Opini

Cara NU Mempengaruhi Kebijakan Publik tentang Pengelolaan Sampah Plastik

Rab, 20 Maret 2019 | 05:55 WIB

Oleh Ahmad Rozali

Sabtu lalu, seekor paus berparuh Cuvier muda sepanjang 4,5 meter mati di perairan Filipina. Hasil autopsi mengungkapkan, bahwa kematiannya disebabkan oleh 40 kilogram sampah yang ada di perut dalam paus muda ini, yang meliputi kantung plastik belanja, empat karung pisang, dan 16 karung beras. Kejadian serupa juga terjadi pada November tahun lalu, saat seekor Paus Sperma di Wakatobi, Sulawesi Tenggara mati karena hal yang sama. Ia mengonsumsi 5.9 kilogram sampah yang terdiri dari gelas dan botol plastik, plastik keras, serpihan potongan kayu, sandal jepit, nilon dan tali rafia 

Kematian kedua paus di atas memperkuat temuan Jenna R Jambeck tahun 2015 lalu yang menyatakan bahwa Indonesia merupakan negara terbesar kedua yang menyumbang sampah di laut setelah China. Selain itu ia menambah daftar panjang hewan laut yang terbunuh (yang sempat tercatat) akibat pembuangan sampah plastik ke laut lepas. 

Mengutip data dari D’Bone Collector Museum, National Geographic menulis bahwa selama satu dekade terakhir, sebanyak 57 paus dan lumba-lumba mati setelah mengonsumsi sampah plastik serta jaring ikan. Dalam sebuah laporannya pada 2016, media ini juga mengungkapkan bahwa ada lebih dari 30 paus terdampar yang memiliki sampah plastik di perutnya. Sejak saat itu, kasus serupa banyak ditemukan dan semakin banyak pula hewan laut yang menjadi korban sampah plastik.

Bertentangan dengan kemaslahatan bersama 

Nahdlatul Ulama sebagai sebuah organisasi keagamaan melihat pentingnya mencari jalan keluar atas masalah ini. Dalam bahasa yang akrab dengan pesantren keberadaan sampah yang berlebihan dan pembuangannya ke laut bertentangan dengan kemaslahatan umum (al-mashalih al-ammah) yang merupakan tujuan dari pemerintahan dan kehidupan bermasyarakat.

Syakir Rais Aam PBNU 1999-2014 KH Sahal Mahfudz, dalam Nuansa Fiqih Sosial, mengatakan bahwa kemaslahatan umum merupakan kebutuhan nyata masyarakat dalam suatu kawasan tertentu untuk menunjang kesejahteraan lahiriahnya. Berkurangnya sampah plastik atau pengelolaan yang baik tentu akan melahirkan kesejahteraan. Ikan akan melimpah, sampah juga bisa jadi barang yang bernilai, kerusakan alam juga berkurang, dan seterusnya.

Hal ini yang mendorong lahirnya sebuah keputusan Alim Ulama NU tentang sampah plastik, hasil dari pembahasan masalah dalam Bahtsul Masail Komisi Waqiiyyah. Dalam pembahasannya ada lima pertanyaan yang membutuhkan jawaban fiqih mengenai sampah, khususnya sampah plastik. 

Berikut keputusan keliman pertanyaan beserta jawaban yang dihasilkan dalam Bahtsul Masail tersebut: 

1.Bagaimana hukum membuang sampah sembarangan, terutama sampah plastik, menurut fiqh?
Jawaban :
a. Haram, apabila nyata-nyata (tahaqquq) atau diduga kuat (dzan) membahayakan baik jangka pendek maupun jangka panjang.
b. Makruh, apabila kemungkinan kecil (tawahhum) membahayakan.
c. Apabila sudah ada peraturan pemerintah atau PERDA, maka wajib ditaati. 

2. Bolehkah pemerintah menerapkan sanksi kepada oknum yang membuang sampah sembarangan?
Jawaban: Diperbolehkan, karena sanksi tersebut mengandung unsur maslahat. Mengenai sanksi denda diperbolehkan berdasarkan Muktamar ke 32 di Makasar Sulawesi.

3. Bolehkah pemerintah menerapkan sanksi kepada produsen atau industri yang tidak mengelola sampah kemasan atau produksinya sebagaimana pasal 15 Undang-Undang RI No 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah?
Jawaban: Boleh, sebab sanksi dalam undang-undang merupakan kebijakan pemerintah yang mengandung kemaslahatan umum sekaligus menghilangkan kemudharatan dari rakyat.

4. Bagaimana hukum masyarakat memboikot kepada perusahaan yang tidak mengelola dan menanggulangi sampah kemasan atau produksinya?
Jawaban: Diperbolehkan, selama tidak ada unsur memaksa pada orang lain.

5. Ketika mengakibatkan dampak negatif yang disebabkan kurang seriusnya pengelolaan sampah, siapa pihak yang harus bertanggung jawab?
Jawaban: Semua pihak yang terlibat dalam terjadinya dampak negatif, baik produsen maupun pelaku.

Kelima pertanyaan dan jawaban ini mencoba membuat regulasi (dalam perpektif agama) dari berbagai kelompok yang terlibat termasuk pemerintah, pelaku usaha yang menghasikan sampah dan masyarakat sebagai pengguna. 

Fatwa ini penting disampaikan kepada masyarakat Indonesia mengingat banyaknya jumlah muslim di Indonesia yang mencapai 87 persen, atau sekira 207 juta jiwa dari total 238 juta jiwa berdasarkan sensus 2010 lalu. Artinya ratusan juta jiwa tersebut kurang lebih akan memperhatikan produk hukum yang keluar dari agama yang dipeluknya.

Dengan demikian, pemerintah hanya perlu menggunakan keputusan ini dan menyebarkannya sebagai imbauan kepada masyarakat luas untuk mengurangi terjadinya pembuangan sampah terutama sampah plastik ke laut lepas. Ke depan, perlu dilakukan kolaborasi terutama antara NU dan Pemerintah dalam melakukan program pembangunan kesadaran akan pentingnya pengelolaan sampah dengan pendekatan berbasis keagamaan. 

Di samping itu, semangat ini sejatinya sejalan dengan cita-cita pemerintah untuk mengurangi pembuangan sampah di laut. Dalam G-20 Summit tahun 2017 di Jerman, Presiden Joko Widodo menyampaikan komitmen Indonesia akan mengurangi limbah melalui reduce-reuse-recycle sebanyak 30 persen dan menargetkan pengurangan sampah plastik di laut sebanyak 70 persen pada 2025. 

Penulis adalah redaktur NU Online