Opini

Gerhana dalam Manuskrip Melayu

Jum, 10 Januari 2020 | 11:38 WIB

Gerhana dalam Manuskrip Melayu

Ilustrasi (kanzunqalam.com)

 

Setidaknya, kata ‘gerhana’ dalam naskah-naskah kuno Melayu disebutkan sebanyak 115 kali sebagaimana penulis dapatkan melalui situsweb Malay Corcondance Project (MCP) yang disusun oleh Ian Proudfoot, seorang akademisi dari Universitas Nasional Australia (ANU).

 

Dari jumlah total 115 tersebut, 98 di antaranya terdapat pada Kitab Takbir (Tkbr), tujuh pada Hikayat Abdullah bin Abdul Kadir (Abd.H), tiga pada Bustan al-Salatin (BS), dan masing-masing satu kata pada Hikayat Hasanuddin (Hsn), Hikayat Inderaputera (Ind), Muhimmat al-Nafais (MN), Hikayat Pahang (Pah), Sejarah Melayu (SM), Surat kepada Von de Wall (VdW), dan Syair Siti Zubaidah Perang Cina (Zub).

 

Kata gerhana dalam naskah-naskah Melayu tersebut memiliki beragam konteks atau motif, meminjam istilah Guru Besar Filologi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Prof Oman Fathurahman. Pertama, gerhana sebagai sebuah peristiwa alam. Hal ini dijelaskan dalam naskah Abd.H, bahwa gerhana merupakan proses alam yang terjadi saat matahari, bulan, dan bumi sejajar sehingga cahayanya tidak sampai ke bumi. Bahkan, dalam naskah tersebut juga dijelaskan ada gerhana separuh dan penuh. Sepertinya, orang yang menjelaskan proses alam tersebut adalah Jamal Muhammad bin Nur Muhammad Surati yang disebut sebagai seorang yang ahli ilmu falak, ilmu perbintangan atau astronomi. Berikut penjelasannya.

 

... maka terlindunglah cahaya matahari itu kepada bumi, maka gelaplah bulan itu barangkali sedikit, barangkali separuh, barangkali semuanya sekali; demikian lagi gerhana matahari itu pun apabila bulan itu bertentangan di antara bumi dengan matahari, maka yaitu melindungkan daripada penglihatan kita separuh matahari itu atau sedikit.

 

Dalam naskah yang sama juga dijelaskan ada yang menyebut gerhana bukan sebagai peristiwa alam biasa, tetapi terpengaruh dengan mitos-mitos aneh. Disebutkan dalam naskah tersebut, bahwa ada orang yang mengartikan gerhana matahari dan bulan karena bulan sakit, jatuh ke dalam laut lumpur, hingga bulan dimakan ular.

 

Hal terakhir itu membuat masyarakat melakukan hal-hal yang sekiranya ular itu dapat mengembalikan bulan yang tengah dimakannya, entah dengan memukul lesung atau menembak. Ada pula lelaki dan perempuan yang berteriak, “Uraroh! Lepaskan bulan kami!”. Melihat peristiwa tersebut, tokoh yang mengerti ilmu falak tersebut tak mampu menahan tawanya sehingga ia pun menjelaskan proses alam sebagaimana disebutkan di atas.

 

Senada dengan Abd.H, dua kata ‘gerhana’ dalam naskah BS juga menjelaskan gerhana sebagai suatu peristiwa alam. Bedanya, BS mendasarkan penjelasannya dengan ayat-ayat Al-Qur’an. Dalam BS, juga ada satu motif lain, yakni gerhana sebagai suatu konteks peristiwa, bukan sebagai peristiwa itu sendiri.

 

... Tatkala itu tiada diketahui oleh Siti Hawa akan wafatnya Nabi Allah Adam hingga gerhana matahari. Maka keluarlah ia daripada kubahnya dengan terkejut, lalu ia pergi kepada kubah Nabi Allah Adam. Maka dilihatnya Nabi Allah Adam sudah pulang ke rahmatullah...

 

Dalam naskah Zub (naskah bisa diakses secara daring di Endangered Archives Program), misalnya, kata gerhana menjadi perumpamaan. Kita tahu bahwa saat gerhana, tentu keadaan gelap mengingat cahaya mentari atau bulan terhalang masuk ke bumi, sebagaimana dijelaskan dalam naskah Abd.H.Perumpamaan bulan lepas gerhanayang disebutkan dalam syair tersebut, digunakan sebagai suatu penegasan klausa atau bait sebelumnya. Berikut syairnya.

 

Sudah memakai Siti mengerna, didudukan pulak ke atas peterana, parasnya majlis gemilang warna, seperti bulan lepas gerhana.

 

Senada dengan Zub, naskah SM juga menjadikan gerhana sebagai perumpamaan yang menegaskan kondisi yang disebutkan sebelumnya, yakni kondisi siang yang gelap seperti malam, diimbuhi dengan seperti gerhana matahari.

 

... Gegak gempitalah bunyi tempik sorak orang berperang itu, maka berbangkitlah lebu duli ke udara, kelam-kabut, siang menjadi malam seperti gerhana matahari. Maka segala rakyat antara kedua belah pihak itu pun jadi campur-baurlah, tiada berkenalan lagi waktu berperang itu. ...

 

Di samping itu, motif lain yang ada dalam naskah-naskah Melayu kala menyebutkan kata gerhana adalah memori kolektif, meminjam istilah Prof Oman. Memori kolektif ini, kata Kang Oman dalam Ngariksa Kesembilan pada Jumat (3/1/2020), bukanlah sebuah ramalan, melainkan hanyalah cerita peristiwa yang pernah terjadi di masa lalu. Lagi pula, sejarah, sebagaimana disebutkan banyak orang, itu berulang. Motif ini dijelaskan sangat rinci dalam naskah Tkbr, terbagi menjadi 28 fasal, dan disebutkan 98 kali.

 

Sebagai contoh saja, naskah tersebut menjelaskan bahwa jika ada gerhana terjadi pada bulan Jumadil Awal tahun Wawu, maka menjadi tanda adanya penyakit di tahun tersebut. berikut kutipannya.

 

Dan lagi jika gerhana dalam tahun wāu dan bulan Jamadilawal, maka adalah akan alamatnya itu penyakit akan keras adanya dalam tahun itu.

 

 

Penulis adalah mahasiswa Fakultas Islam Nusantara Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) Jakarta dan aktif di Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (PP IPNU).