Opini

Demokrasi Deliberatif di Kalangan Nahdlatul Ulama

Jum, 8 September 2017 | 04:00 WIB

Demokrasi Deliberatif di Kalangan Nahdlatul Ulama

Ilustrasi (Foto: headlinejabar.com)

Oleh Amin Mudzakkir

Penolakan kebijakan "full day school" (FDS) oleh kalangan Nahdlatul Ulama (NU) di berbagai kota menarik diamati. Berkebalikan dengan demo 212 yang riuh rendah oleh sentimen sektarian dan bahkan makar, demo FDS berjalan tanpa menimbulkan kekhawatiran. Di satu atau dua tempat memang terjadi isiden yang menjurus pada ujaran kebencian, tetapi secara umum aksi yang melibatkan puluhan atau bahkan ratusan ribu orang tersebut berlangsung tertib penuh kemeriahan.

Lebih dari itu, demo FDS lahir dari kritik terhadap sebuah kebijakan, bukan antipati terhadap seseorang atau segolongan. Kebijakan yang dikeluarkan oleh Menteri Pendidkan dan Kebudayaan dianggap tidak mengakomodasi suatu tradisi pengajaran yang berkembang di kalangan NU selama ini. Kebijakan ini diminta untuk dibatalkan.

Presiden Jokowi menanggapi demo FDS yang diadakan di berbagai kota itu secara serius. Dia mendengarkan apa yang sesungguhnya dimaui oleh kalangan NU tersebut, sambil pada saat yang sama melakukan hal yang serupa dengan Muhammadiyah dan kalangan Islam lainnya. Dia sadar kekuasaannya tidak akan berjalan efektif jika ormas-ormas Islam tersebut diabaikan aspirasinya. Akhirnya dia mengeluarkan sebuah kebijakan tentang budi pekerti sebagai pengganti kebijakan yang dipermasalahkan itu.

Saya melihat dinamika yang terjadi di seputar FDS ini merupakan contoh kongkret demokrasi deliberatif. Dalam model demokrasi ini, sebuah keputusan yang berimpilkasi pada kehidupan publik harus diperdebatkan terlebih dahulu oleh publik itu sendiri. Publik di sini bukan hanya pemerintah atau DPR/DPRD, tetapi seluruh elemen masyarakat, termasuk ormas-ormas keagamaan. Perdebatan tidak melulu diselenggarakan di gedung yang nyaman, tetapi juga di media dan di jalanan.

Dalam beberapa kasus, saya menyaksikan Jokowi mempraktikkan model demokrasi deliberatif seperti itu. Mungkin penyebabnya adalah kurangnya perencanaan ketika menyusun kebijakan, sehingga menimbulkan kontroversi tidak karuan, tetapi yang penting adalah penyelesaiannya. Demokrasi deliberatif membuka ruang partisipasi seluas-luasnya kepada seluruh elemen masyarakat di luar mesin kerja birokrasi yang cenderung teknokratis. Oleh karena itu, aksi massa terkadang dibutuhkan sebagai alat penekan ketika saluran-saluran politik formal mengalami kemacetan.

Namun bagian paling menariknya adalah kenyataan bahwa kalangan NU telah mempraktikkan model demokrasi deliberatif itu tanpa, saya kira, mempelajarinya secara teoretis seperti tertulis dalam literatur ilmu sosial dan filsafat Barat. Mereka hanya berangkat dari keresehan yang dialami sehari-hari sebagai akibat dari implikasi kebijakan yang keliru, lalu keresahan itu dibingkai oleh pemahaman keagamaan mengenai relasi rakyat dan penguasa seperti mereka pelajari dalam khazanah keilmuan pesantren (Islam sunni). Hasilnya adalah sebuah tradisi kritik dalam demokrasi yang membangun, bukan menjatuhkan.

Penulis adalah peneliti LIPI