Opini

Belajar dari Suasana Tarawih di Negeri Kinanah

Sel, 14 Mei 2019 | 13:00 WIB

Belajar dari Suasana Tarawih di Negeri Kinanah

Suasana Qiyamul Lail di Salah Satu Masjid di Mesir

Oleh: Muhammad Nur Hayid 

Shalat tarawih merupakan kegiatan rutin kaum muslimin setiap malam di bulan suci Ramadhan. Shalat ini dilakukan karena merupakan sebuah kesunahan dari Rasulullah SAW dengan harapan agar malam-malam yang diturunkan oleh Allah, di malam bulan suci Ramadhan, diisi dengan dzikir, ibadah serta shalat untuk mendekatkan diri kepada Allah.

Sebab bisa jadi dari malam-malam yang dijalani di bulan Ramadhan ini ada satu malam yang lebih baik dari seribu bulan yang sering dikenal dengan malam Lailatul Qadar. Dengan shalat tarawih ini diharapkan orang-orang yang beriman yang siang harinya berpuasa, malam harinya bisa mendapatkan kemuliaan lailatul qadar. Karena sudah menyiapkan diri dengan antisipasi shalat setiap malam melalui shalat tarawih.

Di Mesir, kegiatan ini tidak dikenal dengan nama shalat tarawih, tapi qiyamul lail. Maka dari awal petugas bilal atau Imam, langsung memulai shalat tarawih dengan memberi pengumumam persiapan untuk shalat qiyamul Lail. Sang bilal mengucapkan "Shallu li qiyamil lail". Orang-orang Mesir sudah paham bahwa shalat qiyamul lail di malam bulan suci Ramadan itu maknanya adalah seperti shalat tarawih di Indonesia.

Mengenai jumlah rakaatnya, orang-orang Mesir memilih rakaat shalat tarawih dengan jumlah yang beragam. Namun perbedaan ini tidak mengakibatkan saling menyalahkan dan merasa jumlah rakaatnya lah yang paling benar.

Masjid Al Azhar yang sudah berumur 1079 tahun misalnya, memilih shalat tarawih sebanyak 20 rakaat ditambah 3 rakaat shalat witir. Ini dilakukan dengan dua rakaat satu salam sebagaimana yang dilakukan umumnya di Indonesia oleh warga Nahdlatul Ulama. Di Masjid Sayyidina Husein lebih memilih shalat delapan rakaat dengan empat kali salam atau dua rakaat satu salam dan tiga rakaat witir dalam satu salam.

Semua masjid rata-rata menghatamkan satu juz Al-Qur'an dalam satu malam. Di Masjid Zainab juga di masjid yang lain memilih dengan shalat 23 rakaat yaitu 20 rakaat shalat tarawih dan 3 rakaat shalat witir. Tidak ada yang melakukan empat rakaat sekali salam.

Semua aktifitas shalat tarawih di Mesir berjalan normal, damai dan tidak ada pertentangan sedikitpun, karena mereka memahami bahwa perbedaan bilangan itu adalah kesadaran untuk ber-taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah SWT.

Bagi yang ingin lebih memaksimalkan ibadah di malam bulan suci Ramadhan, mereka memilih untuk shalat sebanyak 20 rakaat ditambah tiga witir. Tapi ada yang merasa cukup dengan delapan rakaat karena pertimbangan bacaan yang panjang-panjang dengan 1 juz setiap malamnya.

Sementara di Zawiyah atau di Indonesia disebut sebagai pondok pesantren menerapkan shalat tarawih setiap malam lebih dari 23 rakaat. Bacaannya pun lebih dari 1 juz. Syeikh Yusri misalnya, tiap malam menjaga malam-malam bulan suci Ramadan dengan qiyamul lail sampai shubuh. Kegiatan shalat diselingi dengan ta'lim dan minimal menghatamkan bersama murid-muridnya tiga juz setiap malamnya. Malah untuk dirinya sendiri bisa lebih dari tiga juz.

Di Negeri Kinanah ini sendiri terdapat empat mazhab yang berlaku. Mayoritas warga Mesir mengikuti mazhab Imam Malik diikuti dengan mazhabnya Imam Syafi'i dan Imam Abu Hanifah, dan terakhir mazhab Imam Hambali. Perbedaan ini dapat terlihat dari amaliah dan cara mereka beribadah.

Sebagai contoh, model shalat yang dilakukan relatif berbeda-beda satu dengan yang lainnya. Ada yang dalam tahiyat akhirnya tidak dalam bentuk duduk iftirasy namun seperti orang yang jongkok di lututnya. Bahkan sudah biasa terlihat ada orang tidur di bagian shaf (baris) pertama, padahal dibelakangnya banyak yang sedang melaksanakan shalat qiyamul lail dengan khusyuk. Dan ini tidak ditegur serta tidak diusir.

Ada juga yang saat shalat hanya memakai celana pendek persis di bawah lutut. Untuk ukuran orang Indonesia, hal ini sangat tidak sopan karena diibaratkan menghadap presiden, gubernur, atau bupati saja harus rapi. Terlebih menghadap Allah SWT.

Orang Mesir pun pasti sudah tahu dalilnya bahwa Allah memerintahkan agar kita menghias dan memperbaiki diri saat memasuki masjid. Orang Mesir pun pastinya mengerti bahasa Arab yang merupakan bahasa Al-Qur'an dan hadits. Namun mereka tidak menyalahkan karena memang dalam mazhab Imam Abu Hanifah, aurat laki-laki bukan antara pusar sampai lutut namun yang penting tertutup. Untuk kategori kepantasan sebenarnya sangat tidak pantas.

Namun secara umum orang Mesir betul-betul, ketika shalat, menjaga diri dengan baik. Mereka menggunakan jubah, bercelana, walaupun masih ada yang mengenakan kaos dengan model celana sedikit di bawah lutut.

Kondisi berbeda pemahaman namun tetap saling menghormati ini menunjukkan kematangan beragama umat Islam di Mesir. Hal ini sesuai dengan kata bijak yang mengungkapkan bahwa semakin orang mengerti agama, maka akan semakin toleran ia. Sebaliknya, semakin orang tidak mengerti agama maka akan gampang dimasuki berbagai paham dan gampang semakin radikal serta mudah menyalahkan orang lain.

Penulis adalah ketua rombongan dai dan imam utusan PBNU untuk mengikuti Pendidikan dan Pelatihan (Tadribut Du'at) di Al-Azhar Kairo, Mesir Ramadhan 1440 H.