Opini

Belajar dari Perdebatan Ali Mustafa Yaqub dan Quraish Shihab

Kam, 29 Juni 2017 | 23:00 WIB

Oleh Ach Khairie

Di tengah tercerabutnya akhlak antar sesama hari-hari ini, berusaha mencari teladan dari ulama adalah sebuah keniscayaan. Allah SWT dalam Al-Qur'an mengajarkan akan ketidakbolehan saling mencaci antar sesama karena manusia tidak pernah tahu mana yang terbaik di sisi Tuhan, jangan-jangan yang dicaci adalah kekasih-Nya (lihat Qur’an Surat Al-Hujurat ayat 11).

Buku Wawasan Al-Qur'an: Tafsir Maudhu'i Atas Pelbagai Persoalan Umat karya Muhammad Quraish Shihab dan Hadis-Hadis Bermasalah karya Ali Mustafa Yaqub (1952-2016) merupakan dua karya yang menggambarkan teladan ulama di sekitar kita. Kedua tokoh nasional yang sama-sama sarjana jebolan luar --dalam karya tersebut-- mengalami perbedaan pendapat, namun seringkali perbedaan tersebut tidak dijumpai karena caci-maki tidak beliau berdua jadikan sebagai pemecahan masalah. Sebaliknya, beliau mengemukakan pendapat melalui karyanya, sehingga yang menilai adalah pembaca. Pertikaian yang tidak semestinya pun terhindarkan.

Dalam suatu tema acara "Kultum" yang tayang di RCTI beberapa tahun yang lalu, Quraish Shihab mengatakan bahwa sombong kepada orang yang sombong adalah sedekah. Mengutip hadis, beliau mengatakan Al-takabbur 'ala al-mutakabbir shadaqah. Pernyataan ini merupakan salah satu ungkapan yang sering diungkapkan oleh Quraish Shihab. Meski demikian pernyataan ini tidak lantas merupakan anjuran beliau untuk takabur.

Sebenarnya, jauh sebelum acara itu Quraish Shihab telah mengutip riwayat tersebut, dapat dilihat misalnya dalam karyanya yang dikatakan di awal. Pada halaman 259, tentang bab "Akhlak", beliau mengatakan: "...ditemukan riwayat yang mengatakan bahwa 'bersifat angkuh terhadap orang yang angkuh adalah sedekah'." Meski tidak disebutkan perawinya, namun yang dimaksud "riwayat" di sini adalah hadis.

Dengan kata lain Quraish Shihab meyakini bahwa ungkapan tersebut adalah hadis meskipun periwayatnya tidak dicantumkan. Buku yang telah diterbitkan pada tahun 1996 untuk cetakan ke-13 tersebut mengindikasikan bahwa Quraish Shihab masih konsisten akan validitas riwayat tersebut hingga dikutipnya dalam acara "Kultum" beberapa tahun kemudian.

Menarik dicatat bahwa dalam buku Hadis-Hadis Bermasalah, Ali Mustafa Yaqub menyanggah Quraish Shihab, meski tidak secara eksplisit. Hemat penulis, buku yang diterbitkan pertama kali pada tahun 2003 tersebut menyangsikan keabsahan riwayat dan bahkan sama sekali menegasikan predikat kehadisannya. Menanggapi riwayat tersebut, pada halaman 135, mengutip yang disampaikan al-Qari dari Imam al-Razi, Mustafa Yaqub mengatakan bahwa ungkapan tersebut hanyalah sekadar omongan orang, bukan hadis. Dengan demikian, beliau merasa tidak memerlukan lagi adanya analisis riwayat pada ungkapan tersebut.

Bukti bahwa secara implisit Mustafa Yaqub menanggapi riwayat yang dilontarkan Quraish Shihab dapat dilihat pada halaman 134, beliau menceritakan:

"Jarum jam dinding rumah kami sudah menunjukkan angka sebelas malam. Kami baru saja menutup beberapa kitab yang baru kami baca. Tiba-tiba telepon berdering kencang. 'Assalamu'alaikum, Halo Cak Mus, sudah tidur?" begitu suara menyapa kami dari seberang gagang telepon. Dan setelah memperkenalkan diri, ternyata ia adalah seorang kawan yang tinggal di Tambun, Bekasi. "Cak Mus," begitu dia menyapa kami, "Tadi siang saya mendengar seorang Menteri mengatakan bahwa berperilaku arogan alias sombong itu baik-baik saja, asalkan hal itu dilakukan untuk menyombongi orang sombong. Menteri itu bahkan mengatakan ada hadis Nabi Saw. yang menyebutkan bahwa menyombongi orang yang sombong akan mendapatkan pahala sedekah. Bagaimana menurut Cak Mus, apakah ada hadis seperti itu? Dan bagaimana kualitasnya?" demikian dia memberikan informasi sekaligus rasa ingin tahunya tentang kualitas hadis tersebut."

Siapa menteri dalam cerita tersebut? Jika kita melihat pada tahun terbit buku Hadis-Hadis Bermasalah yakni pada tahun 2003, maka jelas penulisan dilakukan sebelum tahun itu. Buku tersebut merupakan sebuah penelitian beberapa hadis terkenal namun bermasalah, yang tentu memerlukan waktu penulisan yang tidak sebentar.

Apalagi buku tersebut merupakan kumpulan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan masyarakat yang bertanya suatu hadis kepada penulis, Mustafa Yaqub, secara langsung atau melalui telepon. Secara perkiraan maka dapat dikatakan bahwa buku tersebut disusun sekitar satu sampai lima tahun sebelum diterbitkan. Tahun di mana Quraish Shihab menjabat sebagai Menteri Agama, yakni tahun 1998. Dari sini sudah tergambar bagaimana maksud cerita di atas.

Tokoh besar tidak akan menjatuhkan sesama tokoh. Meskipun sarjana lulusan Mesir dan India ini memiliki kapasitas untuk mengambil massa seandainya berkehendak menjatuhkan Quraish Shihab, maka tentu mampu. Tetapi kerendahan hatinya dapat dijadikan teladan. Lebih-lebih, bagaimanapun, Quraish Shihab lebih senior dari beliau. Itu barangkali yang menjadi  pertimbangan dalam kebijaksanaan sikapnya. Mustafa Yaqub menanggapi secara proporsional, yakni dengan cara mencantumkan dalam karya penelitian hadis yang dilakukannya. 

Sehingga orang-orang dapat memilah keabsahan sebuah riwayat tanpa ada caci-maki antar sesama umat, tanpa ada ungkapan bahwa Quraish Shihab adalah orang yang tidak kuat akidah, menyimpang dan sebagainya, sebagaimana baru-baru ini dituduhkan kepada beliau. Jelas yang menuduh demikian adalah orang yang tak berkapasitas intelektual, di samping pemahaman agama yang ‘jauh di bawah rata-rata’.

Tidak ditemukan literatur --setidaknya sejauh pengetahuan penulis-- yang mengandung saling merendahkan di antara keduanya. Bahwa Mustafa Yaqub menghina Quraish Shihab karena tidak hati-hati terhadap riwayat, atau bahwa Quraish Shihab menghina Mustafa Yaqub karena kajian hadisnya tidak mendalam dan kurang rujukan. 

Akhlak beliau berdua itulah yang dapat kita implementasikan dalam kehidupan kita lebih-lebih sesama umat Islam. Terlepas dari semuanya perlu disadari bahwa perbedaan pendapat, persepsi dan ideologi tidak mesti disikapi secara negatif, jika perbedaan agama pun sudah menjadi kehendak Allah SWT. Mempermasalahkannya sama saja dengan menentang kehendak-Nya.

Penulis adalah Mahasiswa IAT di STAIN Pamekasan.