Opini RADIKALISME AGAMA DI INDONESIA (2)

Bahaya Radikalisme Agama terhadap Ketahanan Pancasila

Jum, 26 Mei 2017 | 11:03 WIB

Oleh Muhammad Sahlan
Sebelum lebih jauh membahas radikalisasi tentunya penting diterangkan istilah radikalisasi secara singkat terlebih dahulu. Menurut Afif Muhammad, radikal berasal dari kata radic yang berarti akar, dan radikal sendiri adalah sesuatu yang mendasar atau hingga sampai ke akar-akarnya. Penyusunan predikat “radikal” dapat dikenakan pada pemikiran, yang kemudian ada istilah “pemikiran radikal”, dapat juga pada gerakan, yang kemudian disebut “gerakan radikal”. Dalam Tesaurus Bahasa Indonesia, radikal diartikan sebagai (a) fundamental, mendasar, primer, esensial, kardinal, vital, drastis; (b) ekstrim, fanatik, keras, militan, revolusioner; (c) liberal, maju, progresif, reformis, terbuka; (d) (kaum, orang) ekstrimis, reaksioner, revolusioner. Dengan demikian radikalisme dapat diartikan sebagai sebuah paham atau aliran keras yang ingin melakukan sebuah perubahan sosial atau politik dengan cara cepat, drastis, keras, dan ekstrem.

Dalam konteks radikalisme Islam, adalah upaya orang atau sekelompok orang Islam tertentu yang ingin menerapkan ideologi (syariat Islam) dengan cara cepat, keras, dan ekstrem tanpa melihat atau menerima ide-ide lain dengan berdalih agama. Hal ini bisa menjadi bencana besar bagi ketentraman manusia, jika ditilik kembali tentang definisi kebenaran menurut kelompok radikal. Pemahaman kebenaran dalam agama adalah berasal dari Tuhan. Sedangkan firman Tuhan ada dalam kitab suci. Kemudian, apabila kitab suci mempunyai beberapa tafsir yang berbeda, maka bagi radikalisme agama, paham kelompoknya-lah yang dianggap paling benar. Dengan demikian, jikalau terdapat beberapa kelompok orang  yang berpaham agama secara radikal, kemungkinan berikutnya adalah terjadi sebuah clash atau benturan fisik yang mengakibatkan kekerasan dan perang saudara. Hal ini akan mengakibatkan zaman jahiliah terulang kembali oleh peperangan dan pembunuhan.

Dari pemaparan fakta-fakta radikalisme di Indonesia saat ini menunjukkan bagaimana bangsa Indonesia telah mengalami ancaman besar dari sisi pemuda, yang digadang-gadang sebagai “tulang punggung bangsa”. Merebaknya fenomena radikalisasi Islam di kalangan pemuda terutama terjadi di kampus-kampus besar merupakan sebuah kecolongan besar bagi masa depan bangsa, di mana mereka adalah calon-calon pemimpin masa depan. Jika hal ini terus terjadi kemungkinan besar Pancasila sebagai Philosophische Grondslag atau dasar negara akan segera tergantikan oleh syariat Islam atau khilafah melalui pemimpin-pemimpin yang berpaham fundamental. Dan kemungkinan buruk selanjutnya sesuai premis awal tentang radikalisme, Indonesia akan mengalami beberapa peperangan, benturan fisik, dan pembunuhan antaragama yang ada. Hal ini bisa terjadi karena kondisi masyarakat Indonesia yang beragam, banyak agama juga aliranya.

Pentingnya Semangat Pancasila sebagai Kontinuitas Pembangunan Bangsa

Seorang ahli sosial Indonesia, Ignas Kleden menyatakan bahwa kebudayaan adalah dialektika antara ketenangan dan kegelisahan, antara penemuan dan pencarian, antara integrasi dan disintegrasi, antara tradisi dan reformasi, yang dengan kata lain kedua hal tersebut akan selalu diperlukan. Misalkan jika tanpa tradisi atau integrasi, suatu kebudayaan akan menjadi tanpa identitas, sedangkan tanpa suatu reformasi atau disintegrasi suatu kebudayaan akan kehilangan kemungkinan berkembang dalam merespon jaman dan paksaan perubahan sosial. 

Sebuah negara tidak akan menjadi lebih baik, lebih matang, dan lebih kuat dalam hal kebudayaan apabila setiap hasil kebudayaan yang ada atau kebudayaan masa lalu selalu diganti dengan sebuah kebudayaan baru dengan terus menerus. Kondisi ini telah dan masih terjadi di Indonesia seperti yang diungkapkan oleh Kleden, mengapa sejarah kebudayaan Indonesia modern pada hakikatnya adalah sejarah tanpa kontinuitas. Penyebabnya adalah setiap generasi selalu berusaha membangun sebuah tradisi baru dari nol (awal) dan bukan melakukan dilektika terhadap tradisi sebelumnya. Sikap (1) penolakan terhadap tradisi kebudayaan yang ada atau masa lalu atas dasar semangat modern dapat dilihat dari beberapa kasus misalnya, sering dikutipkanya pemikiran tokoh ekonom Barat daripada Hatta, sering dikutipnya pemikiran nasionalisme ahli Barat daripada Soekarno, sering dikutipnya pemikiran Islam transnasional daripada kiai-kiai yang ada di Indonesia, sering dikutipnya pemikiran kebudayaan Barat daripada (misalnya) pemikiran Ignas Kleden ini, dan masih banyak kasus-kasus penolakan tradisi lainya.

Sikap (2) konservatif alias selalu mempertahankan tradisi kebudayaan masa lalu, dapat dilihat dalam masyarakat yang tidak mau menerima semangat modern: materialis, rasional, dan individual yang memang perlu diserap di era saat ini. Konservatif terhadap tradisi akan berakibat juga dalam tersingkirnya masyarakat tertentu dari pertarungan global. Yang menjadi sebuah catatan dan poin penting adalah sikap masyarakat Indonesia seharusnya bisa berada dalam posisi moderat, dengan melanjutkan tradisi yang sudah ada, melakukan kritik terhadapnya, juga berinovasi.

Ditarik dalam konteks tema ini, Pancasila adalah sebuah hasil pemikiran tokoh pendiri Indonesia dalam merumuskan dasar negara dan pandangan hidup yang juga bisa disebut hasil kebudayaan bangsa Indonesia. Lebih dari itu Pancasila diciptakan sebagai dasar negara yang dimaksud sebagai fondasi negara yang kuat (ideologi), agar rumah kebangsaan yang bernama negara Indonesia dapat kokoh dan abadi, serta melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Kemudian dalam membangun negara dan peradaban tanpa didasari dengan semangat transendental (ketuhanan) dan prinsip-prinsip ruhiah yang kuat adalah ibarat membangun bangunan istana yang rapuh. Sehingga Pancasila merupakan sesuatu yang jelas pokok dan sakral, tidak bisa diubah dalam kondisi apapun. Oleh sebab itu upaya mengganti sebuah dasar negara dengan dasar yang lain sama saja menghancurkan negara Indonesia.

Dari sisi sejarah, pembentukan Pancasila melalui perdebatan cukup menegangkan. Perumusan Pancasila mengalami beberapa ketegangan antara tokoh dari umat muslim dan non-Muslim  dalam menetapkan sila pertama Piagam Jakarta (cikal bakal Pancasila),  yakni “ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya”. Akhirnya dengan usaha keras persuasi Soekarno terhadap perwakilan tokoh Islam di detik-detik awal kemerdekaan Indonesia, tujuh kata di belakang ketuhanan dihapus demi persatuan dan kesatuan mengingat Indonesia baru merdeka. Usaha ini juga jelas menggarisbawahi bahwa Indonesia bukan hanya terdiri dari warga Muslim—meskipun Islam adalah mayoritas—bahwa ada penganut agama-agama lain yang hidup di Indonesia. Mereka semua sebagai warga negara harus memiliki hak yang sama. Upaya untuk mengganti Pancasila dengan Khilafah misalnya, adalah upaya untuk mendiskreditkan pemeluk agama lain atau kelompok lain dalam negara baru yang dicita-citakan oleh kelompok tertentu.

Kembali lagi pada gagasan yang diangkat oleh Kleden tentang kontinuitas tradisi, dengan melakukan kritik terhadap tradisi yang sudah ada, kemudian melakukan reformasi tradisi agar lebih baru dan maju merupakan sebuah upaya positif dalam urun pembangunan. Konsep ini memiliki kesamaan dengan usul fiqih yang menjadi doktrin organisasi kegamaan Islam Nahdlatuh Ulama (NU), al-mukhafadhatu ala-alqadimisshalih wa-alakhdu bil jadidi al-aslah yang artinya memelihara yang lama yang baik dan mengadopsi yang baru dan baik. Konsep “menjaga yang baik” di sini bisa disamakan dengan tetap bertradisi dengan mengkritik tradisi yang tidak kontekstual tentunya bentuk atau kemasanya saja, dan “mengambil yang lebih baik” di sini bisa disamakan dengan melakukan upaya perubahan mencari dan menemukan inovasi baru agar tetap eksis dalam perubahan zaman.

Pemahaman seperti Kleden dan NU tentang kebudayaan di atas dapat menjadi semangat positif dalam melanjutkan tradisi yang sudah ada (Pancasila). Mestinya dengan melakukan kritik dan tafsir ulang untuk disesuaikan dengan permasalahan yang ada. Bentuk konkrit sikap ini, misalnya adalah melanjutkan pemikiran-pemikiran yang telah digagas, semisal Ekonomi Kerakyatan oleh Hatta, Dawam Raharjo, Mobyarto, dsb; Kebudayaan oleh STA, Kleden, Pram, Rendra, Ronggowarsito (Jawa) dsb; Pendidikan oleh Ki Hajar Dewantara, Dr Soetomo, dsb; Filsafat oleh Suryomentaram (Jawa) dsb; Islam oleh Hasyim Asyari, A. Dahlan, Mustofa Bisri, dsb; dan bidang-bidang sosial lainya di mana sesuai dengan konteks sosial budaya Indonesia itu sendiri.

Oleh sebab itu, semangat Pancasila menjadi penting sebagai usaha warga negara dalam memajukan bangsa dan menolak gerakan radikalisme agama. Gerakan radikalisme dalam beberapa kasus juga ingin menyuarakan permasalahan sosial bangsa yang sudah sangat pelik. Lalu, mereka memberi solusi dengan ikut bergabung dalam gerakanya. Dan puncaknya adalah penerapan khilafah atau syariat Islam di dalam negara sebagai solusi atas tidak becusnya sistem demokrasi dan ideologi Pancasila. Namun, apakah sistem baru yang ditawarkan sudah teruji atau diterapkan dengan hasil sebuah kemakmuran bangsa? Tentunya, biaya “peperangan antar suku, agama, aliran” belum juga kegagalan yang diakibatkan, kepentingan global yang mendompleng dibaliknya, lebih baik dialihkan pada usaha kongkrit dalam mengembangkan tradisi yang sudah ada. Terakhir, sebagai negara yang sudah berusia 72 tahun, Indonesia haruslah sudah mandiri di segala bidang. Untuk itu, berusaha berdikari dengan Pancasila adalah suatu keharusan.

“Kita mesti berhenti membeli rumus-rumus asing. Diktat-diktat hanya boleh memberi metode, tetapi kita sendiri musti merumuskan keadaan” (Rendra, Sajak Sebatang Lisong).