Opini

Guru, di Tengah Dilema antara Mendidik dan Mengajar

Sel, 2 Mei 2023 | 13:00 WIB

Guru, di Tengah Dilema antara Mendidik dan Mengajar

Ilustrasi demo guru menuntut kesejahteraan. (Foto: Dok. istimewa)

Jamak diketahui istilah seperti lembaga pendidikan, hari pendidikan, sistem pendidikan, dan diksi-diksi lainnya yang menggunakan kata pendidikan. Bukan menggunakan kata pengajaran seperti lembaga pengajaran, hari pengajaran, atau sistem pengajaran. Secara eksplisit, makna ini menggambarkan bahwa pendidikan lebih utama dari pengajaran. Mendidik menjadi tujuan utama dari mengajar.


Kata pendidikan sendiri dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memiliki arti proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan; proses, cara, perbuatan mendidik". 


Dari definisi ini bisa dipahami bahwa pendidikan memiliki makna luas bukan hanya mentransfer pengetahuan atau ilmu (kognitif) saja, namun juga menanamkan nilai-nilai (afektif) kepada peserta didik. Dan ini menjadi tugas utama seorang pendidik selain tugas lainnya seperti menjadi pengajar, fasilitator, motivator, dan sejenisnya. Semua tugas guru itu terangkum mulia pada kata mendidik sehingga sebaiknya tak direduksi dengan istilah fasilitator atau apapun.


Maka jika ada seseorang yang hanya menyampaikan pelajaran dan pengetahuan saja kepada siswanya, maka ia disebut sedang mengajar. Orientasi mengajar adalah untuk menjadi pintar secara kognitif dan ini bisa digantikan oleh perkembangan pesat ilmu pengetahuan dan teknologi serta informasi. Ini bisa dilihat dari bagaimana semua pertanyaan tentang ilmu pengetahuan bisa dengan mudahnya dicari jawabannya melalui mesin pencari di internet seperti google, mesin kecerdasan buatan Artificial Intelligence (AI) dan sejenisnya.


Sementara jika ada seseorang yang menanamkan nilai-nilai dalam proses pengajaran kepada siswanya, maka ia disebut sedang mendidik. Orientasi mendidik adalah untuk menjadi baik. Sisi inilah yang tak mungkin digantikan oleh teknologi secanggih apapun. Google dan AI tidak bisa menjadikan seseorang memiliki karakter yang kuat. Sehingga jika seseorang ingin menjadi guru sejati maka mendidiklah yang harus diutamakan, bukan hanya mengajar saja.


Kemudian muncul pertanyaan, bagaimana dengan kondisi guru-guru saat ini? Apakah mereka sudah fokus dan mengarah kepada mendidik melalui penanaman nilai-nilai kemanusiaan, karakter, etika, agama, dan kelembutan hati? Apakah sisi mendidik ini sudah dilakukan dengan sepenuh hati?


Atau apakah para guru saat ini lebih fokus ke mengajar saja dengan mengutamakan dan menyiapkan materi serta perangkat administrasi pelajaran? Apakah guru lebih fokus kepada nilai-nilai angka atau huruf tertulis di atas kertas yang dianggap telah menunjukkan hasil paling objektif dari proses pembelajaran?


Pertanyaan-pertanyaan reflektif ini hanya bisa dijawab jujur oleh hati nurani masing-masing guru saat ini. Terkadang jawaban ini tak bisa diungkapkan dengan kata-kata karena harus pasrah terhadap kondisi, sistem pendidikan, kurikulum, dan perkembangan zaman yang terjadi. 


Bagaimana tidak. Saat ini misalnya, guru semakin dibebani dengan urusan administratif atas nama ketertiban dan pelaporan. Beban ini secara tidak langsung sudah mencerabut tugas utamanya sebagai pendidik pelan-pelan karena alokasi waktu yang lebih banyak digunakan untuk urusan administratif. Sehingga ada saja guru yang sampai tidak masuk kelas atau hanya meninggalkan tugas karena mengurusi masalah administratif dan pelaporan. 


Dengan kondisi ini, ada guru yang secara administratif baik dalam mengajar namun tidak mampu mendidik. Sebaliknya ada yang mampu mendidik namun sisi administrasinya berantakan. Namun masih tetap ada juga yang kedua-duanya bisa dilakukan dengan maksimal. Semua kembali kepada niat dan karakter serta sifat individu guru.


Berbagai macam pendidikan dan pelatihan bagi guru juga banyak yang memfokuskan bagaimana memahami peserta didik. Peningkatan profesionalisme guru melalui diklat misalnya, kurang menggali perspektif dan karakteristik dari sisi gurunya. Karena bisa dipastikan, guru memiliki kepribadian dan cara berbeda-beda sehingga perlu dimaksimalkan keragaman ini dengan baik.


Sementara berbicara tetang kurikulum, pergantian kurikulum yang ada saat ini juga belum secara signifikan merubah output secara baik. Perubahan kurikulum masih didasari dengan menilai kekurangan kurikulum sebelumnya dan belum menyesuaikan kondisi di lapangan yang pasti berbeda-beda sesuai karakteristik daerahnya masing-masing. Perubahan lebih berkutat kepada penggunaan istilah-istilah baru dalam kurikulum yang secara esensi memiliki tujuan yang sama.


Dengan ‘paksaan’ sistem yang ada ini, tak heran jika para guru, ada yang sekedar menjalankan tugas ‘bekerja’ dan menghitung keuntungan gaji di akhir bulan. Walaupun secara kuantitas, pendapatan profesi guru saat ini dibanding dengan sebelumnya terus mengalami grafik peningkatan, lalu apakah grafik ini sebanding dengan kualitas pendidikan yang dihasilkan? Mari jawab dari dalam hati khususnya para guru Indonesia.


Namun, tidak menutup mata masih banyak guru yang tulus mengajar dan mendidik di tengah sistem yang memaksa ke arah itu formalisasi. Mereka masih tetap berjuang dengan niat tulus mendidik di tengah pembatasan-pembatasan esensi makna mendidik itu sendiri. Mereka masih istiqomah mendidik dengan hati di tengah mudahnya profesi ini dikriminalisasi atas nama hak asasi. 


Bagaimana pun the show must go on. Apapun yang terjadi guru harus tetap fokus untuk mendidik agar siswa menjadi baik dan mengajar agar mereka menjadi pintar. Kita ingin guru tetap menjadi sumber ilmu dan kebaikan yang tak tergantikan oleh teknologi. Namun besar harapan ke depan, kurikulum di Indonesia benar-benar humanis dan mampu menjawab tantangan pendidikan bukan hanya dari sisi kuantitas namun juga dari sisi kualitas.


Selamat Hari Pendidikan Nasional 2023!


Muhammad Faizin, guru di MAN 1 Pringsewu, Lampung