Opini

Dua Novel Otobiografi dari Pesantren Jawa dan Sunda

Rab, 30 Mei 2018 | 13:00 WIB

Oleh Abdullah Alawi

Pesantren tidak habis ditulis para peneliti atau penulis dengan beragam cara penyajian sesuai tujuan penulisannya. Dari waktu ke waktu terus bertambah jumlahnya seiring tetap eksisnya komunitas pesantren. Ada yang dengan gaya ketat mengikuti kaidah penulisan di perguruan tinggi, untuk tujua skripsi, tesis, atau disertasi misalnya, atau buku dan jurnal. Ada dengan gaya esai, opini, bahkan puisi dan cerpen.  

Dalam bentuk novel otobiografi, di antaranya Guruku Orang-orang dari Pesantren karya KH Saifuddin Zuhri dengan latar tradisi Jawa Tengah. Di Sunda, novel otobiografi adalah Dongeng Enteng ti Pasantren karya Rahmatullah Ading Affandie (selanjutnya RAF). Novel yang pertama menggunakan bahasa Indonesia, sementara yang kedua berbahasa Sunda. 

Guruku Orang-orang dari Pesantren menceritakan perjalanan hidup KH Saifuddin Zuhri, mulai periode awal pendidikannya aktivitas di NU dan kelaskaran pada sekitar akhir dekade 1920-an, sampai sekitar tahun 1955. 

Buku ini dibagi menjadi 10 bab, yakni: Di Ambang Pintu Pesantren, Madrasahku Cuma Langgar, Tokoh-tokoh Pengabdi tanpa Pamrih, Apresiasi terhadap Rasa Seni, Memasuki Persiapan Pengabdian, Masih Belajar Lagi sebelum Terjun ke Medan Pengabdian, Menjadi Guru, Tamatnya Zaman Penjajahan, Di Bawah Penjajahan Seumur Jagung, dan Merdeka Berarti 1000 Perjuangan.

Dongeng Enteng ti Pasantren menceritakan pengalaman penulisnya yang merupakan seorang anak menak Sunda yang berhenti sekolah karena lembaga pendidikannya berhenti ketika Jepang masuk Indonesia. Latar waktu sekitar tahun 1942-1943. Sementara latar tempatnya terjadi di Tasikmalaya dan Ciamis. Sementara penulisannya dilakukan tahun 1960-an, ketika penulis sudah dewasa. 

Novel itu terdiri dari dari bab Ajengan, Ibu Ajengan, Masantren, Pasantren, Poe Ka Hiji, Elmu Ajug, Niat, Ngupat, Ajilu,  Tunil, Ngadulag, Maen Bal, Ka Kota, Dang Engkos Putra Camat, Kang Haer, Al Kadzib, Man Syabbaa'la Syaein, Aya Jurig Sisi Balong, Cita-cita, dan Panghulu.

Dilihat dari sisi tahun, Dongeng Enteng ti Pasantren lebih dulu terbit daripada Guruku Orang-orang dari Pesantren. Dongeng Enteng ti Pasantren terbit pertama kali tahun 1961 oleh penerbit Tarate Bandung. Kemudian buku setebal 108 halaman ini diterbitkan kembali oleh pemerintah melalui Indonesia. Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah. Sementara Guruku Orang-orang dari Pesantren terbit pada tahun 1974. Buku setebal 383 halaman ini pertama kali diterbitkan oleh penerbit Al-Ma’arif Bandung. Kemudian diterbitkan kembali oleh LkiS Yogyakarta tahun 2001.

Meski beda latar tempat, dua novel ini memiliki beberapa kemiripan. Misalnya rasa cinta seorang santri atau penulisnya kepada seni dan olahraga. Tentang kesenian, pada Dongeng Enteng ti Pasantren kiai pesantren bahkan bisa menari Kembang Kawung, dan menonton tunil (teater). Begitu juga dalam olahraga, ajengan turut serta di lapangan dengan mengenakan sarung. 

Para santri dahulu telah melakukan pengungkapan data tentang pesantren zaman mereka. Bagaimana dengan santri zaman sekarang? Seharusnya lebih banyak lagi novel otobiografis yang terbit. 

Semoga!


Penulis adalah penikmat sastra