Opini

Benarkah Awal Waktu Shalat Subuh Perlu Dikoreksi?

Jum, 26 Januari 2018 | 13:02 WIB

Benarkah Awal Waktu Shalat Subuh Perlu Dikoreksi?

Ilustrasi (via alfetn.com)

Oleh Hendro Setyanto

Beberapa bulan terakhir isu shalat subuh mulai menghangat kembali. Satu permasalahan awal bulan yang belum tuntas, kini mulai menghangat permasalahan baru. Waktu subuh.

(Baca: Muhammadiyah: Penetapan Waktu Shalat Subuh Perlu Dikoreksi) 
Sejumlah penelitian dan kajian telah dilakukan terkait waktu subuh di Indonesia oleh sejumlah pihak dengan menggunakan Sky Quality Meter (SQM) dan fotometri. 

SQM pada dasarnya merupakan alat astronomi untuk mengetahui tingkat polusi cahaya di suatu daerah. Namun sebagai sebuah fotometer, SQM banyak digunakan untuk sejumlah keperluan antara lain pengukuran twilight. Di Indonesia, alat SQM didistribusikan oleh CV. Bintang Areng di Bandung dan dapat diperoleh di antaranya di www.tokoteleskop.com. 

Sejumlah penelitian yang terkait dengan waktu fajar yang pernah dilakukan di antaranya:

1. Dr. Jawahir dkk dari Teknik Geodesi UGM yang juga ketua Lajnah Falakiyah NU (sekarang Lembaga Falakiyah NU/LFNU) Yogyakarta pada tahun 2012 melaui teknik fotografi di pantai Pati menghasilkan  nilai -17 dan -19 derajat ketika fajar mulai dapat dideteksi melalui kamera yang digunakan. 

2. Eka P. Arumaningtyas lulusan Magister Astronomi ITB pada tahun 2011–2012 melakukan penelitian kecerlangan langit fajar dan senja menggunaan SQM di bawah bimbingan Dr. Dhani Herdiwijaya. Beberapa hasil yang diperoleh antara lain: (1) Dari uji laboratorium diketahui  SQM cukup stabil  terhadap perubahan temperatur. (2) Uji linearitas SQM menunjukkan nilai koefisien korelasi sebesar 0,97. (3)  Data kecerlangan langit fajar di tiga lokasi pengamatan; Jombang, Cimahi, dan Lembang diperoleh bentuk kurva kecerlangan langit yang mirip. (4) Perbedaan nilai kecerlangan langit lebih dominan dipengaruhi oleh kondisi cuaca, tingkat polusi cahaya, dan fase kecerlangan Bulan. (5) Kemunculan fajar  bersesuaian dengan nilai depresi matahari 12.70,  hampir bersamaan dengan fajar nautika (nautical twilight).

Nilai yang mirip juga diperoleh  oleh Molana Manzoorul Haq dari Birmingham dan Dr. A.H Sultan dari Universitas Yaman. 

3. Dr. Niha seorang ahli falak dari Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Ponorogo dalam disertasinya pada tahun 2014 yang dibimbing oleh Prof. Thomas Djamaluddin di UIN Walisongo memperoleh nilai yang beragam -18 dan -20 melalui teknik fotografi dan olah data Ermapper. Yang menarik, beliau mengenali adanya keterkaitan kemunculan fajar dengan kelembaban dan suhu, yang juga mempengaruhi ketampakan warna fajar. 

4. Ust.​ AR dari Observatorium Assalaam Kartasura Sukoharjo (Solo) memperoleh nilai -17 secara fotografi dan dengan alat SQM. Observasi dilakukan di beberapa lokasi (Juwiring Klaten, Sarangan Magetan, dan Bromo Pasuruan). Di wilayah yang berpolusi diperoleh nilai -15 derajat. Kajian ini menunjukkan fotografi memiliki sensitivitas sama dengan SQM. 

5. Dr. Dhani Herdiwijaya dkk dari Astronomi ITB  pada tahun 2016 melakukan dengan alat Sky Quality Meter menghasilkan nilai -15 Di daerah berpolusi cahaya tinggi dan -18 di daerah berpolusi cahaya rendah. Kajian ini menunjukkan beda lokasi menghasilkan beda hasil karena dipengaruhi oleh lingkungan sekitar. 

6. Tim ICRN Uhamka memperoleh nilai -13,5 melalui pengamatan dengan SQM.

Hasil manakah yang akan kita ikuti? 

Ragam hasil penelitian meski dengan alat yang sama tersebut sudah diperkirakan pada acara sharing of experiences terkait akuisisi dan reduksi data twilight di Imah Noong pada tahun 2015 yang diisi oleh Dr. Dhani Herdiwijaya dari Astronomi ITB. Dan jika dipublikasi ke masyarakat akan membuat keresahan di tengah masyarakat karena terkait sah dan tidaknya sebuah ibadah. 

Tim Hisab Rukyat Kemenag tampaknya cukup berhati-hati menyikapi permasalahan tersebut sehingga belum menetapkan kriteria yang baru. Untuk mengubah kriteria yang ada diperlukan sejumlah penelitian dan kajian yang lebih mendalam.

Paling tidak ulama falak ketika itu pasti mempunyai pertimbangan sehingga berijtihad menetapkan -20 untuk wilayah Indonesia, Malaysia, Brunei dan Singapore. Mengapa bukan -18 atau -19? Padahal jika kita lihat sejumlah kitab falak nilai ketinggian matahari yang diambil sangat beragam. Kita coba lihat beberapa kitab falak berikut:

1. Durusul Falakiyah -19
2. Manahijul Hamidiyah -19
3. Khulashah Wafiyah -19
4. Tashilul Mualamah -19
5. Anfa'ul Wasilah -20
6. Irsyadul Murid -20
7. Syawariqul Anwar -20
8. Taqribul Maqshad -19
9. Tibyanul Miqot -19

Menurut Dr. Arwin Butar-butar dari OIF UMSU dalam kajiannya terhadap 58 naskah falak diperoleh nilai ketinggian matahari untuk waktu subuh bervariasi dengan nilai tertinggi -17 dan terendah -20. Untuk mengetahui lebih detil mengenai kajian tersebut dapat dibaca dalam buku beliau. 

Dari mana nilai -20 pertama kali muncul? Menurut Cak Hosein, ahli falak dari PCNU Pamekasan nilai -20 derajat tersebut berasal dari Kiai Saadoe'ddin Djambek yang  ittiba' pada gurunya Syekh M Thahir Jalaluddin dalam bukunya Jadawil Pati Kira an, terbitan Ahmadiyah Singapura 1938. Hal senada diungkap juga oleh Dr. Arwin bahwa nilai  -20  terdapat dalam kitab Nukbah Taqrirat yang ditulis oleh Syekh M Thohir Jalaluddin. 

Mengapa para pakar falak di Indonesia dan juga negara tetangga menetapkan nilai -20, bukan -19, -18 atau -17? Sesuatu yang patut dikaji lebih jauh. 

Oleh karenanya, sebelum ada hasil yang pasti kita tidak perlu khawatir dengan jadwal waktu shalat yang ada. Karena nilai tersebut ditetapkan dan disepakati bersama. Tidak perlu ragu. 

Dapat menunda waktu shalatnya sesaat untuk meyakinkan sudah masuk waktu. Akan tetapi untuk puasa jika ragu gunakan kriteria yang ada saat ini, yakni -20, agar jangan sampai kita masih makan ketika sudah masuk waktu subuh.

Insyaallah, tanggal 28 Februari 2018 nanti akan ada Tim Peneliti Fajar dari Malaysia yang akan ke Imah Noong untuk sharing hasil penelitiannya. Apa pun hasil penelitian yang diperoleh, alangkah bijaknya sekira kita tetap menunggu dan mengikuti kesepakatan dan keputusan bersama agak tercipta kebersamaan dan kesatuan umat.



Penulis adalah pengurus Litbang Lembaga Falakiyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama; pendiri observatorium Imah Noong - Lembang