Opini MERAH JOHANSYAH ISMAIL

Ekologi Pesantren ala Syekh Arsyad Al-Banjari

Sab, 21 Desember 2013 | 05:00 WIB

Mendung menggantung di atas langit Martapura, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan. Masih pagi, matahari masih belum di tempat tertingginya, tapi jalan menuju makam terkenal, makam Syekh Arsyad Al-Banjari sudah ramai dikunjungi peziarah.
<>
Mungkin karena hari Sabtu, maka banyak pengunjung dari luar kota -setidaknya itu yang terlihat dari sejumlah plat kendaraan yang beriringan bersama kami menuju makam.

Makam terletak di Desa Kalampaian, sekitar 35 menit berkendara angkot dari pasar Martapura. Menuju makam mesti melewati jalan kecil tidak terlalu lebar, peminta dan pedagang bunga untuk peziarah. Sepanjang jalan juga akan berpapasan dengan perkampungan, kebun limau dan “pehumaan”—sebutan lain bagi hamparan sawah.

Saat hidup, Mohammad Arsyad adalah ulama berpengaruh tak hanya di Kalimantan, namun juga di Asia Tenggara.

Ihya’ul Mawat : Revolusi Agama dan Pangan

Setelah 35 tahun belajar di Makkah dan Madinah, sekembalinya ke Tanah Air di Kalimantan Selatan, Sultan Banjar memberikan lahan yang diubah menjadi pusat pendidikan pesantren. Kini tanah tersebut menjadi kampung yang dikenal sebagai kampung Dalam Pagar. Tak jauh dari dalam pagar, Arsyad bersama-sama warga juga membangun saluran irigasi pertanian yang dikenal sebagai Sungai Tuan.

Konon Sungai Tuan yang kini tumbuh menjadi perkampungan ini dibuat Sang Syekh dengan cara menggoreskan tongkatnya sepanjang 8 kilometer dari hulu ke hilir, karena “karomah” yang melekat padanya, goresan tersebut “maujud” menjadi sungai yang berfungsi sebagai irigasi mengaliri tiap-tiap sawah dan kebun limau warga hingga saat ini.

Sungai Tuan dan Dalam Pagar, saling berdekatan jaraknya, dengan berkendara motor, dapat menyusuri kedua kampung yang saling terhubung satu sama lain ini, lebih mudah.

Inilah konsep “khas” Islam pesantren yang menyatukan kawasan masyarakat dengan kawasan pendidikan Islam. Bukti bahwa ideologi Islam pesantren yang karib dan intim dengan masyarakatnya. Bukti bahwa ulama dan santri adalah anak kandung rakyat, seperti .

Sebagai ulama dan santri yang merupakan anak kandung rakyat Kalimantan, Syekh Mohammad Arsyad Albanjari paham benar tentang problem yang dihadapi sehari-hari oleh rakyatnya. Tak hanya membangun irigasi pertanian, dalam kitab karyanya yang terkenal, “Sabilal Muhtadin” juga memberikan perhatian pada permasalahan ternak dan hasil bumi atau pertanian, bahkan terdapat bab khusus terkait zakat pertanian .

Revolusi agama dan pertanian ini dinamai Syekh Mohammad Arsyad Albanjari dengan gerakan “ihya’ul mawat” , gerakan menghidupkan lahan-lahan yang non-produktif/ lahan terlantar. Kesuksesan gerakan ini melekat, hingga sekarang, kawasan-kawasan ini adalah pemasok utama buah limau di Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan.

Ikatan terhadap Tanah & Air

“Rumah kita adalah sekolah pesantren ini dan santri adalah anak-anak kita ”

---Tuan guru Abdurrasyid, Pendiri Madrasah Wathaniyah, Kandangan, 1931--

“Agama tak bisa ditegakkan di ruang hampa tanpa tanah dan air, karena itulah mencintai agama berarti mencintai tanah dan air, kehilangan tanah berarti kehilangan agama dan sejarah”

---KH Said Aqil Siroj, Ketua PBNU, pada lawatan Bulan Februari 2013 di Samarinda—

Karena mencintai agama (Dalam Pagar) lah, para ulama dan santri Syikh Arsyad Albanjari juga mencintai pertanian mereka (Sungai Tuan). Kehilangan lahan pertanian dan pangan berarti juga kehilangan agama. Begitulah kira-kira jika ingin melukiskan hubungan antara perkampungan pesantren Dalam Pagar dan perkampungan pertanian Sungai Tuan, ibarat dua sisi mata uang yang tak terpisahkan.

Karena mencintai agama sekaligus mencintai Tanah-Air pula, para ulama dan santri yang dipimpin oleh Hadratussyaikh KH Hasyim Asyari, mengeluarkan Resolusi Jihad, agar umat Islam dan kekuatan pesantren melawan dan mengusir Belanda lewat peristiwa heroik 10 november 1945 lampau.

Sebagai anak kandung rakyat Kalimantan, Syekh Arsyad paham betul bagaimana medan perjuangan yang ia sedang hadapi. Ia bahkan diberikan julukan “Tuan Haji Besar” oleh Belanda karena pengetahuan dan pengasaannya yang komplit atas hampir semua disiplin ilmu, salah satunya adalah ilmu falak (Astronomi) dan ilmu hidrologi.

Penguasaannya atas astronomi atau ilmu falak terlihat dari salah satu buku karangannya yang berjudul Kitab Ilmu Falak dan prestasinya dalam membetulkan arah kiblat sebuah masjid di Betawi.

Kemudian penguasaannya atas ilmu hidrologi dapat dijumpai dalam karyanya yang terkenal, Sabilal Muhtadin, sebuah kitab fikih yang 40 persen dari isinya membahas secara rinci tentang air dan hidrologi yang tersebar diberbagai bab .

Pengetahuannya atas air dan hidrologi konon pernah diuji oleh belanda, saat ia bersama Syekh Abdusshomad Al-Palembangi ditangkap selama 3 hari, 3 malam oleh Belanda di Batavia, karena gerak gerik yang mencurigakan . Syekh Arsyad terbukti mampu menghitung kedalaman air sungai bahkan air laut. Pengetahuan ini pula yang ia terapkan dalam pembangunan irigasi pertanian sungai tuan.

Sebagai anak Kalimantan, negeri yang dijuluki sebagai negeri seribu sungai, menjadi latar belakang pemikiran “ekologi” Syekh Arsyad Albanjari yang menyebabkan pembahasan dan pengetahuannya mengenai air dan hidrologi sebegitu dalamnya dan menjadi perhatiannya dalam kitab Sabilal Muhtadin.

Karena kecintaannya pada tanah dan air, aktivitas ber”huma” atau bertani memiliki nilai ibadah, ikatan dan perlakuan atas tanah bukan semata fungsi ekonomis guna memenuhi kebutuhan makan dan minum melalui ladang dan sawah, akan tetapi juga fungsi spiritual dan bernilai ibadah.

Tasawuf dan Tantangan Kapitalisme Pertambangan di Kalimantan

Kini 70 persen dari 3,7 Juta luas Provinsi Kalimantan Selatan telah dikapling oleh Pertambangan Batubara, JATAM dan Walhi kalsel mencatat bahwa otonomi daerah membawa dampak buruk, salah satunya adalah obral perizinan tambang oleh pemerintah setingkat kabupaten dan kota akibat dari desentralisasi kewenangan. Kapitalisme dengan bentuk maskapai modal, perusahaan pertambangan kini semakin mudah melakukan negosiasi langsung dengan pemerintah daerah dan masyarakat, Walhi dan JATAM mencatat ada 625 ijin usaha pertambangan  kini dibumi Kalimantan Selatan.    

Masyarakat terbagi dua, yang pro dengan jual-beli tanah oleh perusahaan dan yang kontra jual-beli lahan. Pragmatisme menjalar cepat pada masyarakat, ikatan sosial menipis, konflik lahan atau konflik agraria merebak pada kampung-kampung dengan kawasan perkebunan dan pertambangan, bahkan konflik terjadi antar keluarga sendiri.

Pragmatisme membuat ikatan masyarakat mudah menjual tanah atau lahannya, ikatan atas tanah memudar drastis, hubungan terhadap tanah hanya sebagai hubungan ekonomis, seperti yang disabdakan kapitalisme.

Bumi Kalimantan memang tak bisa dipisahkan dari daya tarik sumber daya alamnya, seperti batubara. Jauh sebelum saat ini, kapitalisme yang bercokol dalam bentuk kolonialisme dan imperialisme VOC – Belanda sudah pernah datang beberapa dekade yang lampau.

Di Kalimantan Selatan, belanda melalui gubernurnya di Kalimantan, Neuwenhuyzen berhasil menjalankan politik adu domba (devide et impera) di Kesultanan Banjar, Mereka berhasil “memprovokasi” Sultan Tamjidullah untuk mendapatkan kekuasaan secara tidak sah dan memberikan konsesi pertambangan batubara pertama dalam sejarah Kalimantan, yaitu pertambangan batubara oranje nassau di pengaron dekat martapura .  

Sejak interaksi pertamanya dengan Belanda di Batavia, Syekh Mohammad Arsyad Albanjari paham benar taktik belanda yang menggunakan “godaan materi dan kekuasaan”, selain karena ia dan sahabat karibnya Abdusshomad al-Palembangi yang memilih melanjutkan dan menambah belajar tasawuf pada mursyid terkenal Syekh Samman Almadani di Madinah, 5 tahun lagi setelah 30 tahun sebelumnya belajar di Kota Mekkah.

Tasawuf-lah yang membuat pandangan ulama Kalimantan ini menjadi anti-kolonial, dalam sebuah catatan, bahkan sahabat Arsyad Albanjari, Abdusshomad Al-Palembangi disebut sebagai yang paling anti-kolonial dengan menulis sebuah tulisan berjudul ; Nashihatul Muslimin wa Tadzkiratul Mukminin fi Fadha’il Jihad wa Karamatul Mujahidin Fisabilillah, sebuah naskah tentang pentingnya jihad melawan kolonialisme asing .

Mereka berdua ini adalah murid langsung dari Syekh Samman al Madani, sumber utama gerakan Tharekat Sammaniyah yang “masyhur” dikenal sebagai tarekat yang menginspirasi berbagai gerakan perlawanan atas kolonialisme Belanda di Nusantara .  

Berkembangnya Tarekat Sammaniyah di Kalimantan Selatan berkaitan dengan 'pengisian mental' pejuang dalam melawan penjajah. Seperti juga yang ditemukan di Banten melalui Nawawi al Bantani yang hidup satu abad sesudah Abdusshomad Al-Palembangi, Nawawi sempat berguru kepada murid-murid Abdusshomad al Palembangi   di Sulawesi Selatan tarekat ini dikenal dengan nama Tharekat Khalwatiyah Salman.

Di Banjar, Kalimantan Selatan, ada dua tokoh yang disebut-sebut bagian dari “jaringan” tarekat ini yaitu Muhammad Nafis AlBanjari dan Syaikh Muhammad Arsyad Albanjari.

Nafis AlBanjari—walaupun tidak langsung berguru dengan Syekh Samman, namun ia mengarang kitab yang sangat berkaitan dengan konsep Sammaniyah, berjudul Ad Durrun Nafis .

Tahun 1998 dulu, Tuan Guru Zaini Abdul Ghani yang biasa dikenal sebagai Guru IJAI menyelenggarakan haulan Syekh Samman yang ke 230 di kampung kelahiran Syekh Arsyad AlBanjari. Haulan dimulai dengan shalat maghrib, maulud, manakib, qasidah, tahlilan dan do'a, saat itu sempat dilantunkan lima kasidah Syekh Samman selama 50 menit di selenggarakan di kompleks pengajian Musholla Ar-Raudhah, Sekumpul, Martapura, Kalimantan Selatan.

Ada sebuah konsep penting yang diajarkan oleh guru-guru pesantren yang ajarannya bersumber dari Syekh Arsyad Albanjari dan dari konsep tasawuf, yaitu ; “Alim dulu hanyar sugih”, “menjadi alim dulu baru menjadi kaya”,--ini adalah konsep meletakkan materi atau capital dibawah pengetahuan agama. Konsep ini relevan saat ini ketika laju “pragmatisme” melalui godaan menjual tanah dan lahan pada kepentingan asing atau Kapitalisme.

Karena kini banyak kawasan pertanian dan pangan yang direbut oleh pertambangan batubara, begitu juga di Kalimantan, menghancurkan lahan pertanian berarti juga menghancurkan “ideologi pesantren” yang sudah lama memilih pertanian sebagai “ideologi ekonominya”.  

MERAH JOHANSYAH ISMAIL, adalah anggota Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumberdaya Alam (FNKSDA) Dan Pengkampanye Nasional Energi, Jaringan Advokasi Tambang (JATAM).