Jika memang bisa, apakah sama seperti yang dilakukan Rasulullah? Atau Isra’ Mi’raj seperti bagaimana yang memang benar-benar bisa dilakukan oleh umatnya Rasulullah untuk konteks kekinian?

Apalagi ini merupakan peristiwa yang dialami oleh Nabi akhir zaman yang mengemban ‘mandataris’ Allah untuk seluruh umat manusia. Tentu dalam setiap peristiwa yang dialami Nabi Muhammad, tidak lantas berhenti pada peristiwa tersebut. Justru peristiwa seperti itu terdapat pesan tersirat dari Allah untuk dimaknai melalui berbagai cara yang dilakukan oleh manusia.

Dalam konteks ini, Isra’ Mi’raj mengandung pesan sekaligus makna yang begitu luar biasa. Tidak hanya umat Islam, bahkan semua umat beragama juga punya hak untuk menikmati hikmah dari Isra’ Mi’raj. Memang benar, setiap kepala manusia mempunyai refleksi yang berbeda-beda, tergantung kedalaman melihat dari berbagai sudut pandang masing-masing.

Rekreasi Bangkit dari Kesedihan

Kita tahu bersama, Rasulullah pada periode Makkah baru memiliki pengikut (sahabat) sedikit. Dakwah yang disampaikan juga selalu mendapatkan rintangan dan halangan dari kaum kafir Makkah. Tak jarang Rasulullah dan para sahabatnya mendapatkan intimidasi, diskriminasi, bahkan embargo. Nabi semulia Nabi Muhammad dilanda kesedihan dan duka yang mendalam, tatkala pada tahun yang sama, paman yang merawat dan melindunginya sejak kecil, yakni Abu Thalib dan Khadijah sebagi istri tercinta Nabi tutup usia.

Di tengah kabut kepedihan dan kesedihan yang melanda Rasulullah, barangkali Allah mengajak Nabi yang pada saat itu berusia 50 tahun untuk ‘refreshing’ sejenak lewat cara ‘merekreasikan’ Nabi Muhammad dari Masjid al-Haram Makkah menuju Masjid al-Aqsha Palestina, dengan menaiki ‘transportasi super express’ yang bernama “Buraq”.

Bagi kita sebagai manusia, pastilah pernah mengalami kondisi antara suka dan duka. Apalagi tangis, tawa, sedih, bahagia tak pernah lepas dari kehidupan manusia. Beban hidup, gejolak, konflik, tragedi bisa jadi merupakan makanan sehari-hari. Kehilangan jamaah, kerabat, keluarga, bahkan pasangan hidup menjadi sebuah keniscayaan di dunia. Yang abadi hanyalah “Dia” yang berhak untuk abadi.

Hidup tak akan berkesan dan bermakna apabila hanya merasakan kebahagiaan semata, pun hanya kesedihan saja. Keduanya merupakan harmoni kehidupan di dunia ini. Merasakan nikmatnya bahagia, karena tahu bagaimana pahitnya sedih. Begitu pula sebaliknya.

Apa kurangnya Rasulullah Muhammad? Jelas sempurna dan mulia. Tetapi pantaslah sebagai manusia, Rasulullah juga ikut merasakan kesedihan dan kepedihan. Apalagi kita? Tentu, ada titik balik di mana seseorang mengalami “kebangkitan diri”. Allah tidak buta dan tuli. ‘Drama kehidupan’ yang disutradarai Allah ini tentu saja memiliki alur yang tak akan diketahui oleh manusia sebagai aktornya.

Yang jelas, menemukan “momentum” sangat penting. Dalam setiap kepedihan dan kesedihan yang kita alami, haruslah siap menata diri, menyusun strategi menatap dan menjalankan masa depan. Sebagaimana Rasulullah membawa perubahan diri serta para pengikutnya di Makkah supaya bangkit dari ketertindasan dan menjalani fase baru yang lebih baik tatkala hijrah ke Madinah.

 
Hati Nabi Dibersihkan, Lantas Hati Kita?

Dalam perjalanan ‘rekreasi’ di malam hari itu, dada Rasulullah dibelah lalu hatinya dibersihkan oleh Malaikat Jibril yang berperan menjadi ‘biro perjalanan’. Barangkali hati Rasulullah dibersihkan bukan berarti hati Rasul itu kotor karena adanya penyakit hati, tetapi bisa jadi Allah hendak menghilangkan rasa pedih dan sedih yang dialami Rasulullah pada kejadian-kejadian sebelumnya. Entah bagaimana cara Malaikat Jibril membersihkan hati Rasulullah, yang jelas kejadian tersebut memang banyak diriwayatkan dalam hadis.

Rasa pedih dan sedih yang melanda kita tentu tidaklah melekat secara permanen dan abadi. Terutama bagian hati yang paling merasakan gejolak ini. Lantas siapa yang bisa “membersihkan hati” kita yang terselimuti oleh rasa pedih dan sedih tersebut? Apakah perlu memanggil Malaikat Jibril juga? Kita sendiri pun bisa. Tentu kita tidak lepas dari ‘koneksi’ jaringan kuat agar mampu terhubung kepada Allah.

Di samping itu, pengendalian serta pengolahan hati atas suatu kejadian memunculkan kepedihan dan kesedihan haruslah dikelola dengan kesadaran diri. Ada setetes madu di setiap racun, ada setitik cahaya di setiap kegelapan dan ada secercah harapan di setiap kegagalan. Hati tetaplah hati yang murni, sedangkan pedih dan sedih hanyalah debu yang mengotori lapisan hati. Selayaknya Rasulullah memiliki hati yang suci berbalut kesabaran menghadapi kafir Makkah. Maka, menanamkan sebutir benih ketegaran dan kebahagiaan melalui kesabaran lalu kembali menjalani kehidupan merupakan momentum kebangkitan hidup dari keterpurukan.

 
Naik Menuju ‘Langit Sejati’

Dikisahkan bahwa Rasulullah Mi’raj atau naik ke langit dengan berpijak di area Masjid al-Aqsha, masih setia ditemani setia oleh Jibril sebagai ‘pemandu perjalanan’. Tak perlu diperdebatkan lagi secepat apa ‘transportasi’ (Buraq) Rasulullah menuju langit. Yang jelas mukjizat memang di atas kemampuan akal manusia biasa. Meskipun juga dewasa ini sudah banyak argumentasi-argumentasi yang hendak mematahkan atau mengilmiahkan peristiwa 27 Rajab tersebut.

Dalam benak kita, langit merupakan tempat yang tinggi, sulit dijangkau kecuali melalui cara-cara tertentu. Apabila dimaknai, mungkin di antara kita selama ini masih sebatas ‘membumi’ saja. Segala perbuatan entah itu berupa ritual ibadah dan bersosial masih diberlandaskan kepentingan-kepentingan di bumi, yakni hal-hal yang berbau manusiawi. Hal ini memang tidaklah salah. Akan tetapi, “melangitkan diri” kita menuju singgasana tertinggi adalah termasuk follow up (tindak lanjut) dari kebumian diri yang kita alami selama ini.

Agama memang diturunkan dan diperuntukkan untuk manusia. Agama juga memiliki spirit memanusiakan manusia, menjaga stabalitas alam serta yang paling tertinggi adalah sarana untuk menggapai ridha Allah. Pencapaian hidup di dunia tak ada artinya apabila tidak mendapatkan ridha Dzat yang Mahakuasa. Lantas sebenarnya ridha Allah itu bagaimana?

Nampaknya kita sulit mengetahui ‘kode keras’ tatkala Allah memang benar-benar meridhai kita. Yang jelas, kita bisa belajar melalui melandasi segala perbuatan hanya karena mengharap ridha Allah. Ya, memang sulit dan terkesan ‘level’ profesional untuk menyatakan seperti itu. Tatkala segala dilandaskan kepada Allah, nampaknya ‘kepentingan bumi’ juga terbawa dengan sendirinya.

Rasulullah dari bumi naik ke langit tidak lantas ia selama itu hanya berlandaskan kepentingan di bumi. Melalui itu kita bisa belajar bahwa ada kepentingan yang lebih tinggi dan mulia derajatnya dibanding kepentingan-kepentingan bumi yang sesaat.

Di atas langit masih ada langit. Dan di atas langit lagi masih ada Allah Sang pencipta langit. Untuk itu, menarik apabila kita mencoba untuk belajar menuju langit sejati yang bernama “Ridha dari Allah” itu.

Bertemu Para Nabi ‘Senior’ di Langit

Rasulullah selama perjalanan di langit, dia bertemu dengan para nabi yang terdahulu. Diriwayatkan bahwa Nabi Muhammad di langit pertama bertemu Nabi Adam, kedua bertemu Nabi Yahya dan Nabi Zakariya, ketiga bertemu Nabi Yusuf, keempat bertemu Nabi Idris, kelima bertemu Nabi Harun, keenam bertemu Nabi Musa, dan ketujuh bertemu Nabi Ibrahim. Para nabi yang ditemui oleh Nabi Muhammad, semuanya mengucapkan salam kepadanya.

Para 'nabi senior’ sangat berbangga dan senang bisa bertemu dengan Nabi penutup para nabi yang merupakan gelar yang hanya Allah yang memiliki otoritas untuk memberikan gelar tersebut. Nabi-nabi ‘senior’ juga tak lupa memberi pesan kepada Nabi Muhammad dalam membina umatnya nanti. Hal ini wajar, karena nabi-nabi sebelumnya memiliki pengalaman membina umat ketika masih di utus menyampaikan risalah di dunia.

Nabi sebagi Guru Privat

Ini penting untuk dicatat, bahwa dalam menuju ‘langit sejati’ tadi, kita sebaiknya berani membuka diri untuk menerima kritik dan saran dari orang lain, terutama dalam hal ini adalah pentingnya “guru” yang membimbing dan menuntun diri kita supaya sampai pada perjalanan dengan lancar dan selamat.

Tanpa guru, tindakan spekulatif belum tentu mampu mengantarkan kita sampai pada tujuan yang sejati. Guru ini bisa berupa ilmu, sosok ataupun teladan yang bisa dijadikan pedoman yang baik dan benar.

Apa kurangnya Rasulullah? Sehingga mau terbuka untuk berdialog bahkan belajar bersama nabi-nabi yang mendahuluinya dalam rangka menyusun ‘strategi’ dalam membina umat. Kita pun juga bisa seperti itu, di mana penting untuk berpijak pada sejarah umat-umat nabi sebelum kita. Karena para nabi dahulu juga bersusah payah untuk membina dan menyelamatkan umatnya. Kita sebagai umat Nabi Muhammad baiknya berkaca dengan umat terdahulu, supaya ‘tragedi’ pada umat-umat sebelum kita tidak terulang kembali.


Berjumpa Allah, Bisakah Kita?

Puncak ‘rekreasi’ Rasulullah adalah berjumpa (melihat langsung) dengan Dzat Allah secara langsung. Demikian riwayat kuat yang sering dijelaskan diberbagai kitab hadis. Akal kita pasti tidak sampai untuk membayangkan apa yang dialami oleh Rasulullah. Namun yang jelas, ini berkaitan dengan masalah keimanan yang tidak harus untuk dirasionalisasikan oleh akal kita.

Untuk level Nabi Muhammad memang pantas apabila sampai menyaksikan Dzat yang tak ada yang bisa menyerupai-Nya. Untuk kita apakah bisa seperti itu? Bisa, hanya saja caranya berbeda. Dalam pandangan filsafat, pada dasarnya, seluruh entitas (wujud) yang ada di dunia ini merupakan pancaran Tuhan. Tuhan sebagai khaliq ‘bercermin’ lalu terciptalah makhluk-makhluk yang beraneka jenis. Begitu salah satu versi teori yang membicarakan penciptaan makhluk, yang berbeda sebagaimana teori sains yang populer itu.

Melihat manusia tidak sebatas manusia, melihat alam tidak sebatas alam, tetapi sejatinya di balik semua itu ada Allah bersemayam. Tidak heran apabila ada idiom, “Allah itu tidak seperti apa-apa, Allah itu di mana-mana, Allah itu tidak di mana-mana”. Lantas di mana dan bagaimana Allah itu? Ini menjadi pertanyaan dan perdebatan yang tidak akan pernah usai, sampai pada suatu masa di mana kehidupan dunia telah berakhir.

Semakin dalam, cermat dan jernih kita melihat, menyaksikan dan merasakan setiap wujud yang ada di dunia ini, semakin besar potensi kita merasakan kehadiran dan ‘keintiman’ bersama Allah.  Bahkan bagi sufi sampai pada maqom spiritual ‘menyatu’ dengan Allah. Ini sering dialami oleh para sufi, kalangan muslim yang mempunyai ketajaman hati dan kesadaran diri yang sangat tinggi, sehingga berbuah pengalaman spritual yang jarang dirasakan orang beragama pada umumnya.

Diskon Rakaat Demi Umat

Pada perjumpaan awal dengan Allah, Rasulullah diberikan 50 rakaat (ada riwayat yang mengatakan 50 waktu) dalam sehari untuk dijalankan umatnya. Lantas ketika dari Baitul Makmur dan Sidratul Muntaha kembali turun ke langit ketujuh berjumpa kembali dengan Nabi Ibrahim.

Saat itu Nabi Ibrahim ‘merekomendasikan’ supaya Nabi Muhammad kembali menemui Allah untuk meminta perihal 50 rakaat ‘didiskon’ lantaran dalam perspektif Nabi Ibrahim, umat Nabi Muhammad tidak akan mampu melaksanakan ajaran itu. Singkatnya, Allah memberi diskon kepada umat Nabi Muhammad sampai 5 waktu shalat.

Timbul pertanyaan, apakah Rasulullah tidak tahu bahwa umatnya tidak akan mampu melaksanakan 50 rakaat? Sampai-sampai Nabi Ibrahim tidak yakin akan hal itu. Entahlah, yang jelas Nabi Muhammad sudah berusaha memberikan yang terbaik untuk umatnya. Hingga sampai detik ini kita bisa menikmati ‘oleh-oleh’ shalat 5 waktu yang sebagaimana kita jalankan sehari-hari. Tidak bisa dan tidak usah dibayangkan apa jadinya apabila hari ini kita menjalankan shalat sampai 50 waktu.

Di atas hanya secuil makna yang bisa diambil pelajaran yang bisa jadi benar, dan bisa jadi salah. Tiap orang pasti berbeda-beda dalam merefleksikan Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad. Yang pasti, peristiwa tidaklah berhenti pada peristiwa. Isra’ Mi’raj akan terus hidup tatkala kita aktif untuk menggali hikmah dan ‘ibrahnya.

Spritualitas kita berupa ketajaman hati dan kesadaran diri akan terus terasah selama kita tidak berhenti dengan apa yang dilihat oleh mata, disentuh oleh kulit, didengar oleh telinga, dikecam oleh lidah dan dicium oleh hidung. Wallahu a'lam.


Penulis adalah kader PMII kota Bandung, penulis buku "Menjadi Islam, Menjadi Indonesia".