Opini

Dilema Kepemimpinan di Palestina Kini

Jum, 21 Mei 2021 | 05:30 WIB

Dilema Kepemimpinan di Palestina Kini

Tokoh sekaliber Yasser Arafat yang mampu menjadikan Hamas mendukungnya sepenuh hati belum tergantikan.

Palestina-Israel terus bergolak tiada henti. Ada yang mengatakan itu suratan takdir. Sampai hari kiamat ia akan terus begitu. Pertanyaannya siapa yang diuntungkan dengan perang ini? Yang beruntung adalah yang kuat, yaitu Israel. Sementara Palestina, pihak yang lemah, ia hanya berhitung kerugian. Telah berapa nyawa yang melayang? Tanah yang hilang? Warga yang terusir? Generasi yang stunting? Dan sumber daya yang terbuang? 


Apakah dibiarkan korban nyawa terus berjatuhan di pihak Palestina sebagai syahid? Sampai berapa syahid yang akan terjadi? Sampai semua menjadi syahid dan Palestina lenyap? Atau ditahan laju bilangan jatuhnya korban nyawa warga Palestina demi masa depan Palestina?


Sumber New York Times menyebutkan bahwa 212 nyawa melayang dalam pertempuran 8 hari terakhir (semenjak 10 Mei) dengan hanya 12 nyawa melayang di pihak Israel. Hamas meluncurkan 3.300 roket dan mayoritas berhasil ditangkis oleh Iron Dome alat pertahanan udara Israel. Israel menggempur lokasi vital Gaza dan meruntuhkan gedung yang diyakini tempat bersembunyi pimpinan Hamas di samping kantor media internasional seperti Aljazeera. Gaza yang berpenduduk 2 juta menjadi sasaran rudal Israel yang telah menghancurkan rumah penduduk, fasilitas kesehatan, air minum, dan kamp pengungsi. Sejauh ini Israel telah menghancurkan 132 gedung dan membuat 2.500 warga Gaza kehilangan tempat tinggal. Israel berdalih bahwa serangan yang dia lakukan untuk melumpuhkan kekuatan Hamas dalam meluncurkan roket-roketnya dan merusak jalur bawah tanah tempat lalu lalang manusia yang membawa peralatan tempur. 


Apa yang dilakukan oleh Hamas adalah perlawanan militer. Di sana ada langkah diplomasi yang dilakukan berbarengan dengan itu oleh Palestine Liberation Organization (PLO). Pihak Hamas yang pada 2006 memenangkan pemilu Palestina berideologi Islam serta berpandangan tidak mengakui keberadaan Israel dan harus dilenyapkan. Konsekuensi darinya adalah penolakannya terhadap segala upaya perdamaian dengan Israel. Pandangan ini tentu tidak hanya menuntup peluang dilanjutkannya perundingan damai Israel-Palestina, tapi juga menganggap apa yang telah dicapai selama ini gugur adanya. Kabinet Ismail Haniyyah, perdana menteri Palestina dari Hamas, tidak diakui oleh Israel. Perundingan damai pun terhenti seiring dengan itu. 


Hamas tidak ingin menempuh perundingan karena ia hanya akan memperkuat legitimasi Israel atas tanah pendudukan. Di samping perundingan itu menjadikan seolah nasib Palestina ada di tangan Israel  dan belas kasihannya. Hamas ingin  agar kemerdekaan Palestina benar-benar karena perjuangan bukan karena konsesi Israel. Permasalahannya kemudian, perlawanan Hamas banyak mengorbankan rakyat sipil bahkan anak-anak kecil. Jika saja korban mayoritas dari tentara Hamas mungkin lain perkara. Israel bahkan menuduh Hamas sengaja bersembunyi di pemukiman masyarakat dan menjadikan masyarakat sebagai tameng keselamatan mereka. Entah sejauh mana kebenaran itu, bisa jadi pula Israel sengaja membombardir pemukiman masyarakat agar jatuh korban banyak dan memaksa Hamas untuk berhenti melepas roket ke arah Israel, sebagai balasan roket Hamas juga menyasar warga sipil Israel.  Terlepas dari itu, yang pasti warga Palestina banyak yang dikorbankan sehingga Qatar dengan segera membujuk Hamas untuk menghentikan serangan roketnya. 


Serangan militer Hamas setidaknya menunjukkan adanya dualisme dalam perlawanan atas Israel. Presiden Mahmoud Abbas dari kelompok Fatah yang berhaluan kooperatif dengan Israel tampaknya tidak mampu mengendalikan Hamas yang berhaluan non-kooperatif. Ini juga menunjukkan krisis kepemimpinan Palestina di mana Hamas sebagai kekuatan setara Fatah tidak menerima jalur diplomasi yang diperjuangkan pemerintah yang didominasi Fatah.


Saat Yasser Arafat masih ada, Hamas tunduk pada kepemimpinannya dan loyalitasnya menjadi modal kepemimpinan terbesar dalam memimpin Palestina di bawah wadah PLO yang diakui dunia sebagai “jubir” Palestina. Sementara sekarang wilayah Tepi Barat dikuasai Fatah sedang Gaza dikuasai Hamas. Antara keduanya terjadi rivalitas akut hingga jatuh korban nyawa yang 200-an pasca kemenangan Hamas pada pemilu 2006 yang berujung penghentian Ismail Haniyyah dari posisi Perdana Menteri. Penghentian yang tidak diakui oleh Hamas yang tentunya mengakibatkan krisis kepemimpinan Palestina hingga kini. Tidak heran jika dalam hubungan internasional Hamas juga melakukanya sendiri dan mengadakan kerjasama dengan Kedutaan RI. Suatu hal yang oleh perwakilan RI tidak bisa diterima sepenuhnya karena hubungan G yo G hanya bisa melalui pemerintahan otoritas Palestina yang dipimpin oleh Mahmoud Abbas. Akhirnya dibuat jalan tengah Hamas diberi tempat dalam Pusat Kebudayaan Palestina di bawah Kedutaan Besar Palestina yang kata orang Hamas banyak diisi orang Fatah. 


Yasser Arafat yang meninggal pada 11 November 2004 meninggalkan problem konsolidasi nasional. Setidaknya dalam meredam aksi perlawanan bersenjata yang dilakukan oleh Hamas, presiden Mahmoud Abbas tidak mampu mengendalikan itu. Padahal jalur perundingan damai yang dimulai semenjak 1993 telah menghasilkan terbentuknya Otoritas Nasional Palestina dan Dewan Nasional Palestina atau parlemen. Jika perundingan berlanjut dengan segala aral yang sangat mungkin terjadi di tengah perjalanan seperti kasus sengketa tanah Shaykh Jarrah, kemungkinan perundingan akan berkembang ke arah positif demi berdirinya negara Palestina yang benar-benar berdaulat. Bukan semi-negara seperti sekarang di mana orang asing yang berkunjung ke Yerusalem meminta visa ke kedutaan Israel bukan ke kedutaan Palestina.


Friksi dan konflik antara sesama pejuang kemerdekaan lazim terjadi antara kelompok pro jalur diplomasi dan jalur militer. Kemerdekaan Indonesia tidak lepas dari pertarungan antara dua kelompok itu. Kubu Soekarno mendukung jalur diplomasi sedangkan kubu tentara di bawah Jenderal Soedirman menempuh jalur angkat senjata dan bergerilya di hutan untuk mengusir penjajah. Perang 10 November 1945 di Surabaya juga menunjukkan adanya jalan penolakan rakyat Surabaya dengan jalur diplomatik yang ditempuh Soekarno. Mereka, rakyat Surabaya dan saudara sebangsa, memilih angkat senjata mengusir tentara sekutu yang dibonceng Belanda yang ingin kembali menjajah Bumi Pertiwi. Meski perang meletus dan Soekarno gagal menghentikan perlawanan fisik Arek Suroboyo, namun pada akhirnya kepemimpinan Soekarno tetap mampu mengatasi pelbagai perbedaan pandangan para pejuang dan mampu mengarahkan mereka pada satu tujuan mulia kemerdekaan. Itulah yang sementara ini tidak dimiliki oleh Palestina. Tokoh sekaliber Yasser Arafat yang mampu menjadikan Hamas mendukungnya sepenuh hati belum tergantikan. Ini menjadi tantangan berat Palestina kini agar kemerdekaan sepenuhnya bisa dicapai dan perlawanan bersenjata Hamas berbuah sesuai yang diharapkan. 

 

Achmad Murtafi Haris, dosen UIN Sunan Ampel Surabaya