Opini

Bintang Aksi Massa Indonesia

Sen, 23 November 2020 | 00:00 WIB

Bintang Aksi Massa Indonesia

“Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.”

Apa yang terjadi di negeri ini semasa pemerintahan Jokowi menarik untuk diamati terkait aksi demo yang tidak kunjung berhenti, patah tumbuh hilang berganti. Demonstrasi adalah hak warga yang dilindungi konstitusi yang karenanya tidak perlu pengajuan izin tapi cukup pemberitahuan kepada polisi. Berbeda dengan konser rock atau dangdut dan pertunjukan wayang kulit yang harus izin, maka untuk aksi penyampaian pendapat cukup pemberitahuan selambat-selambat 3x24 jam sebelum aksi. 


Aparat keamanan bahkan ikut mengamankan aksi demo dan mengawalnya hingga selesai. Ini menunjukkan komitmen negara menjalankan amanat Pasal 28E ayat (3) UUD 1945: “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.” Dan Pasal 24 ayat (1) UU HAM: “Setiap orang berhak untuk berkumpul, berapat, dan berserikat untuk maksud-maksud damai.” Tidak hanya itu negara bahkan menghukum mereka yang menghalangi hak warga dalam penyampaian pendapat dengan hukuman penjara paling lama satu tahun (hukumonline.com).


Meski demikian, demonstrasi tidak boleh berisi hasutan dan penyebaran kebencian terhadap individu, kelompok lain dan pemerintah serta larangan membawa benda-benda yang membahayakan. Juga larangan penyebaran paham yang bertentangan dengan ideologi Pancasila seperti tertuang dalam Perppu Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 17 tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan.


Dari larangan-larangan itu, demonstrasi yang dilakukan oleh Front Pembela Islam (FPI) dengan imam besarnya Habib Rizieq Shihab sering bersinggungan dengan larangan yang pertama terkait materi orasi dan sikapnya terhadap pemerintahan Joko Widodo. Sementara untuk larangan kedua, membawa benda-benda berbahaya, kerap dilakukan oleh Anarko Sindikalis yang aksi demonya nyaris seperti memparodikan tawuran pelajar yang diwarnai aksi lempar batu ke polisi, bom molotov, dan bakar-bakar ban. 


Pidato Rizieq yang kerap menyerang pemerintah dan institusi pemerintah seperti kepolisian dan pembelaannya terhadap salah satu calon presiden dan kepala daerah menunjukkan pola pergerakan dan pandangan politiknya. Ini juga menunjukkan keyakinan FPI bahwa misi memperjuangkan ‘syariat’ haruslah lewat perjuangan politik dengan menguasai pucuk kekuasaan negara dan parlemen. Tanpanya, syariat tidak berjalan meskipun masjid di Indonesia berjumlah 700 ribu sebesar jumlah penduduk negara Brunei Darussalam. 


Sedangkan Anarko Sindikalis yang namanya moncer pada banyak demo buruh terutama belakangan menentang UU Cipta Kerja/Omnibus Law on Job Creation, berpaham anti negara. Menarik di sini untuk dicermati betapa apa yang diperjuangkan oleh Front Pembela Islam, Hizbut Tahrir Indonesia, dan partai-partai Islam dari era kemerdekaan hingga kini, yang memperjuangkan nilai Islam dalam legislasi dan program pemerintah, bagi Anarko itu semua adalah bullshit. Pemerintahan apa pun adalah korup tidak perduli yang kapitalis, komunis, atau Islam. Negara beridentitas apa pun hanya akan menjadikan rakyat sebagai sapi perah. Negara melahirkan pemimpin-pemimpin politik yang akan meraup keuntungan dari posisi politiknya masing-masing.


Anarko Sindikalis didirikan oleh Mikhail A Bakunin (1814-1846) yang merupakan lawan debat Karl Marx dalam forum komunis dunia. Bagi Marx untuk mendirikan masyarakat tanpa kelas, aset kaum kapitalis harus disita oleh negara untuk kepentingan rakyat. Bagi Bakunin yang menyita bukanlah negara tapi komunitas-komunitas pekerja atau asosiasi buruh. Konsep negara modern ditolak oleh Bakunin dan sebagai gantinya manusia hidup dalam komunitas-komunitas dan berfokus pada aktivitas ekonomi.


Saya membayangkan masyarakat tanpa negara seperti masyarakat Arab sebelum kedatangan Islam atau bahkan saat Rasulullah memimpin Madinah di mana statusnya sebagai sebuah negara masih diperdebatkan. Mereka hidup bersuku-suku dan tidak berada di bawah kekuasaan negara tertentu. Di antara mereka adalah kaum nomaden yang berpindah-pindah mengikuti arah rumput hijau berada dan cuaca yang nyaman. Di barat ada Afrika, di utara imperium Romawi, dan di timur ada imperium Persia, dan Arab di antara perbatasan wilayah kedua imperium adidaya itu. 


Ignac Goldziher (Hungaria) rekan dari Snouck Hurgronje (Belanda)—keduanya disebut sebagai pendiri kajian Islam di Eropa—menyebut sistem politik Arab pra-Islam dengan Federasi Suku-suku. Masing-masing suku berdaulat dan terhubung satu sama lain dengan garis koordinasi bukan intruksi karena tidak ada hierarki penguasa tertinggi seperti raja. Pemimpin lintas suku lebih sebagai jubir tanpa berkuasa atas suku-suku yang lain selain sukunya. Di Makkah pemimpinnya adalah Abu Sofyan. Sedangkan di Madinah adalah Rasulullah Muhammad. 


Dari sini tampak pandangan politik yang bertolak belakang antara Front Pembela Islam dan Anarko Sindikalis di mana yang pertama sangat state oriented sementara yang kedua justru anti-state. FPI berjuang untuk ke depan bisa berkuasa dan menerapkan ideologi yang dia anut, sementara Anarko berjuang untuk membebaskan manusia dari penguasa negara yang diidamkan oleh FPI. FPI memperjuangkan syariat Islam agar diberlakukan di Indonesia sementara Anarko menyederhanakan perjuangan hanya untuk terjaminnya kebutuhan ekonomi rakyat melalui penghapusan kelas sosial termasuk penguasa politik. Jika FPI sangat dominan figur pemimpinnya, Habib Rizieq Shihab, sementara Anarko anti pemimpin sehingga mereka ketika ditangkap karena kasus pengrusakan fasilitas umum dalam demo yang mereka lakukan, polisi tidak mampu menyebut secara pasti pemimpin mereka. Anggota Anarko seperti gabungan anggota liar yang bergerak untuk sebuah pelampiasan anti kemapanan. Mereka terhubung melalui sandi jejaring dan melampiaskan emosinya dalam aksi demonstrasi. Jika FPI tidak ingin merusak lingkungan dalam aksi demonya, Anarko justru terbalik, pengrusakan adalah cara perlawanan yang sepadan untuk meruntuhkan kaum borjuis. 


Sebagai sesama bintang aksi massa, keduanya adalah warga negara memiliki hak konstitusional seperti yang lain. Bagaimanapun niat baik dan pandangan ideal mereka, mereka hidup bersama yang lain dengan pandangan yang berbeda. Tidak mungkin mereka dilarang dan tidak mungkin mereka melarang yang lain yang menentang pandangan mereka. Karena aksi massa adalah legal maka ia harus diatur agar yang legal itu tidak merugikan orang lain. Dan aturan main yang dibuat untuk memfasilitasi hak ekspresi dan politik harus ditegakkan. Hobi pemikiran, bikin forum diskusi. Hobi dakwah, bikin majelis taklim atau kelompok pengajian. Hobi bernyanyi, bikin grup band dan lembaga seni bernyanyi. Hobi politik, bikin partai dan ikut pemilu. Semua sudah ada salurannya yang legal dan tinggal diikuti untuk kebaikan Indonesia dan semua. 


​​​​​​Achmad Murtafi Haris, dosen UIN Sunan Ampel Surabaya