Opini

Balada Bangsa Kera

Sab, 14 Juli 2018 | 12:15 WIB

Oleh Al-Zastrouw Ngatawi

Segerombolan bangsa kera saling melempar dengan bongkahan emas dan butiran mutiara. Bongkahan emas dan butiran mutiara itu dibuang ke sana kemari sampai ada yang mengenai kepala dan tubuh sesama mereka.

Sesekali ada yang mengamati bongkahan emas yang berkilau. Dielus dan digosok-gosokkan di tubuhnya yang berbulu lebat. Ada lagi yang mencium bongkahan emas kemudian memandang dan megamati dengan mata memicing karena silau oleh kilatan cahayanya yang indah. Namun kemudian mereka melempar kembali ke tengah gerombolan kera lainnya.

Di sisi lain, kera-kera itu menghambur-hamburkan butiran mutiara seperti bocah-bocah kecil bermain kelereng. Ada yang sesekali menggigit gigit karena dikira buah ceri yang ranum. Namun karena keras kemudian mereka melempar butiran mutiara tersebut hingga mengenai kera-kera lainnya.

Beberapa di antara mereka ada yang terluka dan berdarah karena terkena bongkahan emas dan butiran mutiara. Meski demikian kera-kera itu tak ada yang jera. Mereka tetap saja saling melempar dan membuang bongkahan emas dan butiran permata yang sangat berharga itu.

Suasana semakin kacau ketika mereka menemukan beberapa butir buah pisang di antara bongkahan emas dan mutiara. Mereka saling cakar, saling injak dan saling sikut demi berebut sebutir pisang. Membiarkan emas dan mutiara begitu saja dan hanya dijadikan alat pemukul sesama demi memperoleh sebutir pisang.

Demikianlah bangsa kera. Mereka tidak mengerti dan memahamai nilai bogkahan emas dan butiran mutiara. Mereka tak bisa menikmati indahnya kilauan cahaya emas dan mutiara. Bagi mereka nilai emas dan mutiara sama dengan bongkahan batu dan kerikil yang hanya bisa untuk melempar dan melukai sesama. 

Bagi bangsa kera, sebutir pisang lebih berharga daripada bongkahan emas dan butiran mutiara. Bangsa kera lebih bisa menikmati sebutir pisang yang langsung mengenyangkan perut mereka daripada indahnya kilauan cahaya emas dan mutiara. Itulah sebabnya mereka lebih tertarik pada sebutir pisang daripada bongkahan emas dan mutiara.

Sangatlah bisa dipahami sikap bangsa kera yang demikian karena dia tidak memiliki akal budi yang melahirkan rasa estetik dan etik. Berbeda dengan manusia memiliki akal budi. Melalui akal budi ini manusia bisa membedakan keindahan emas dan berlian dengan batu dan kerikil serta mengetahui nilai dan fungsi emas dan berlian. Meskipun emas dan berlian tidak bisa bikin kenyang seperti pisang namun manusia tidak akan membuang bongkahan emas dan butiran mutiara demi sebutir pisang. 

Selain tidak mengerti nilai emas dan berlian, bangsa kera juga tidak tahu bahwa emas dan berlian itu dibuat dan diambil dari sari pati pasir dan bebatuan melalui proses yang panjang. Diasah, diolah, dan ditempa hingga menjadi barang berharga setelah dicampur dengan beberapa unsur lainnya.

Dalam perspektif religius akal budi ini tercermin dalam iman dan amal shaleh. Manusia akan tetap menjadi makhluk terbaik ciptaan Allah (ahsani taqwim) jika masih memiliki iman dan amal shaleh (menggunakan akal budi). Sebaliknya manusia akan kembali menjadi mahluk yang paling rendah dan hina (asfala safilin) jika tidak lagi memiliki iman dan amal sebagai cerminan dari akal budi (QS At-Thin).

Melihat ramainya perdebatan mengenai Islam Nusantara, maraknya penolakan terhadap Pancasila dan NKRI, getolnya gerakan penghancuran tradisi baik (at-turats al-hasanah) yang ada di masyarakat, saya jadi teringat kelakuan bangsa kera ini. Jangan-jangan selama ini kita telah membuang berbagai khazanah kebudayaan dan pemikiran baik karena tidak tahu keindahan dan ketinggiaan nilai dari kebudayaan dan pemikiran tersebut, seperti kera membuang yang bongkahan emas dan permata yang sangat berharga. 

Kelakuan bangsa yang menghancurkan khazanah kebudayaan yang bernilai tinggi dan menjadikannya sebagai alat menista dan mencaci sesama demi harta, ego, dan jabatan itu seperti bangsa kera yang menggunakan bongkahan emas dan butiran permata untuk melukai sesama demi sebutir pisang.

Sementara itu bangsa lain yang beradab dan berakal budi sibuk memungut khazanah kebudayaan bernilai tinggi yang dibuang dan dijadikan alat memukul sesama. Sebagai orang beradab dan berakal budi mereka bisa melihat keindahan dan keluhuran budaya seperti halnya mereka melihat keindahan emas dan mutiara. Mereka ingin belajar dan memiliki kebudayaan tersebut seperti halnya mereka ingin memiliki bongkahan emas.

Oleh karena itu, ketika kebudayaan tersebut dibuang dan disia-siakan mereka memungutnya dengan penuh suka cita sebagaimana mereka memungut emas dan mutiara yang dibuang oleh bangsa kera. Jika diteruskan bangsa tersebut busa mengalami kebangkrutan budaya dan defisit tradisi. Dan itu artinya mereka akan turun menjadi bangsa yang tak beradab (asfala safilin)

Balada bangsa kera adalah cermin suatu bangsa yang membuang dan menghacurkan khazanah kebudayaannya yang adiluhung kemudian sibuk berebut sebutir pisang. Inilah bangsa yang kehilangan akal budi sehingga tidak bisa menikmati keindahan dan tidak bisa membedakan nilai emas dan mutiara dengan sebutir pisang. Semoga kita terhindar dari bangsa yang seperti ini.


Penulis adalah pegiat budaya, dosen Pascasarjana Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) Jakarta