Oleh Munawir Aziz
Apa yang tersisa dari kebisingan-kebisingan media sosial dalam beberapa tahun terakhir ini? Pertanyaan ini, penulis refleksikan ketika mengamati lalu lintas perdebatan media sosial, sekaligus menganalisa hasil-hasil riset komunikasi digital masyarakat Indonesia, terutama pada pusaran politik Pilpres 2019 ini.
Gambaran sederhana, misalnya bagaimana perbincangan media sosial meributkan isu kafir dan terma non-muslim pasca Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama Nahdlatul Ulama, di Kota Banjar, akhir Februari 2019 lalu. Pada Munas itu, para kiai yang tergabung dalam forum bahtsul masail, sepakat untuk menggunakan istilah non-muslim, bagi orang Indonesia yang bukan beragama Islam. Daripada penyebutan 'kafir' yang tidak relevan dalam konteks negara bangsa.
Keputusan dan kesepakatan para kiai ini, merupakan hasil musyawarah, perdebatan, dan adu argumentasi dengan metode-metode khusus, yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Para kiai yang terlibat dalam bahtsul masail juga bukan sembarang kiai, tentunya mereka yang memang menguasai bidang keilmuan fiqih-ushul fiqih, dengan perangkat argumentasi, serta narasi gagasan yang teruji oleh forum ilmiah pesantren.
Kita bisa melihat bagaimana forum Munas Nahdlatul Ulama dari rangkaian sejarah, serta bagaimana hasil-hasil rekomendasi forum itu untuk publik, untuk bangsa Indonesia dan masyarakat dunia. Hasil-hasil Munas terdokumentasikan secara rapi, oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, dari periode ke periode.
Namun, yang muncul dalam perdebatan media sosial, yakni pelintiran kebencian (hate spin). Kebencian ini direproduksi dengan dalih dan dalil yang menggunakan isu secara parsial, terpotong-potong, dengan argumentasi yang terpecah belah. Misalnya, isu yang dihembuskan bahwa forum kiai berusaha mengubah al-Qur'an, merevisi hadist nabi, dan isu-isu negatif lainnya.
Tentu saja, pelurusan informasi serta argumentasi yang terstruktur dan detail segera muncul, dari para kiai NU, para pengkaji fiqh, serta kiai-kiai muda yang aktif di forum bahtsul masail. Namun, isu-isu negatif dengan nada kebencian masih terus berlanjut, yang sebagian besar menjadikan NU sebagai sasaran tembak.
NU sebagai Medan Pertarungan
Mengapa NU menjadi sasaran kebencian? Bagaimana kita melihatnya dari sudut pandang kebangsaan-keindonesiaan dewasa ini? Penulis melihat, ada beberapa point penting, yang perlu menjadi refleksi bersama.
Pertama, NU sebagai medan pertarungan. Jika kita melihat selama dua dekade terakhir, Nahdlatul Ulama menjadi medan pertarungan dalam kontestasi kekuasaan. Pasca 1998, dengan legitimasi kultural-religius, NU menjadi gerbong besar yang menentukan arah Indonesia.
Tentu saja, ini bukan klaim semata. Bersama Muhammadiyah, sebagai ormas Islam yang besar, NU menjadi tumpuan untuk merumuskan visi misi keindonesiaan. Setiap momentum Pemilu, suara dan aspirasi warga Nahdliyyin akan berdampak signifikan. Pasca kekuasaan Orde Baru, pertarungan politik menjadi terbuka, dengan munculnya kelompok, arus gagasan, dan aktor-aktor baru.
Nah, tepat pada medan kontestasi politik itulah, NU menjadi sasaran tembaknya. Strategi politik untuk menggergaji koneksi nahdliyyin, maupun memecah belah komunitas santri, muncul dengan beragam variannya. Pada pemilu 2019 ini, simbol-simbol dan jaringan nahdliyyin merapat ke kubu petahana, yakni Joko Widodo yang berpasangan dengan KH. Ma'ruf Amin, figur yang selama ini dihormati komunitas Nahdliyyin.
Maka, yang muncul adalah upaya delegitimasi kiai, pelintiran kebencian terhadap simbol Nahdliyyin, dan perbenturan gagasan antar santri/komunitas muslim, yang menggunakan NU sebagai gelanggang perangnya. Pada masa pertarungan Pilpres 2019 ini, delegitimasi otoritas kiai-kiai pesantren sangat kentara.
Hal ini berbeda dengan Muhammadiyah, yang menjaga jarak dengan kedua kubu pasangan calon, meski menanam kader-kadernya di masing-masing lingkaran capres. Muhammadiyah 'menjaga jarak' dengan politik kekuasaan, yang dapat kita lihat sebagai manuver daya tawarnya terhadap kekuatan politik. Meski, terlihat di ruang publik, betapa perdebatan di internal Muhammadiyah terkait sikap politik juga kencang dan dinamis.
Kedua, arus balik santri-santri progresif. Dengan terbukanya informasi, akses pengetahuan, dan kompetisi politik, kita melihat gelombang baru kader-kader santri yang mulai matang di pelbagai bidang: politik, akademik, ekonomi, hukum, hingga teknologi informasi.
Santri-santri progresif ini akan semakin melimpah, dengan terbukanya akses beasiswa ke beberapa kampus internasional di Eropa, Amerika, Australia dan beberapa negara maju lainnya. Para santri yang memiliki dasar literasi islam tradisional, berpadu dengan keilmuan modern dalam bidang sains. Ini tentu menghasilkan gelombang gagasan yang segar.
Melimpahnya santri-santri progresif, dengan basis literasi keagamaan pesantren yang kokoh, sekaligus jangkauan keilmuan saintifik modern yang kuat. Kelompok ini berdiaspora di berbagai kawasan, berjejaring dengan lembaga-lembaga riset internasional. Mereka memiliki ghirrah kepesantrenan yang cukup kuat, tapi belum mendapat ruang aktualisasi pengabdian yang cukup, baik untuk bergabung dengan organisasi NU maupun membentuk komunitas-komunitas pengajian di berbagai negara.
Penulis merasakan denyut nadi kelompok Nahdliyyin saintifik ini, yang memiliki potensi besar untuk mengabdi kepada pesantren, NU dan bangsa Indonesia pada masa mendatang. Terutama, mereka yang sejak kecil telah mendapatkan pengajaran di pesantren, di bawah asuhan kiai-kiai kampung, dan kemudian mendapatkan transformasi pembelajaran hingga dapat mengakses kampus-kampus besar dunia untuk meningkatkan kapasitas intelektual.
Ketiga, gagasan Islam Nusantara. Tawaran NU tentang nilai-nilai Islam Nusantara sangat menarik bagi komunitas muslim Internasional, maupun pemimpin-pemimpin lintas negara. Perlu ada elaborasi komprehensif dan berkesinambungan terkait gagasan Islam Nusantara, terutama tawaran diplomasi perdamaian dari relung Nahdlatul Ulama.
Dalam beberapa tahun terakhir, NU sudah menyuarakan nilai-nilai perdamaian sebagai bagian dari diplomasi kebudayaan dalam kontribusinya di dunia internasional. Usaha-usaha semacam ini perlu diperluas dengan mengaktifasi organ-organ NU di kawasan internasional, khususnya PCI Nahdlatul Ulama. Apalagi, Konbes dan Munas NU pada 2019 lalu, memberi mandat untuk menjadikan PCINU sebagai agen-agen perdamaian di pelbagai negara.
Tentu saja, ketiga faktor ini menjadi yang mengemuka pada konteks sosial politik masa kini yang terkait dengan masa depan Nahdlatul Ulama. Di bidang-bidang ekonomi, pendidikan, politik, dan kebudayaan, tentu saja masih banyak pekerjaan rumah bagi Nahdlatul Ulama yang perlu diselesaikan, dengan ragam tantangan yang harus dicari solusinya.
Setidaknya, pasca Pemilu 2019 ini, setelah hiruk pikuk politik usai, seluruh warga NU perlu kembali ke fokus tugas masing-masing, mengawal kebaikan-kebaikan dan nilai-nilai yang menjadi akar identitas kaum nahdliyin, di ruang keindonesiaan kita dan ranah internasional. NU akan kembali mengambil perannya dalam politik tingkat tinggi (siyasah 'aliyah samiyah). Tugas-tugas penting yang menjadi penanda Nahdlatul Ulama memasuki fase 100 tahun, sekaligus meneroka cakrawala pada abad kedua.
Penulis adalah kader Nahdlatul Ulama; sedang riset di Southampton, United Kingdom; dan mengabdi di PCINU Inggris (email: [email protected])