Opini

Cinta Indonesia sebagai Bagian Keimanan Seorang Muslim

Rab, 9 Oktober 2019 | 15:00 WIB

Oleh Fathoni Ahmad
 
Cinta terhadap tanah air Indonesia bukan cinta yang buta, tetapi cinta yang dilandasi dasar agama. Sebagaimana maqolah yang dikatakan oleh KH Hasyim Asy’ari, “Cinta negara merupakan bagian dari pada iman” (Hubbul Waton Minal Iman).
 
Spirit inilah yang membawa para ulama Islam di Indonesia dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia, menjaga kemerdekaan dan mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berdasar Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, dan UUD 1945. Bahkan, Fatwa Resolusi Jihad KH Hasyim Asy’ari pada 22 Oktober 1945 menyatakan dengan tegas bahwa membela Tanah Air merupakan kewajiban agama.
 
Dalam menjaga NKRI tersebut, NU sebagai jam’iyyah diniyyah ijtima’iyyah (organisasi sosial keagamaan) bukan ‘penjaga biasa’. KH Achmad Siddiq, seorang ulama yang telah merumuskan naskah Hubungan Pancasila dan Islam menegaskan bahwa NU bertugas memperkuat dan merajut berbagai elemen bangsa untuk menyadari bahwa cinta tanah air merupakan salah satu upaya aktualisasi nyata keimanan seseorang. Sehingga cinta tanah air berlaku untuk seluruh kaum beragama di Indonesia.
 
Kiai Achmad Siddiq sendiri yang sejak muda telah terlibat dalam perjuangan NU juga turut membidani penyusunan Pancasila. Sehingga beliau memahami betul proses ‘Khittah 1926’ dengan menuliskan Khittah Nahdliyyah, risalah penting untuk memahami Khittah NU dan penerimaan Pancasila sebagai asas tunggal organisasi dengan menyusun deklarasi hubungan Pancasila dengan Islam, dengan bantuan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), dan kawan-kawan, termasuk KH Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus).
 
Setidaknya ada beberapa alasan mendasar NU membahas Pancasila ke forum tertinggi organisasi di level Muktamar. Dasar bahwa Pancasila mampu mempersatukan seluruh bangsa tidak cukup bagi sejumlah ormas Islam di Indonesia kala itu. Meskipun NU sendiri tidak pernah mempersoalkan keberadaan Pancasila karena dirancang sendiri secara teologis maupun filosofis oleh KH Abdul Wahid Hasyim, ayah Gus Dur.
 
Tentu menjelaskan hubungan Islam dan Pancasila tidak semudah membalikkan telapak tangan. Karena jika hal ini berhasil dilakukan NU, ormas Islam di Indonesia merasa terbantu menjelaskan hubungan keduanya dengan dasar yang syar’i. Sebab itu, Pancasila dengan lima sila-nya sebagai dasar berbangsa dan bernegara harus juga dijelaskan keselarasannya dengan pondasi agama Islam oleh organisasi keagamaan sekaliber NU.
 
Riwayat ketika Gus Dur memutuskan bahwa Pancasila itu Islami dan final diceritakan oleh Gus Mus (Lihat, KH Husein Muhammad, Gus Dur dalam Obrolan Gus Mus, 2015). Bahkan, Gus Mus sendiri merupakan pelaku sejarah dalam perumusan Pancasila sebagai asas tunggal organisasi dalam Muktamar NU 1984 tersebut. Dia salah satu kiai yang ditunjuk oleh Gus Dur untuk menjadi anggota dalam tim perumusan deklarasi hubungan Islam dan Pancasila.
 
Kala itu, Gus Dur sendiri yang memimpin subkomisi yang merumuskan deklarasi hubungan Islam dan Pancasila. Upaya itulah yang hingga saat ini menjadikan NU sebagai civil society dengan peran kebangsaan tanpa melibatkan diri dalam politik praktis.
 
Pancasila merupakan ideologi dan dasar negara yang menjadi asas bangsa Indonesia. Deklarasi hubungan Islam dan Pancasila dalam pandangan Kiai Achmad Siddiq bukan berarti menyejajarkan Islam sebagai agama dan Pancasila sebagai ideologi. Karena hal itu dapat merendahkan Islam dengan ideologi atau isme-isme tertentu. Problem ini seiring dengan isu yang berkembang di kalangan umat Islam saat itu.
 
Dorongan yang dilakukan NU mendapatkan perlawanan dari sejumlah pihak yang beranggapan bahwa menerima Pancasila sebagai asas tunggal berarti menyamakan Islam dengan ciptaan manusia. Mereka beranggapan bahwa kelompok yang menerima asas tunggal Pancasila sebagai kafir, sedang kalau menerima keduanya berarti musyrik. Tentu hal ini dibantah oleh Kiai Achmad Siddiq sebagai cara berpikir yang keliru.
 
Dengan cara berpikir keliru tersebut, Kiai Achmad Siddiq menegaskan kepada seluruh masyarakat bahwa Islam yang dicantumkan sebagai asas dasar itu adalah Islam dalam arti ideologi, bukan Islam dalam arti agama. Ini bukan berarti menafikan Islam sebagai agama, tetapi mengontekstualisasikan Islam yang berperan bukan hanya jalan hidup, tetapi juga sebuah ilmu pengetahuan dan pemikiran yang tidak lekang seiring perubahan zaman.
 
Ideologi adalah ciptaan manusia. Orang Islam boleh berideologi apa saja asal tidak bertentangan dengan Islam. Terkait Islam diartikan sebagai ideologi, Kiai Achmad Siddiq memberikan contoh Pan-Islamismenya Jamaluddin Al-Afghani. Islam ditempatkan oleh Al-Afghani sebagai ideologi untuk melawan ideologi-ideologi lainnya. Karena saat itu dunia Timur sedang berada dalam penjajahan dan tidur nyenyak dalam cengkeraman penjajahan artinya tidak tergerak untuk melawan kolonialisme.
 
Maka tidak ada jalan lain menurut Jamaluddin Al-Afghani membangkitkan semangat Islam secara emosional, yaitu dengan mencantumkan Islam sebagai asas gerakan Pan-Islamisme. Sejak itu Islam mulai diintrodusir sebagai ideologi politik untuk menentang penjajah. Bukan seperti ulama-ulama di Indonesia yang menggunakan Islam sebagai spirit menumbuhkan cinta tanah air dan nasionalisme. Spirit yang ditumbuhkan para kiai untuk melawan penjajah tidak membawa Islam sebagai ideologi politik pergerakan, melainkan aktualisasi Islam dalam wujud cinta tanah air untuk melakukan perlawanan terhadap penjajah.
 
Sebagai salah satu tokoh arsitek Khittah NU 1926 dan juga berperan penting dalam ikut merumuskan pondasi hubungan Islam dan Pancasila, KH Achmad Siddiq menyampaikan sebuah pidato. Berikut salah satu cuplikan pidato Kiai Achmad Siddiq yang begitu berkesan bagi umat Islam Indonesia, khususnya Nahdliyin (1999):
 
“Dengan demikian, Republik Indonesia adalah bentuk upaya final seluruh nation (bangsa), teristimewa kaum muslimin, untuk mendirikan negara (kesatuan) di wilayah Nusantara. Para Ulama dalam NU meyakini bahwa penerimaan Pancasila ini dimaksudkan sebagai perjuangan bangsa untuk mencapai kemakmuran dan keadilan sosial.”
 
Penulis adalah redaktur NU Online