Opini

Beberapa Persoalan Ketika PMII Ditarik ke NU

Kam, 13 November 2014 | 11:03 WIB

Oleh Muhammad Najih “Setiap gerakan memiliki eranya masing-masing,” begitulah kira-kira ungkapan yang sesuai untuk menanggapi pola gerakan mahasiswa yang sudak terlihat tak se-enerjik era di masa Soekarno dan juga Soeharto.
<>
Begitu juga halnya dengan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), kemandekan gerakan dan tumpulnya inisiasi-inisiasi yang dicetuskan oleh para aktivis mahasiswa yang berada di dalamnya merupakan suatu kenyataan yang sudah tidak dapat dielakkan dari percaturan gerakan mahasiswa.

Namun, semua yang terjadi tentunya bukanlah tanpa sebab, ketidakmampuan mengaplikasikan analisis diri dan analisis sosial sehingga tidak mampu membaca fenomena-fenomena sosial dan juga perubahan zaman mungkin adalah salah satu sebab mengapa stagnasi gerakan itu terjadi. Bahkan hal tersebut berakibat pada tumpulnya gerakan PMII dalam ranah yang lebih aplikatif dan dapat diterima oleh masyarakat.

Selama ini, diakui atau tidak, PMII selalu berfokus pada urusan yang bersifat politis dibandingkan mencari produk gerakan lain yang mungkin akan lebih diperlukan bagi masyarakat luas. Gerakan turun jalan, atau yang sering disebut parlemen jalanan seakan-akan juga masih dianggap sebagai satu-satunya gerakan yang paling mampu mengubah tatanan sosial yang semakin carut marut dari tahun ke tahun.

Kader-kader PMII ternyata tidak mampu keluar dari kungkungan tempurung tersebut sehingga beberapa kali para senior pun yang notabene sudah aktif diranah aplikasi gerakan lain perlu melakukan intervensi terhadap PMII dan menitih adik-adiknya untuk segera melakukan reformulasi gerakan. Bahkan organisasi masyarakat terbesar di Indonesia, yaitu Nahdlatul Ulama (NU) juga merasa perlu untuk ikut campur dalam gerakan-gerakan PMII.

NU melalui IPNU dan IPPNU adalah pencetus berdirinya PMII sebelum pada akhirnya PMII resmi melepaskan diri dari NU karena kader-kader PMII merasa sakit hati kepada NU yang bertransformasi menjadi partai politik. Tetapi meskipun PMII menyatakan keluar dari NU, secara kultural PMII masih memegang nilai-nilai yang ada dalam tubuh NU, bahkan sebagian besar kadernya juga berasal dari kalangan Nahdliyyin.

Campur tangan NU tersebut dapat terlihat dari salah satu keputusan Musyarawarah Nasional dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama (Munas-Konbes NU) yang berlangsung pada 1-2 November 2014 di Jakarta yang memberikan tenggang waktu kepada PMII untuk kembali ke NU sampai Muktamar NU pada 2015 mendatang. Tentunya hal tersebut menuai pro kontra dari berbagai kalangan, khususnya kader-kader PMII sendiri, terlebih keputusan tersebut disertai dengan ancaman bahwa NU akan membuat organisasi kemahasiswaan baru ketika PMII tidak mau kembali ke tubuh NU.

Disadari atau tidak, PMII setelah menyatakan diri terlepas secara struktural dari NU dan meskipun dikatakan mengalami stagnasi gerakan pada tahun-tahun terakhir, PMII sebenarnya telah melakukan metamorfosa dan secara mandiri telah mencoba menata kembali sedikit demi sedikit gerakannya.

PMII yang dulu hanya dikuasai oleh berbagai universitas Islam, kini telah mampu merambah dan sedikit demi sedikit mampu menguasai universitas-universitas umum, seperti UGM, UII dan juga Universitas Brawijaya, meskipun secara kuantitas masih kalah dengan universitas-universitas Islam. Selain karena persaingan yang lebih ketat dan susahnya menjaring kader di kampus-kampus umum, dominasi mahasiswa dari kalangan santri di kampus-kampus islam juga sangat mempengaruhi ketimpangan dalam kuantitas kader ini.


Menyikapi susahnya dalam menjaring kader dari kampus-kampus umum untuk masuk ke dalam PMII, akhirnya PMII mengadakan recruitment bagi seluruh mahasiswa dari kalangan dan latar belakang apa pun untuk dapat masuk menjadi anggota PMII. Tidak memandang bahwa itu dari NU ataupun organisasi keislaman lain, mengingat PMII telah independen dari NU. Misalnya saja yang terjadi di PMII Komisariat Wahid Hasyim-Universitas Islam Indonesia (UII), di PMII banyak kader yang berasal dari Muhammadiyah atau juga yang tidak mengaku sebagai Muhamadiyah dan NU (mungkin bisa disebut nasionalis) tetapi dengan kondisi ini membuat PMII lebih bisa diterima oleh kalangan luas dan lebih mudah menebarkan konsep moderat atau rahmatan lil-alamin yang ada dalam PMII, karena PMII tidak eksklusif yang hanya bisa diikuti oleh orang-orang NU saja.

Pembatasan yang dilakukan oleh NU dengan menuntut kembalinya PMII ke dalam tubuh NU hanya akan menjadi bumerang bagi eksistensi PMII dari kampus-kampus umum. Tentunya juga bagi NU sendiri, mengingat ketika melakukan suatu proyeksi untuk melihat masa depan, PMII, NU bahkan negara sekalipun sangat membutuhkan teknokrat-teknokrat, akademisi-akademisi bahkan birokrat-birokrat handal. Hal semacam itu hanya akan didapatkan melalui jalur profesionalisme dan proses itu diakui atau tidak pada saat ini akan lebih condong dikuasai oleh kampus-kampus umum.

Pertanyaannya kemudian apakah PMII dan NU hanya akan puas melahirkan politisi-politisi handal, sedangkan organisasi-organisasi lain sudah mendominasi dalam hal pembangunan?

Iming-iming akan kuatnya integritas dan kuantitas kader PMII ketika bersedia untuk kembali ke tubuh NU tampaknya hanya akan menjadi sebuah omong kosong belaka melihat suatu kenyataan di mana masih banyak badan otonom NU yang belum jelas ranah geraknya. Contoh saja IPNU dan IPPNU yang meskipun secara terminologis memiliki ranah khusus, yaitu pelajar, tetapi kenyataan di lapangan para penggerak IPNU dan IPPNU terhitung dari Anak Cabang hingga Pengurus Pusat masih didominasi oleh mahasiswa. Selain itu GP Ansor ternyata juga memiliki ranah gerak di wilayah kampus seperti di Universitas Mulawarman, Kalimantan Timur.

Ketika dilihat lebih lanjut ternyata dalam hal ini NU belum mampu menata pola gerak setiap badan otonom yang ada di bawah naungannya sehingga ketika nanti PMII kembali ke NU tidak menutup kemungkinan akan terjadi suatu tumpang tindih gerakan yang akan menganggu stabilitas kaderisasi dalam setiap organisasi tersebut. Sehingga, yang perlu menjadi pekerjaan rumah oleh NU sebelum meminta PMII balik ke rahim NU adalah NU paling tidak, harus menata ranah dan juga pola gerakan badan-badan otonom yang ada di bawah naungannya. Karena isu kembalinya PMII ke NU saat ini sudah tidak bisa lagi dikaitkan dengan “dosa besar” NU di masa lalu yang memilih bertransformasi menjadi partai politik tetapi sudah menyangkut pola kaderisasi di setiap kampus.

Terlepas dari apa pun kepentingan NU sehingga menuntut kembalinya PMII ke tubuh NU bahkan disertai dengan ancaman akan didirikan organisasi tandingan ketika PMII tidak mau kembali ke NU, setiap kader di bawah naungan PMII perlu melakukan analisis lebih lanjut terkait hal tersebut. Jangan sampai keputusan-keputusan yang diambil hanya sebatas untuk mendongkrak kepentingan pribadi sehingga menutup mata dengan dampak yang akan terjadi di masa yang akan datang. Tetaplah menjadi kader PMII yang menguasai gerak dan pikirannya sendiri untuk mencapai ridho sang illahi. Dzikir, fikir dan amal sholeh.

Muhammad Najih, kader PMII Wahid Hasyim-UII

Beberapa Persoalan Ketika PMII Jadi Banom NU

Oleh Muhammad Najih “Setiap gerakan memiliki eranya masing-masing,” begitulah kira-kira ungkapan yang sesuai untuk menanggapi pola gerakan mahasiswa yang sudak terlihat tak se-enerjik era di masa Soekarno dan juga Soeharto.

 

Begitu juga halnya dengan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), kemandekan gerakan dan tumpulnya inisiasi-inisiasi yang dicetuskan oleh para aktivis mahasiswa yang berada di dalamnya merupakan suatu kenyataan yang sudah tidak dapat dielakkan dari percaturan gerakan mahasiswa.

 

Namun, semua yang terjadi tentunya bukanlah tanpa sebab, ketidakmampuan mengaplikasikan analisis diri dan analisis sosial sehingga tidak mampu membaca fenomena-fenomena sosial dan juga perubahan zaman mungkin adalah salah satu sebab mengapa stagnasi gerakan itu terjadi. Bahkan hal tersebut berakibat pada tumpulnya gerakan PMII dalam ranah yang lebih aplikatif dan dapat diterima oleh masyarakat.

 

Selama ini, diakui atau tidak, PMII selalu berfokus pada urusan yang bersifat politis dibandingkan mencari produk gerakan lain yang mungkin akan lebih diperlukan bagi masyarakat luas. Gerakan turun jalan, atau yang sering disebut parlemen jalanan seakan-akan juga masih dianggap sebagai satu-satunya gerakan yang paling mampu mengubah tatanan sosial yang semakin carut marut dari tahun ke tahun.

 

Kader-kader PMII ternyata tidak mampu keluar dari kungkungan tempurung tersebut sehingga beberapa kali para senior pun yang notabene sudah aktif diranah aplikasi gerakan lain perlu melakukan intervensi terhadap PMII dan menitih adik-adiknya untuk segera melakukan reformulasi gerakan. Bahkan organisasi masyarakat terbesar di Indonesia, yaitu Nahdlatul Ulama (NU) juga merasa perlu untuk ikut campur dalam gerakan-gerakan PMII.

 

NU melalui IPNU dan IPPNU adalah pencetus berdirinya PMII sebelum pada akhirnya PMII resmi melepaskan diri dari NU karena kader-kader PMII merasa sakit hati kepada NU yang bertransformasi menjadi partai politik. Tetapi meskipun PMII menyatakan keluar dari NU, secara kultural PMII masih memegang nilai-nilai yang ada dalam tubuh NU, bahkan sebagian besar kadernya juga berasal dari kalangan Nahdliyyin.

 

Campur tangan NU tersebut dapat terlihat dari salah satu keputusan Musyarawarah Nasional dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama (Munas-Konbes NU) yang berlangsung pada 1-2 November 2014 di Jakarta yang memberikan tenggang waktu kepada PMII untuk kembali ke NU sampai Muktamar NU pada 2015 mendatang. Tentunya hal tersebut menuai pro kontra dari berbagai kalangan, khususnya kader-kader PMII sendiri, terlebih keputusan tersebut disertai dengan ancaman bahwa NU akan membuat organisasi kemahasiswaan baru ketika PMII tidak mau kembali ke tubuh NU.

 

Disadari atau tidak, PMII setelah menyatakan diri terlepas secara struktural dari NU dan meskipun dikatakan mengalami stagnasi gerakan pada tahun-tahun terakhir, PMII sebenarnya telah melakukan metamorfosa dan secara mandiri telah mencoba menata kembali sedikit demi sedikit gerakannya.

 

PMII yang dulu hanya dikuasai oleh berbagai universitas Islam, kini telah mampu merambah dan sedikit demi sedikit mampu menguasai universitas-universitas umum, seperti UGM, UII dan juga Universitas Brawijaya, meskipun secara kuantitas masih kalah dengan universitas-universitas Islam. Selain karena persaingan yang lebih ketat dan susahnya menjaring kader di kampus-kampus umum, dominasi mahasiswa dari kalangan santri di kampus-kampus islam juga sangat mempengaruhi ketimpangan dalam kuantitas kader ini.

 

 

Menyikapi susahnya dalam menjaring kader dari kampus-kampus umum untuk masuk ke dalam PMII, akhirnya PMII mengadakan recruitment bagi seluruh mahasiswa dari kalangan dan latar belakang apa pun untuk dapat masuk menjadi anggota PMII. Tidak memandang bahwa itu dari NU ataupun organisasi keislaman lain, mengingat PMII telah independen dari NU. Misalnya saja yang terjadi di PMII Komisariat Wahid Hasyim-Universitas Islam Indonesia (UII), di PMII banyak kader yang berasal dari Muhammadiyah atau juga yang tidak mengaku sebagai Muhamadiyah dan NU (mungkin bisa disebut nasionalis) tetapi dengan kondisi ini membuat PMII lebih bisa diterima oleh kalangan luas dan lebih mudah menebarkan konsep moderat atau rahmatan lil-alamin yang ada dalam PMII, karena PMII tidak eksklusif yang hanya bisa diikuti oleh orang-orang NU saja.

 

Pembatasan yang dilakukan oleh NU dengan menuntut kembalinya PMII ke dalam tubuh NU hanya akan menjadi bumerang bagi eksistensi PMII dari kampus-kampus umum. Tentunya juga bagi NU sendiri, mengingat ketika melakukan suatu proyeksi untuk melihat masa depan, PMII, NU bahkan negara sekalipun sangat membutuhkan teknokrat-teknokrat, akademisi-akademisi bahkan birokrat-birokrat handal. Hal semacam itu hanya akan didapatkan melalui jalur profesionalisme dan proses itu diakui atau tidak pada saat ini akan lebih condong dikuasai oleh kampus-kampus umum.

 

 

Pertanyaannya kemudian apakah PMII dan NU hanya akan puas melahirkan politisi-politisi handal, sedangkan organisasi-organisasi lain sudah mendominasi dalam hal pembangunan?

 

Iming-iming akan kuatnya integritas dan kuantitas kader PMII ketika bersedia untuk kembali ke tubuh NU tampaknya hanya akan menjadi sebuah omong kosong belaka melihat suatu kenyataan di mana masih banyak badan otonom NU yang belum jelas ranah geraknya. Contoh saja IPNU dan IPPNU yang meskipun secara terminologis memiliki ranah khusus, yaitu pelajar, tetapi kenyataan di lapangan para penggerak IPNU dan IPPNU terhitung dari Anak Cabang hingga Pengurus Pusat masih didominasi oleh mahasiswa. Selain itu GP Ansor ternyata juga memiliki ranah gerak di wilayah kampus seperti di Universitas Mulawarman, Kalimantan Timur.

 

Ketika dilihat lebih lanjut ternyata dalam hal ini NU belum mampu menata pola gerak setiap badan otonom yang ada di bawah naungannya sehingga ketika nanti PMII kembali ke NU tidak menutup kemungkinan akan terjadi suatu tumpang tindih gerakan yang akan menganggu stabilitas kaderisasi dalam setiap organisasi tersebut. Sehingga, yang perlu menjadi pekerjaan rumah oleh NU sebelum meminta PMII balik ke rahim NU adalah NU paling tidak, harus menata ranah dan juga pola gerakan badan-badan otonom yang ada di bawah naungannya. Karena isu kembalinya PMII ke NU saat ini sudah tidak bisa lagi dikaitkan dengan “dosa besar” NU di masa lalu yang memilih bertransformasi menjadi partai politik tetapi sudah menyangkut pola kaderisasi di setiap kampus.

 

Terlepas dari apa pun kepentingan NU sehingga menuntut kembalinya PMII ke tubuh NU bahkan disertai dengan ancaman akan didirikan organisasi tandingan ketika PMII tidak mau kembali ke NU, setiap kader di bawah naungan PMII perlu melakukan analisis lebih lanjut terkait hal tersebut. Jangan sampai keputusan-keputusan yang diambil hanya sebatas untuk mendongkrak kepentingan pribadi sehingga menutup mata dengan dampak yang akan terjadi di masa yang akan datang. Tetaplah menjadi kader PMII yang menguasai gerak dan pikirannya sendiri untuk mencapai ridho sang illahi. Dzikir, fikir dan amal sholeh.

 

Muhammad Najih, kader PMII Wahid Hasyim-UII

Beberapa Persoalan Ketika PMII Jadi Banom NU
Oleh Muhammad Najih “Setiap gerakan memiliki eranya masing-masing,” begitulah kira-kira ungkapan yang sesuai untuk menanggapi pola gerakan mahasiswa yang sudak terlihat tak se-enerjik era di masa Soekarno dan juga Soeharto.

Begitu juga halnya dengan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), kemandekan gerakan dan tumpulnya inisiasi-inisiasi yang dicetuskan oleh para aktivis mahasiswa yang berada di dalamnya merupakan suatu kenyataan yang sudah tidak dapat dielakkan dari percaturan gerakan mahasiswa.

Namun, semua yang terjadi tentunya bukanlah tanpa sebab, ketidakmampuan mengaplikasikan analisis diri dan analisis sosial sehingga tidak mampu membaca fenomena-fenomena sosial dan juga perubahan zaman mungkin adalah salah satu sebab mengapa stagnasi gerakan itu terjadi. Bahkan hal tersebut berakibat pada tumpulnya gerakan PMII dalam ranah yang lebih aplikatif dan dapat diterima oleh masyarakat.

Selama ini, diakui atau tidak, PMII selalu berfokus pada urusan yang bersifat politis dibandingkan mencari produk gerakan lain yang mungkin akan lebih diperlukan bagi masyarakat luas. Gerakan turun jalan, atau yang sering disebut parlemen jalanan seakan-akan juga masih dianggap sebagai satu-satunya gerakan yang paling mampu mengubah tatanan sosial yang semakin carut marut dari tahun ke tahun.

Kader-kader PMII ternyata tidak mampu keluar dari kungkungan tempurung tersebut sehingga beberapa kali para senior pun yang notabene sudah aktif diranah aplikasi gerakan lain perlu melakukan intervensi terhadap PMII dan menitih adik-adiknya untuk segera melakukan reformulasi gerakan. Bahkan organisasi masyarakat terbesar di Indonesia, yaitu Nahdlatul Ulama (NU) juga merasa perlu untuk ikut campur dalam gerakan-gerakan PMII.

NU melalui IPNU dan IPPNU adalah pencetus berdirinya PMII sebelum pada akhirnya PMII resmi melepaskan diri dari NU karena kader-kader PMII merasa sakit hati kepada NU yang bertransformasi menjadi partai politik. Tetapi meskipun PMII menyatakan keluar dari NU, secara kultural PMII masih memegang nilai-nilai yang ada dalam tubuh NU, bahkan sebagian besar kadernya juga berasal dari kalangan Nahdliyyin.

Campur tangan NU tersebut dapat terlihat dari salah satu keputusan Musyarawarah Nasional dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama (Munas-Konbes NU) yang berlangsung pada 1-2 November 2014 di Jakarta yang memberikan tenggang waktu kepada PMII untuk kembali ke NU sampai Muktamar NU pada 2015 mendatang. Tentunya hal tersebut menuai pro kontra dari berbagai kalangan, khususnya kader-kader PMII sendiri, terlebih keputusan tersebut disertai dengan ancaman bahwa NU akan membuat organisasi kemahasiswaan baru ketika PMII tidak mau kembali ke tubuh NU.

Disadari atau tidak, PMII setelah menyatakan diri terlepas secara struktural dari NU dan meskipun dikatakan mengalami stagnasi gerakan pada tahun-tahun terakhir, PMII sebenarnya telah melakukan metamorfosa dan secara mandiri telah mencoba menata kembali sedikit demi sedikit gerakannya.

PMII yang dulu hanya dikuasai oleh berbagai universitas Islam, kini telah mampu merambah dan sedikit demi sedikit mampu menguasai universitas-universitas umum, seperti UGM, UII dan juga Universitas Brawijaya, meskipun secara kuantitas masih kalah dengan universitas-universitas Islam. Selain karena persaingan yang lebih ketat dan susahnya menjaring kader di kampus-kampus umum, dominasi mahasiswa dari kalangan santri di kampus-kampus islam juga sangat mempengaruhi ketimpangan dalam kuantitas kader ini.


Menyikapi susahnya dalam menjaring kader dari kampus-kampus umum untuk masuk ke dalam PMII, akhirnya PMII mengadakan recruitment bagi seluruh mahasiswa dari kalangan dan latar belakang apa pun untuk dapat masuk menjadi anggota PMII. Tidak memandang bahwa itu dari NU ataupun organisasi keislaman lain, mengingat PMII telah independen dari NU. Misalnya saja yang terjadi di PMII Komisariat Wahid Hasyim-Universitas Islam Indonesia (UII), di PMII banyak kader yang berasal dari Muhammadiyah atau juga yang tidak mengaku sebagai Muhamadiyah dan NU (mungkin bisa disebut nasionalis) tetapi dengan kondisi ini membuat PMII lebih bisa diterima oleh kalangan luas dan lebih mudah menebarkan konsep moderat atau rahmatan lil-alamin yang ada dalam PMII, karena PMII tidak eksklusif yang hanya bisa diikuti oleh orang-orang NU saja.

Pembatasan yang dilakukan oleh NU dengan menuntut kembalinya PMII ke dalam tubuh NU hanya akan menjadi bumerang bagi eksistensi PMII dari kampus-kampus umum. Tentunya juga bagi NU sendiri, mengingat ketika melakukan suatu proyeksi untuk melihat masa depan, PMII, NU bahkan negara sekalipun sangat membutuhkan teknokrat-teknokrat, akademisi-akademisi bahkan birokrat-birokrat handal. Hal semacam itu hanya akan didapatkan melalui jalur profesionalisme dan proses itu diakui atau tidak pada saat ini akan lebih condong dikuasai oleh kampus-kampus umum.


Pertanyaannya kemudian apakah PMII dan NU hanya akan puas melahirkan politisi-politisi handal, sedangkan organisasi-organisasi lain sudah mendominasi dalam hal pembangunan?

Iming-iming akan kuatnya integritas dan kuantitas kader PMII ketika bersedia untuk kembali ke tubuh NU tampaknya hanya akan menjadi sebuah omong kosong belaka melihat suatu kenyataan di mana masih banyak badan otonom NU yang belum jelas ranah geraknya. Contoh saja IPNU dan IPPNU yang meskipun secara terminologis memiliki ranah khusus, yaitu pelajar, tetapi kenyataan di lapangan para penggerak IPNU dan IPPNU terhitung dari Anak Cabang hingga Pengurus Pusat masih didominasi oleh mahasiswa. Selain itu GP Ansor ternyata juga memiliki ranah gerak di wilayah kampus seperti di Universitas Mulawarman, Kalimantan Timur.

Ketika dilihat lebih lanjut ternyata dalam hal ini NU belum mampu menata pola gerak setiap badan otonom yang ada di bawah naungannya sehingga ketika nanti PMII kembali ke NU tidak menutup kemungkinan akan terjadi suatu tumpang tindih gerakan yang akan menganggu stabilitas kaderisasi dalam setiap organisasi tersebut. Sehingga, yang perlu menjadi pekerjaan rumah oleh NU sebelum meminta PMII balik ke rahim NU adalah NU paling tidak, harus menata ranah dan juga pola gerakan badan-badan otonom yang ada di bawah naungannya. Karena isu kembalinya PMII ke NU saat ini sudah tidak bisa lagi dikaitkan dengan “dosa besar” NU di masa lalu yang memilih bertransformasi menjadi partai politik tetapi sudah menyangkut pola kaderisasi di setiap kampus.

Terlepas dari apa pun kepentingan NU sehingga menuntut kembalinya PMII ke tubuh NU bahkan disertai dengan ancaman akan didirikan organisasi tandingan ketika PMII tidak mau kembali ke NU, setiap kader di bawah naungan PMII perlu melakukan analisis lebih lanjut terkait hal tersebut. Jangan sampai keputusan-keputusan yang diambil hanya sebatas untuk mendongkrak kepentingan pribadi sehingga menutup mata dengan dampak yang akan terjadi di masa yang akan datang. Tetaplah menjadi kader PMII yang menguasai gerak dan pikirannya sendiri untuk mencapai ridho sang illahi. Dzikir, fikir dan amal sholeh.

Muhammad Najih, kader PMII Wahid Hasyim-UII