Opini ESAI RAMADHAN

Etos Belajar dan Fenomena Pesantren Mahal

Rab, 29 Maret 2023 | 13:00 WIB

Etos Belajar dan Fenomena Pesantren Mahal

Pesantren mahal memberikan alternatif bagi orang tua masa kini yang ingin memondokkan anaknya. (Foto ilustrasi: NU Online/Romzi Ahmad)

Hadits-hadits Nabi saw terkait dengan keutamaan mencari ilmu dan mengajarkannya sangat banyak sekali. Salah satunya adalah hadits berikut: “Siapa yang melakukan perjalanan untuk mencari ilmu, maka ia akan dimudahkan menuju surga”. “Sebaik-baik kamu sekalian adalah yang belajar al-Qur’an dan mengajarkannya”. Penggalan hadits ini menyiratkan bahwa upaya apa pun yang dilakukan untuk mencari ilmu demi mendapatkan ridha Allah swt maka akan diberikan balasan kemudahan menuju surga. 


Dari hadits-hadits keutamaan mencari ilmu dan mengajarkannya inilah yang menjadi salah satu motivasi bagi para ulama masa lalu untuk mencari ilmu dan mengajarkannya, meskipun harus ditempuh dengan perjalanan yang jauh dan melelahkan. Hal inilah yang menjadi dasar munculnya pesantren ada di mana-mana bahkan di daerah yang sangat jauh dari keramaian. Rihlah ilmiyah para ulama masa lalu ini bukan hanya menguras fisik dan energi, melainkan juga harus mengeluarkan harta demi mendapatkan ilmu yang dicarinya. Salah satu nasihat bijak bestari menyebutkan: 


Ilmu tidak akan menghampirimu kecuali kamu mengupayakannya secara total; hartamu, umurmu, dan juga akal pikiranmu. Seseorang tidak akan sampai pada tahapan ahli ilmu yang mumpuni kecuali ia luruhkan segenap kemampuannya untuk dapat mencari ilmu dan mendatangi para ulama. Dan orang yang pelit atas ilmu maka ia tidak akan mendapatkan secuil pun pengetahuan.


Pengembaraan Mahal para Ulama Masa Lalu dalam Mencari Ilmu

Harta adalah salah satu wasilah/media yang dapat mengantarkan manusia mendapatkan ilmu pengetahuan. Harta kekayaan bukanlah tujuan. Oleh karena itu, bagi para ulama salaf menafkahkan sebagian besar hartanya untuk mencari, menghasilkan, dan menyebarkan ilmu adalah sebuah hal yang harus mereka lakukan. Betapa banyak kisah yang menceritakan bahwa seorang perawi hadits harus rela menempuh jarak berpuluh atau beratus kilometer demi mendapatkan sebuah hadits dari seorang guru. Bisa dibayangkan bagaimana sulitnya perjalanan yang harus dilaluinya. Bukan hanya melalui daratan, bahkan kadang harus ditempuh melalui jalur laut. 


Katsir ibn Qays meriwayatkan kisah pertemuannya dengan Abu Darda' di Masjid Damaskus. Katsir berkata, "Wahai Abu Darda', aku datang jauh-jauh dari Madinah untuk menemui engkau karena aku mendengar bahwa engkau memiliki riwayat hadits dari Rasulullah saw." Lalu Abu Darda' bertanya kepadanya, "Apakah engkau ke sini untuk tujuan lain? Tujuan berdagang? Atau memang hanya untuk mendapatkan riwayat hadits?". "Ya, aku ke sini untuk mendengarkan hadits Nabi. Sebab, aku mendengar bahwa Rasulullah sw bersabda: siapa yang melakukan perjalanan untuk mencari sebuah ilmu maka Allah swt akan memudahkan jalan baginya masuk menuju surga," tegas Katsir ibn Qais menjawab.


Tidak heran kalau kita kemudian mendapati fenomena banyaknya santri dari penjuru Nusantara yang rela meninggalkan kampung halamannya untuk belajar ke berbagai pesantren, yang di kemudian hari santri ini tampil sebagai ulama kenamaan. Dalam khazanah pesantren dikenal istilah santri kelana. Ulama-ulama yang terkenal dan ditulis sejarahnya seperti Mbah Hasyim Asy’ari dan Mbah Wahab Chasbullah adalah contoh santri kelana.


Apakah Pesantren Mahal Sebanding dengan Kualitasnya?

Tidak sedikit orang-orang yang memiliki anggapan bahwa Pondok Pesantren merupakan lembaga tradisional yang secara fasilitas sangat sederhana. Kamarnya sempit. Tempat tidurnya hanya beralaskan tikar, sajadah, atau karpet. Anggapan demikian tidak salah, tetapi juga tidak seluruhnya benar. Mengapa? Sebab, pada dasarnya terdapat sejumlah Pondok Pesantren yang memiliki fasilitas yang jauh memadai. Bahkan tidak sedikit yang memiliki sarana dan prasarana yang terbilang cukup mewah. Beberapa pesantren misalnya telah dilengkapi fasilitas seperti ruang belajar dan asrama yang dilengkapi pendingin ruangan (AC), perpustakaan, hingga kolam renang yang diperuntukkan untuk olahraga para santrinya.


Di satu sisi, keberadaan pondok pesantren yang memiliki fasilitas mewah ini menepis anggapan sebagian orang yang cukup peyoratif menilai pondok pesantren, dan bisa menjadi tawaran bagi orang tua yang secara ekonomi memiliki kecukupan untuk memondokkan anaknya di sisi lain.


Dengan kelebihan berbagai fasilitas yang dimiliki pesantren-pesantren berlabel mahal ini diharapkan berbanding lurus dengan kualitas pendidikan yang diajarkan kepada para santrinya. Pesantren mahal harus mampu menyiapkan alumninya yang bisa berkompetisi baik dari sisi pengetahuan, skill, maupun akhlaknya dengan pendidikan-pendidikan lainnya di luar pesantren.


Istilah pesantren mahal muncul dalam lanskap pesantren in general, sebagai lembaga pendidikan tradisional yang terkesan apa adanya. Namun bila diletakkan dalam konteks pelayanannya, tentu hal ini sebanding dengan lembaga-lembaga lain di luar pesantren. Pesantren dengan label mahal ini juga harus dilihat sebagai kebutuhan untuk mengakomodasi minat tinggi kelas menengah Muslim yang ingin anak-anaknya terdidik dengan baik dengan tetap terjaga kesantriannya, yaitu santri dengan “otak Jerman” namun “hati Makkah”.  


Waryono Abdul Ghofur, Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Kemenag RI