Opini

Banteng dan Bintang Sembilan

NU Online  ·  Selasa, 9 Desember 2003 | 00:41 WIB

Oleh : Abdul Gaffar Karim MA   

Pernah dalam sejarah Indonesia modern, kaum santri di partai-partai Islam dan kaum abangan di partai-partai nasionalis-sekuler (mohon maaf apabila kategorisasi ini tak tuntas dan tak sepadan) bersatu dalam sebuah koalisi politik. Sayangnya koalisi semacam itu biasanya tak langgeng. Kerapkali ia hanya merupakan sebuah ‘aliansi strategis’ berumur pendek. Itulah yang terjadi di beberapa kabinet tahun 50-an. Itu pula yang terjadi dalam ‘kabinet berkaki empat’ (PNI-NU-Masyumi-PKI) awal tahun 60-an. Di paruh akhir tahun 60-an, kepentingan pengganyangan PKI membawa PNI dan NU pada satu ikatan longgar dalam hingar-bingar sejarah yang penuh darah. Ikatan politik longgar yang sama pula yang berlangsung dalam iterregnum singkat pemerintahan ambivalen Gus Dur-Mega.

<>

Lalu pertanyaannya, bagaimanakah kemungkinan koalisi partai Islam dan partai nasionalis-sekuler pasca 2004? Atau marilah lebih spesifik: bagaimanakah kemungkinan koalisi PDIP-PKB dalam waktu dekat?

Jawaban hipotetik bagi pertanyaan ini adalah: pentas politik Indonesia adalah pentas sekuler. Pemerintahan oleh partai Islam (baik tunggal maupun dalam sebuah koalisi) apalagi dalam semangat ketatanegaraan Islam adalah sebuah anomali. Dengan demikian, tak banyak yang bisa diharap dari sebuah koalisi dengan ikatan beronak-duri antara PKB dan PDIP. Koalisi semacam ini rasanya sulit terjadi dalam waktu dekat. Platform bagi stabilitas koalisi semacam ini belum terbentuk dengan baik di atas pentas politik Indonesia, sebab tak mudah menyatukan cita-cita religiusitas politik (apapun levelnya) dengan sekularitas politik. Dengan demikian, serapi apapun koalisi itu ditata, ia akan selalu goyah.

Selain jawaban hipotetik ini, terdapat pula dua kondisi objektif kontemporer yang membuat kemungkinan koalisi PDIP dan PKB agak kecil. Pertama, baru dua tahun yang lalu PKB tersingkir secara signifikan dari ikatan koalisi longgar dengan PDIP (‘plus’ Golkar dan PAN), yang disimbolkan oleh jatuhnya Gus Dur dari kursi kepresidenan. Terputusnya ikatan koalisi itu berjalan tidak dengan ‘baik-baik’, meski kejadian itu patut pula dikenang sebagai satu-satunya peristiwa sirkulasi ring satu kekuasaan politik negeri ini yang tidak menumpahkan setetespun darah. Yang jelas, hingga saat ini belum pernah dilakukan rekonsiliasi yang cukup serius untuk mengobati cekcok politik di tahun 2001 itu.

Tentu saja perlu diperhitungkan sebuah aspek penting, bahwa dalam politik tak ada musuh dan kawan yang abadi. Sebab, yang abadi adalah kepentingan. Namun sulit membayangkan terbentuknya sebuah konvergensi kepentingan antara PDIP dan PKB dalam waktu kurang dari 5 bulan hingga 5 April 2004. Introduksi sistem pemilihan baru dalam Pemilu 2004 akan membuat partai-partai politik yang ada sibuk dengan kalkulasi sumir tentang kemungkinan rekrutmen politik yang akan berjalan, ketimbang untuk menyelesaikan sisa-sisa masalah akibat ‘perceraian’ di tahun 2001 itu.

Kedua, pemilihan presiden secara langsung Juli 2004 (dan September 2004 apabila mekanisme second ballot terpaksa dijalankan) akan memaksa setiap kekuatan politik untuk sangat berhati-hati dan kalkulatif dalam memilih rekan berkoalisi. Agaknya, berkoalisi dengan PKB bukan sebuah pilihan logis bagi kepentingan PDIP. Mengapa? Dalam pemilihan presiden secara langsung, Megawati sangat mungkin akan menjadi kandidat paling kuat, namun lagi-lagi tidak dengan kekuatan mutlak. Sebagai kandidat dengan kekuatan seperti itu, dan dengan mempertimbangkan pola paket dalam pencalonan presiden-wapres tahun 2004, maka Megawati dan PDIP pasti akan sangat hati-hati memilih rekan untuk disandingkan sebagai cawapres.

Dengan tujuan memastikan stabilitas pemerintahan, maka sangat boleh jadi PDIP akan secara pragmatis memilih bergandeng-tangan dengan kandidat dari Partai Golkar sebagai wapres-tentu dengan deal politik tingkat tinggi. Apabila Partai Golkar memiliki rasa percaya diri sangat besar dan karenanya lebih suka maju dalam paket lain untuk menjadi presiden, maka pilihan berikutnya yang mungkin diambil oleh PDIP adalah menggandeng kandidat dengan latar-belakang karier militer. Jadi, kans persaingan adalah antara koalisi PDIP-Partai Golkar melawan paket calon lain, atau koalisi yang dipimpin PDIP melawan koalisi yang dipimpin Partai Golkar. Dalam peta kedua, sudah pasti berkoalisi dengan PKB bukanlah prioritas bagi PDIP.

(Penulis adalah pakar politik Fisipol UGM)-z.  
Sumber : kd