Opini KONGRES KE-15 FATAYAT NU

Fatayat NU, antara Realita dan Harapan

Sab, 19 September 2015 | 22:01 WIB

Oleh Ai Sadidah
Saya mengenal Fatayat NU sudah lama, tepatnya semenjak terlibat dan bergabung di Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU). Saya mengenal Fatayat NU sebagai salah satu badan otonom di lingkungan NU untuk menaungi perempuan NU dengan segment usia tertentu.
<>
Menurut aturan organisasinya, yang menjadi anggota Fatayat NU (sering disebut kader) adalah perempuan muda yang berusia 25-40 tahun dan/atau sudah menikah. Melihat segmentasi dengan usia ini, kader Fatayat NU berada dalam rentang usia produktif.Bergabung di lingkungan Fatayat NU sejak 5 tahun lalu, kemudian menjadi pengurus cabang (kepengurusan tingkat kabupaten) merupakan pengalaman tersendiri bagi saya. Saat ini saya tercatat sebagai salah satu pengurus di PC Fatayat NU Kabupaten Garut.

Jika dibanding dengan IPPNU dan Muslimat NU, gerak Fatayat NU (khususnya di Kabupaten Garut) masih relatif tertinggal, apalagi jika dibanding dengan organisasi perempuan lainnya. Hal ini barangkali salah satu faktornya dikarenakan usia kader Fatayat berada dalam usia produktif.

Dalam usia tersebut, perempuan berada dalam masa produktif sebagai perempuan bekerja, juga sekaligus produktif secara reproduksi (hamil-melahirkan-menyusui).

Tantangan Lokal dan Kapasitas Respons Masalah
Fatayat NU tentu diharapkan dapat merespons isu-isu keperempuanan di rentang usia tersebut. Tentu, sesuai dengan kontekstualitas lingkungan dimana organisasi ini berada. Misalnya, Kabupaten Garut sebagai daerah tertinggal dan Angka Kematian Ibu (AKI) yang tertinggal di Jawa Barat, Fatayat NU Garut diharapkan dapat memberikan responsible terhadap situasi-situasi tersebut.

Berada di kabupaten dengan karakteristik masih tingginya angka kematian ibu melahirkan (AKI), rendahnya partisipasi pendidikan perempuan, dan masih minimnya kemandirian ekonomi perempuan, Fatayat NU Kabupaten Garut periode 2010-2015 mencanangkan tiga prioritas dalam program kerjanya.

Pertama, Pendidikan. Guna meningkatkan partisipasi perempuan di usia produktif dalam bidang pendidikan, Fatayat NU Garut melakukan kajian rutin bulanan, juga seminar dan diskusi pendidikan minimal setahun dua kali, mengirim kader pada berbagai even pendidikan dan pelatihan sebagai upaya untuk peningkatan kapasitas individual kader. Dengan kapasitas yang memadai, diharapkan kader-kader tersebut akan menjadi penggerak di komunitasnya masing-masing untuk memajukan pendidikan transformatif kepada masyarakat NU yang rata-rata masih terpinggirkan secara sosial dan ekonomi.

Kedua adalah kesehatan. Sebagai daerah dengan angka AKI tergolong tinggi di Jawa Barat, tentu Fatayat Garut harus memberikan effort yang lebih untuk masalah kesehatan ini. Pelatihan-pelatihan kesehatan reproduksi digelar secara rutin untuk meningkatkan kapasitas keluarga. Selain itu program-program perencanaan keluarga dan fasilitasi pelayanan keluarga berencana banyak dilakukan.
Pun, maraknya peredaran narkoba hingga di pelosok-pelosok desa hingga pemakain jarum suntik untuk narkoba telah mendorong Fatayat NU Garut untuk melakukan pelatihan kader penanggulangan HIV/AIDS dan narkoba.

Ketiga adalah bidang ekonomi. NU apalagi kaum perempuannya dikarakteristikkan dengan tingkat kemiskinan yang melekat. Sebagai respons atas hal ini,  Fatayat NU Garut melakukan pelatihan-pelatihan kewirausahaan perempuan, memfasilitasi pembentukan kelompok usaha perempuan, dan pendampingan usaha produktif perempuan serta menggalakkan programming literasi keuangan keluarga.

Tiga program prioritas ini sebagai ikhtiyar sosial Fatayat NU Garut untuk menjawab berbagai problematika yg muncul di tengah komunitas. Pilihan prioritas program ini tentu tidak lepas dari visi dan misi besar fatayat sebagai organisasi perempuan NU yakni pemberdayaan perempuan.

Sebagai organisasi kader, Fatayat NU Garut tentu masih banyak memiliki kekurangan, diantaranya adalah soliditas di tingkat pengurus, terutama di tingkat kecamatan dan desa yang masih memerlukan sentuhan kerja ekstra. Kepengurusan Fatayat NU Garut periode 5 tahun terakhir, misalnya saja, baru bisa mengaktifkan kembali dan membentuk PAC baru 30 kecamatan dan kurang dari 100 ranting (desa) dari 42 kecamatan dan sekitar 400-an desa yang ada di Kabupaten Garut.

Kendala terbesar yg dihadapi dalam pembentukan kepengurusan ini adalah ketiaadaan kader yang bersedia menjadi pengurus. Tentu ini kendala internal, bagaimana Fatayat masih rapuh melakukan regenerasi kepengurusan karena masih belum optimalnya sistem pengkaderan dan pola rekrutmen kader dan keanggotaan.

Masalah-masalah yang tergambar di atas tentu berbeda antara tempat satu dengan lainnya, kabupaten satu dengan lainnya dan seterusnya. Akan tetapi selalu ada benang merah: diperlukan kreatifitas transformatif untuk merespons persoalan-persoalan utama yang dihadapi oleh kaum perempuan NU di masing-masing lokalitas.

Kongres Sebagai Ajang Konsolidasi Gerakan
Bertempat di Surabaya mulai 18 September ini sampai 22 September rencananya, digelar kongres Fatayat NU XV. Bagi sebagian kalangan, kongres organisasi-organisasi kemasyarakatan seperti Fatayat NU ini lebih dipahami sebagai ajang suksesi kepemimpinan. Tidak salah memang. Tetapi menempatkan sudut pandang tersebut sebagai teropong utama terhadap forum tertinggi organisasi seperti Fatayat tentu akan berujung pada simplifikasi fatal dan tentu salah arah.

Kongres Fatayat NU, bagi saya, harus lebih dipahami sebagai ajang konsolidasi Fatayat NU secara nasional. Kongres hendaknya dapat memberikan acuan garis-garis besar landasan gerak semua tingkat kepengurusan. Ada beberapa isu strategis yang menurut saya perlu diperdebatkan secara konstruktif untuk pergerakan jam'iyyah Fatayat NU ke depan.

Pertama adalah membangun sistem kaderisasi yg berjenjang. Memang sudah ada standar baku kaderisasi internal di Fatayat NU. Namun realitasnya masih jauh panggang dari api. Kaderisasi hendaknya dapat dilakukan dengan basis yang lebih kultural dan menjadi praktik kolektif organisasi, bukan disederhanakan menjadi sekedar event, kegiatan, selebrasi dan persiapan suksesi kepemimpinan.

Kedua, Fatayat NU kedepan harus memberikan lebih banyak lagi perhatian dalam dakwah ala Ahlussunnah Waljamaah. Dakwah ini harus difokuskan pada dua hal. Yakni, membentengi para kader dari gempuran paham Islam transnasional dan sejenisnya yang telah berupaya menghancurkan sendi aqidah Aswaja, di satu sisi. Sekaligus, di sisi berikutnya, melakukan rekonstruksi dakwah Aswaja kepada kalangan Islam awam. Citra global Islam yang sudah terkotori oleh kekerasan, perang, dan penistaan terhadap nilai-nilai universal sudah tampak di depan mata juga sedang akan diekspor ke bumi nusantara oleh kelompok-kelompok Islam transnational ini. Tentu, ini ancaman yang jelas bagi praktik Islam rahmatan lil alamin yang jadi karakteristik Aswaja dan Islam Nusantara yang sedang dipasarkan oleh NU.

Ketiga, Fatayat NU kedepan perlu lebih memberi perhatian pada pemberdayaan perempuan dalam bidang pendidikan, kesehatan, sosial dan ekonomi. Sebagai negara pengirim tenaga kerja migran terbesar kedua di Asia Tenggara, dimana hampir 80% diantaranya adalah perempuan dari desa-desa yang merupakan karakteristik nahdliyin, misalnya, belum terlibat peran kuat PP Fatayat NU dalam melindungi perempuan TKI yang sedang berjihad di luar negeri. Fatayat juga perlu menjadi pioneer dalam gerakan penguatan ketahanan ekonomi keluarga melalui literasi-literasi keuangan. Pun demikian dalam bidang kesehatan dan pendidikan, gerakan Fatayat NU masih perlu dimobilisasi kearah yang lebih progresif lagi.

Keempat, Fatayat perlu lebih mengintensifkan keterlibatan aktifnya dalam upaya pendampingan perempuan dalam masalah-masalah yang identik dengan karakteristik perempuan seperti kekerasan dan human trafficking. Melemahnya pertumbuhan ekonomi selama semester pertama tahun 2015 ini dikhawatirkan banyak pihak akan berdampak pertama kali pada kaum perempuan. Salah satunya mobilisasi perempuan untuk bekerja meningkatkan pendapatan daerah asalnya dan terpisah dari keluarganya, sehingga ada potensi meningkatkan kejadian human trafficking. Sebagai organisasi yang berbasis perempuan-perempuan desa, tentu Fatayat harus lebih responsible terhadap isu-isu seperti di atas.

Kelima, Fatayat NU kedepan perlu lebih memberikan perhatian pada isu-isu sosial perempuan seperti buruh perempuan, Pekerja Rumah Tangga (PRT) dan pekerja rumahan (home workers). Seperti telah disinggung di atas, telah terjadi feminisasi migrasi yang tentu akan menimbulkan ekses-ekses sosial ikutannya. Misalnya, tingkat perceraian yang tinggi di kampung-kampung asal TKI seperti di NTB, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di kampung-kampung TKI ini anak-anak juga menjadi bagian sosial yang dikorbankan. Mereka menjadi anak terlantar, patent-less dan rentan terhadap kekerasan dan eksploitasi.

Demikian juga fenomena melambatnya ekonomi telah memicu gelombang PHK di pabrik-pabrik. Kaum perempuan-lah yang pertama kali dikorbankan. Mereka kemudian dipaksa untuk menerima pekerjaan borongan dari industri dalam bentuk piece rate sebagai pekerjaan rumahan (home worker). Dalam hal ini, mereka mengalami kerentanan yang luar biasa: mereka melakukan proses produksi dalam siklus industrial, tetapi faktor produksi ditanggung sendiri oleh para perempuan ini, bukan pabrik yang menanggung. Mereka diupah per unit barang yang diselesaikan (piece rate) akibatnya jam kerja mereka tidak dihargai. Bahkan untuk mengejar volume barang, mereka kerap melibatkan anak-anak untuk membantu.

Hal-hal di atas hanya sebagian kecil dari persoalan-persoalan yang dihadapi oleh nahdliyah muda. Bila Kongres Fatayat NU tidak memberikan perhatian pada masalah-masalah yang dihadapi umat, lalu apa makna Fatayat sebagai organisasi yang menaungi jamaah?

Saya berharap Kongres Fatayat NU kali ini tidak riuh dan gaduh oleh politik suksesi. Tidak riuh dan gaduh oleh borongan parpol-parpol tertentu yang ingin mengais potensi suara jamaah secara eksploitatif. Semoga Kongres XV kali ini bisa mengembalikan ruh gerakan Fatayat NU sebagai gerakan perempuan Indonesia sesuai dengan temanya "Ikhtiar perempuan NU untuk Indonesia yang Berkeadaban".

Selamat berkongres!

Ai Sadidah, Sekretaris Pimpinan Cabang Fatayat NU Kabupaten Garut