Opini

Ekstremis Membajak Islam

NU Online  ·  Kamis, 26 November 2015 | 02:02 WIB

Oleh A. Fathurrohman Rustandi*
“Barang siapa yang membunuh seorang manusia… Maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, Maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya (QS Al-Maidah: 32)”<>

Pertama, saya ingin mengucapkan duka cita yang mendalam atas korban tragedi kemanusiaan yang terjadi di Paris, Prancis, hari waktu lalu, Di Lebanon minggu lalu, di Iraq, Syuriah dan Yaman dalam beberapa tahun terakhir, Palestina yang sudah berlangsung lama, aksi teror yang menyebabkan kematian terus meningkat, tidak tahu berapa jumlah yang menjadi korban atas tragedi ini, mungkin jutaan, yang masih hidup harus migrasi dari daerah kelahirannya demi kehidupan yang lebih layak, menjaga hak hidupnya terus terjaga.

Islam mengutuk kekerasan

Kekerasan yang dilakukan sekelompok manusia menggunakan justifikasi agama atas kebiadabannya adalah kejahatan, sejatinya terorisme ditentang oleh semua agama, baik Islam, Kristen, dan Budha sekalipun. Kekerasan yang dilakukan atas nama agama, sekedar permainan politik untuk kepentingan kelompok tertentu.

Teror yang semakin meningkat, selalu ekuivalen dengan industri perang, menyokong ekstrimis untuk melanggengkan diktator kawasan. Tren ini menjalar ke kelompok radikal di Indonesia, menjadikan perbedaan faham keagamaan sebagai pembenaran mengganyang pihak yang berbeda, Sunni-Syiah dibenturkan, agar maksud dan tujuan politik kelompok tertentu berhasil, kalau Sunni-Syiah terus dibenturkan lantas Islamnya ke mana?

Sejarah mencatat bahwa Perang Siffin antara Khalifah Ali Ibn Abi Ṭalib dan Gubernur Damaskus Muawiyah Ibn Abi Sofyan, sudah puluhan abad berlalu, namun isu ini terus dijaga dan semakin digelorakan untuk pembenaran atas tindakan kekerasan yang dilakukan, membunuh, membakar, menyerang, dilakukan demi klaim “mempertahankan agama”. Padahal sejatinya untuk menjaga status quo.

Lihat saja konflik di Yaman, Saudi Arabia begitu bernafsu untuk melakukan invasi terhadap pemberontak Houthi yang berafiliasi dengan Syiah di Iran. Seperti ada dua kekuatan politik, ekonomi dan militer yang beradu antar Iran dan Saudi Arabia. Sentimen ini sampai menjalar ke Indonesia, gerakan Wahabi yang dimotori oleh Saudi Arabia, mulai melakukan propaganda anti Syiah di sini. Terkesan ingin saling menghabisi demi kepentingan politik, ekonomi dan militer kedua negara ini terpenuhi. Indonesia, rumah bagi populasi umat Muslim terbesar di dunia, menjadi magnet kuat untuk mencari dukungan. Sampai kapan pun, selama perebutan kekuatan, permainan politik masih terjadi, maka ektrimisme akan selalu ada.

Terorisme musuh bersama

Secara substansi Islam merupakan agama yang mencintai perdamaian, menjadi kehilangan makna ketika benturan antar golongan terus digelorakan. Bangsa Indonesia yang dahulu dikenal ramah, toleran, gotong royong, menghargai perbedaan, perlahan namun pasti mengalami degradasi secara gradual. Intoleransi bangsa kita semakin meningkat pascapropaganda organisasi Islam transnasional. Pandangan keislaman yang luwes biasanya berbanding lurus dengan keluasan ilmunya, semakin sempit pemahaman keagamaan, semakin jadi fundamentalis ekstremis.

Fenomena Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) merupakan sintesis ekstremisme, atas nama Islam, sebagai justifikasi untuk kebiadaban yang dilakukan. Tentu kelompok kecil ini tidak mewakili 1,6 Milyar umat Muslim dunia, namun, tindakan yang mereka lakukan telah memberikan pemahaman yang keliru atas Islam di seluruh dunia, para ekstremis sukses membuat Islamphobia, tidak saling percaya antar umat beragama diseluruh dunia. Rasanya aneh membawa nama Islam, sikapnya menunjukkan sebaliknya.

Ujaran kebencian terhadap Islam semakin meningkat di media sosial Facebook dan Twitter, mereka mengekspresikan kekecewaan, kebencian, dan ketidakpercayaannya atas Islam, pasca serangan di Paris. Namun sangat disayangkan, beberapa hari setelah tragedi itu, Prancis akan melancarkan serangan balasan terhadap ISIS, pasti akan menewaskan banyak korban, termasuk wanita dan anak-anak. Seharusnya Barat belajar dari Nelson Mandela pemimpin revolusi Afrika Selatan, setelah menumbangkan rezim kulit putih Apartheid, beliau merangkul dan melindungi warga kulit putih Afrika Selatan, orang yang memenjarakannya selama 27 tahun di Roben Island, dengan jiwa ksatria beliau berkata: “Kalau saya melakukan hal yang sama dengan yang sudah mereka lakukan terhadap saya, lantas apa bedanya saya dengan mereka”.

Pesantren Tebuireng, sebagai salah satu institusi pendidikan Islam di Indonesia mengutuk segala tindakan kekerasan atas nama agama, kekerasan dengan alasan apapun tidak dapat dibenarkan, apalagi karena perbedaan faham keagamaan. Diharapkan umat Islam saat ini menjadi umat yang inklusif.

Kepada para pelajar, santri, mahasiswa, kiai, ulama, dosen, pesantren, universitas, organisasi keagamaan  NU dan Muhammadiyah, dan para pendidik di Indonesia saling bahu-membahu, memutus mata rantai kebencian, memberikan pendidikan agama secara utuh kepada para pemuda kita, mereka investasi masa depan, jika terdidik, deradikalisasi akan berjalan dengan sendirinya. Pendekatan usul fiqh dan maqasidus syariah harus lebih digaungkan agar tercipta tataran masyarakat yang memahami teks secara komprehensif.

Terrorist has no religion karena teroris tidak hanya musuh umat Kristiani, dan Hindu, tapi musuh Islam juga, Terorisme adalah musuh kemanusiaan.

Benarkah jihad wajib?

Romantisme, membanggakan kejayaan peradaban Islam masa lalu, adalah sia-sia, melihat masa lalu melupakan masa depan. Layaknya siklus kehidupan manusia, secara alami mengalami pase pasang surut, mulai dari balita yang lemah, tumbuh remaja, dewasa jadi kuat dan kokoh dan akhirnya menua, dan lemah, sama dengan peradaban Islam, mengalami surut setelah mencapai titik kulminasi berjaya puluhan abad menguasai dunia, ilusi ingin kembali kezaman khalifah setelah adanya nations state, mimpi yang sulit diwujudkan, pasalnya pemimpin negara dengan mayoritas Muslim selalu dipimpin oleh seorang Muslim, hal ini tidak berlawanan dengan syariah Islam, dalam ilmu uṣul fiqh, darul mafasīd -menghindari kerusakan- selalu di dahulukan daripada jalb masālih -mendatangkan kebaikan-.

Kewajiban menegakkan jihad seperti yang dipahami oleh para fundamentalis, seharusnya dimaknai secara dua sudut pandang, tidak bisa menggunakan pendekatan biner dan atomistik; menggunakan satu dalil untuk masalah yang luas tidak arif. Hukum selalu dinamis sesuai dengan konteks zamannya. Sebagai contoh, kepemimpinan Khalifah Umar Ibn Khattab pernah tidak melakukan hukum potong tangan ketika ada pencurian, karena konteks dan waktu itu sedang terjadi bencana kelaparan, artinya Khalifah Umar memaknai nash tidak secara parsial. Begitu juga dalam masalah jizyah (pajak bagi non-Muslim), tidak langsung diterapkan sekaligus, karena beliau tahu, apabila hukum ini langsung di terapkan, membebani dan akan menyulitkan perkembangan Islam.

Ketika di Yatsrib Rasulullah SAW mengeluarkan Ṣahifah Madinah yang dimaknai sebagian ahli sejarah sebagai konstitusi masyarakat Madinah, untuk membangun komunitas agama heterogen tanpa diskriminasi, Islam mengajarkan bisa hidup berdampingan dengan siapapun.

Pemahaman biner fundamentalis atas dalil Al-Qur’an dan Sunnah tentang jihad sangat berbahaya, Syeikh Abdullah bin Bayyah mengatakan, bahwa seluruh perang yang dilakukan Rasulullah SAW bersifat defensif, di zaman itu, ketika umat Muslim menyerang Rūm –Byzantium- konteks zamannya perebutan kekuasaan, kita menyerang atau kita diserang. Perintah akan menjadi tidak wajib ketika ada mani’ (penghalang), Seperti perempuan diwajibkan berpuasa Ramadhan, namun karena ada mani’ yaitu haid, maka puasanya menjadi tidak wajib dan bisa di qada di lain waktu. Mani’ dalam perintah jihad sangat banyak saat ini.

Menurut Imam As-Syatibi (W. 1388) Syariah adalah untuk kemaslahatan umat manusia di masa kini, dan masa depan, apabila tidak ada maslahat didalamnya dapat dipastikan itu bukan bagian dari pada syariah. Apakah jihad saat ini memiliki maslahat? tidak ada pembenaran terorisme dengan dalil agama. Karena syariah seluruhnya untuk kemaslahatan umat manusia.   

*Alumni Ma’had Aly Pesantren Tebuireng dan Madina Institute, South Africa