Opini

Benarkah Covid-19 itu Senjata Biologis?

Ahad, 31 Mei 2020 | 11:00 WIB

Benarkah Covid-19 itu Senjata Biologis?

Penggunaan teori konspirasi dalam menganalisis sebuah kejadian hanya mengandalkan koherensi dan mengabaikan korespondensi.

Kala Covid-19 menyerang Indonesia dan dunia, muncul berbagai spekulasi terkait pandemi tersebut. Tidak sedikit yang memandang wabah ini sebagai sebuah serangan biologis terhadap kekuatan politik global. Baginya, apa yang terjadi ini bukanlah bencana murni (by accident), tapi bencana yang direkayasa (by design). Ini adalah aksi serangan biologis dalam peperangan antara China versus Amerika.

 

China yang sukses menurunkan tingkat kemiskinan dari 88% pada 1981 ke 6,5% pada 2012 sesuai laporan Bank Dunia, membuatnya melaju pesat tak tertandingi. Kemampuannya mendidik rakyat menjadi tenaga terampil menjadikannya sukses besar dalam industri manufaktur sehingga menjadi raksasa ekonomi dunia. Capaian yang dahsyat ini menggiringnya pada perang dagang dengan Amerika yang kemudian sering dikaitkan dengan sebab musabab di balik pandemi Covid-19 di mana Amerika menjadi korban terbesarnya. Jatuhnya banyak korban kematian Covid-19 yang melebihi korban Perang Dunia 2 (lebih 100.000 jiwa) adalah serangan telak China atas rivalnya itu, kata sebagian orang. Pandangan semacam ini, yang memandang bencana dengan kacamata konflik global, adalah pandangan yang didasarkan pada teori konspirasi. Dengan cara mengaitkan antara satu fakta dengan fakta yang lain dan mengembangkan sangkaan yang logis tanpa pembuktian empiris yang serius. Mereka bermain pada tataran surface yang dengan mudah bisa diterima oleh khalayak karena seolah rasional.

 

Dalam teori kebenaran terdapat teori korespondensi dan teori koherensi. Kerja ilmiah sebisa mungkin menggunakan keduanya, yaitu kesesuaian pikiran dan fakta (korespondensi) dan hubungan logis antara satu pernyataan dan pernyataan lainnya dalam sebuah argumen (koherensi). Penggunaan teori konspirasi dalam menganalisis sebuah kejadian hanya mengandalkan koherensi dan mengabaikan korespondensi. Tidak heran jika para akademisi kampus jarang sekali menggunakan teori ini kecuali para aktivis dari kalangan mereka. Aktivis yang seringkali menyuarakan kebenaran idealis dan nilai-nilai moral yang kerap bergesekan dengan kekuatan sosial-ekonomi-politik sehingga sulit menghindari penggunaan teori ini. Kecarutmarutan yang ada tidak mudah ditemukan bukti empirisnya. Ibarat bau kentut yang mengganggu, orang tidak punya bukti siapa yang mengeluarkan gas ‘beracun’ itu. Orang hanya bisa menduga karena yang kentut tidak pernah mengaku. Di sinilah diskusi berdasarkan dugaan menjadi jamak dan dimaklumi.

 

Untuk mengatakan bahwa Amerika diserang oleh China lewat virus Corona, secara ilmiah ia tidak bisa hanya berdasarkan pada preseden perang dagang antara Amerika dan China. Ia harus benar-benar ditemukan fakta bahwa China mengirimkan agennya untuk menyebarkan virus tersebut. Jika belum ada yang tertangkap melakukan itu, sulit standar ilmiah menerimanya. Haruskah kenaikan pajak atas produk China yang masuk ke Amerika yang memberatkan pemerintah China dibalas dengan virus yang membunuh 100.000 warga Amerika yang tidak berdosa? Bukankah sebelum merebak ke seantero jagat, China yang terlebih dahulu terkena virus itu? Kalau memang untuk menyerang Amerika dengan senjata biologis itu, mengapa harus China sendiri yang mencicipinya? Apakah tega mengorbankan rakyat sendiri sebagai uji coba sebelum dipakai menyerang lawan? Teori konspirasi hanya menduga-duga tanpa mampu membuktikannya. Mengapa? Karena sangat sulit melakukannya. Hanya lembaga dengan kapasitas luar biasa seperti badan intelijen yang mampu melakukannya karena banyaknya sekat sosial dan birokrasi yang menahannya. Hanya badan intelijen yang manpu menembus sekat seperti itu.

 

Asumsi juga dikembangkan berdasarkan apa yang terjadi Indonesia. Karena Amerika adalah musuh terbesar China, maka virus disebar di sana secara masif sehingga korban tak terhingga. Sementara Indonesia, negara dengan populasi terbesar di dunia nomor empat setelah Amerika, kecil sekali korbannya jika dibandingkan dengan Amerika, Italia, Spanyol, Prancis, Jerman dan Iran. Kalau Amerika yang positif per 28 Mei sebanyak satu juta lebih dengan penduduk 328 juta, mengapa Indonesia hanya positif 25 ribu padahal peduduknya 270 juta? Mengapa tidak 500 ribu lebih sesuai persentase Amerika? Orang mengira bahwa ini ada hubungannya dengan hubungan baik Indonesia dan China sehingga Indonesia tidak diserang secara frontal. Mereka juga beralasan, bahwa jarak China dan Amerika sangat jauh, mengapa yang tertular lebih banyak dibandingkan Indonesia yang lebih dekat. Ini pasti karena Indonesia bukan target serangan China. Indonesia adalah rekanan yang harus dilindungi China karena banyaknya proyek China di Indonesia.

 

Dalam penelitian ilmiah, prasangka-prasangka semacam paling banter bisa dianggap hipotesis atau kesimpulan sementara yang harus ditindaklanjuti dengan pembuktian lapangan. Problemnya, pengguna teori konspirasi cukup puas sampai di situ dan meyakininya sebagai kebenaran. Padahal dalam dunia penelitian, ia masih di awal pendahuluan belum sampai ke pilihan teori apalagi ke paparan hasil temuan lapangan. Karenanya, hasil analisis berdasarkan teori konspirasi tidak pernah dijadikan rujukan ilmiah. Ia hanya beredar dalam perbincangan lepas masyarakat.

 

Banyaknya kerja sama antara Indonesia dan China tidak begitu saja bisa dihubungkan dengan kecilnya jumlah positif Corona di Indonesia. Untuk itu, pertama, harus dibuktikan kebenaran China sebagai penyebar virus. Kalau itu benar, yang layak mendapat serangan hanyalah Amerika yang sedang ada eskalasi dengan China. Sedangkan yang lain, yang terdampak tertinggi seperti negara Eropa, Rusia, Iran, apalagi Brazil, tidaklah masuk karena tidak sedang dalam konflik dengan China. Masak menyerang Amerika sedunia kena semua?! Kalau itu di luar kehendak (unintended consequence), maka China sebagai tertuduh telah terkena terlebih dahulu.

 

Mungkinkah senjata biologis itu bocor sehingga menjadi senjata makan tuan China? Mungkin saja, tapi banyak reka-reka yang lain dan kita tidak bisa hidup di atas reka-reka tapi di atas fakta nyata. Masyarakat Indonesia harus dibiasakan berpikir rasional empiris, bukan liar dan mengembangkan praduga yang efeknya bisa lebih buruk dari masalah yang sebenarnya. Yaitu tatkala orang tidak lagi fokus mengatasinya tapi malah sibuk ngurusin rumor yang tidak jelas itu. Stay focus on the object, guys!

 

 

Achmad Murtafi Haris, dosen UIN Sunan Ampel Surabaya