Opini

Dialektika Al-Qur’an dengan Budaya

Kam, 27 Desember 2018 | 00:00 WIB

Oleh Mukhammad Lutfi

Al-Qur’an merupakan bukti mukjizat yang paling nyata, mulia, dan agung yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW. Bahkan, Al-Qur’an dianggap sebagai mukjizat yang lebih agung daripada mukjizat-mukjizat sebelumnya.

Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah-nya mengatakan, bukti mukjizat yang paling agung, paling mulia, dan paling nyata adalah Al-Qur’an yang diturunkan kepada nabi kita Muhammad SAW. Sebab, peristiwa-peristiwa ajaib yang menyalahi adat kebiasaan, pada umumnya terpisah (berbeda) dari wahyu yang diterimanya. Mukjizat didatangkan sebagai saksi akan kebenarannya. Al-Qur’an sendiri mengklaim sebagai wahyu. Ia peristiwa ajaib yang menjadi mukjizat. Buktinya adalah dirinya sendiri. Ia tidak membutuhkan bukti lain di luar dirinya seperti mukjizat-mukjizat lain dalam kaitannya dengan wahyu. Oleh karena itu, ia merupakan bukti yang paling nyata, karena antara bukti (dalil) dengan yang dibuktikan (madlul) menyatu dalam satu entitas.

Apa yang dikemukakan oleh Ibnu Khaldun tentang “kesatuan dalil dan madlul” di atas membuktikan bahwa kebenaran Al-Qur’an tidak memerlukan bukti di luar dirinya, justru dia sendirilah yang membuat sendiri bukti kebenarannya. Lantas apa hubungan antara mukjizat Al-Qur’an dengan budaya?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, mari kita tengok ke persoalan hubungan mukjizat dengan kebudayaan, bukan saja dalam konteks wahyu Islam –Al-Qur’an– saja, akan tetapi dalam konteks wahyu-wahyu sebelumnya. Ternyata mukjizat memang merupakan konsep kebudayaan yang dirancang, kemudian diwahyukan kepada nabi dan rasul untuk disampaikan kepada umatnya.

Nasr Hamid Abu Zaid, 1987 dalam Mafhum an Nash Dirasah fi Ulum Al-Qur’an menjelaskan seperti ini; mukjizat dalam konteks wahyu tidak menyimpang dari batas-batas kerangka yang menjadi karakteristik kebudayaan dimana wahyu tersebut diturunkan. Oleh karena itu, mukjizat Nabi Isa a.s. adalah menyembuhkan penyakit dan menghidupkan kembali orang yang telah meninggal karena karakteristik kebudayaan umatnya ketika itu unggul dalam ilmu kedokteran. Nabi Musa a.s. memiliki keunggulan dalam masalah sihir, tapi kemudian apa yang dimiliki Musa a.s itu pada hakikatnya bukan sihir. Mukjizat Musa a.s. pun sejenis dengan kepandaian kaumnya kala itu, yaitu mereka sangat maju dalam bidang sihir.

Lantas bagaimana dengan Nabi Muhammad SAW. Al-Qur’an diwahyukan kepada Muhammad SAW kemudian disampaikan kepada bangsa Arab yang memiliki keunggulan  dalam bersyair ataupun berpuisi, maka mukjizat yang diturunkan pun berupa teks bahasa yang merupakan teks wahyu itu sendiri. Inilah yang menjadi dasar Nasr Hamid Abu Zaid mengemukakan pendapatnya bahwa konteks wahyu tidak menyimpang dari batas-batas kerangka yang menjadi karakteristik kebudayaan dimana wahyu tersebut diturunkan.

Senada dengan Nasr Hamid Abu Zaid. Az Zarkasyi, 1972 dalam Al-Burhan fi Ulumil Qur’an menyatakan demikian; ada alasan (mengapa mukjizat –Al-Qur’an– berupa teks), sebab bangsa Arab pandai berbahasa dan bersilat lidah, sebagaimana ada alasan bagi munculnya mukjizat Nabi Isa, karena banyak ahli kedokteran; dan bagi Nabi Musa karena banyak tukang sihir. Allah menciptakan mukjizat para nabi untuk menghadapi kepandaian populer, sebagai bentuk keahlian yang paling diunggulkan  pada zaman dimana seorang nabi  akan diutus.

Al-Qur’an –pada masa Nabi Muhammad SAW– diturunkan kepada bangsa Arab yang pandai bersastra –berbahasa dan silat lidah– maka tidak mengherankan jika kemudian mereka menyebut Nabi Muhammad SAW dengan Al-Qur’annya pada kala itu sebagai sebagai penyair dan peramal. Tentunya penyebutan itu mereka lontarkan berdasar pada “persamaan” yang bangsa Arab tangkap antara teks Al-Qur’an dengan teks-teks penyair dan tukang ramal. 

Sastra –syair/puisi– adalah ontologi bangsa Arab atau bisa disebut juga pengetahuan tunggal bangsa Arab –kala itu–. Ini menunjukkan bahwa syair/puisi merupakan teks kebudayaan dalam masyarakat Arab pra-Islam. Meskipun teks Al-Qur’an memiliki kemiripan dengan syair/puisi dari esensinya sebagai komunikasi, akan tetapi Al-Qur’an menolak dirinya disebut  syair/puisi dan menolak Nabi Muhammad SAW disebut penyair.

Dari sinilah kemudian muncul istilah penyebutan yang berbeda untuk syair/puisi dengan Al-Qur’an. Istilah qafiyah berubah menjadi fashilah dalam Al-Qur’an, bait menjadi ayat, dan qashidah menjadi surat. Dari segi penyampaiannya, penyair sebutan untuk pembawa/pencipta puisi, sedangkan bagi Al-Qur’an Muhammad adalah penyampai risalah (Nasr Hamid,1993).

Lantas apakah Islam dengan Al-Qur’an dan Muhammadnya, melarang syair/puisi dan penyair? Sudah pasti tidak. Yang dilarang kemudian adalah esensinya. Jika esensinya –syair/puisi dan penyair¬– adalah kebencian, hasud, dan cenderung mengantarkan ke dalam keburukan, maka yang dilarang adalah kebencian, hasud, dan keburukannya. Jika esensinya mengantarkan kepada kebaikan dan mendekatkan kepada Tuhan, maka puisi tak ubahnya adalah nasihat dalam berkehidupan.

Berangkat dari penjelasan di atas, Al-Qur’an tak ubahnya strategi kebudayaan. Al-Qur’an adalah mukjizat yang berakulturasi dengan manifestasi kebudayaan bangsa Arab. Al-Qur’an menolak disebut syair/puisi akan tetapi di dalamnya mengandung nilai sastrawi sebagaimana bangsa Arab maju dalam bidang sastra kala itu. Yang kemudian ditolak Al-Qur’an adalah hal-hal yang mengantarkan kepada keburukan.

Konsep akulturasi budaya seperti inilah yang kemudian menginspirasi dakwah Wali Songo di Jawa, dan penyebar Islam lainnya di Indonesia. Yang kemudian dalam perjalanannya muncul kaidah “al-muhafadhatu ‘ala qadimis shalih wa al-akhdzu bi jadidil ashlah”. Wallahu A’lam.


Penulis adalah mahasiswa Bahasa dan Sastra Arab UIN Maulana Malik Ibrahim Malang