Opini SYARIF HIDAYAT S*

Gus Dur, Islam Radikal, dan Yahudi

Kam, 18 Juli 2013 | 04:04 WIB

Bernard Lewis dalam The Crisis Of Islam (2004) menyebut tiga tipologi kaum muslim di dunia dalam relasinya dengan Amerika dan Barat. Pertama, muslim fundamentalis yang sepenuhnya anti-Barat dan semua produknya termasuk modernisasi dan demokrasi.
<>
Kedua, muslim akomodatif yang sepenuhnya apresiatif terhadap Barat. Serta ketiga, muslim yang sedang menjalankan strategi “pura-pura” berkawan dengan Barat tapi sebenarnya sedang menjalankan agenda melawan Barat. Ketiga tipe ini menurut Lewis hadir dan menyertai kekinian umat Islam.

Di Indonesia, jelas terdapat kelompok fundamentalis. Di Indonesia juga terdapat kelompok liberal yang pro pemikiran Barat. Kedua kubu ini hadir dalam bentuk paradoks berseberangan satu sama lain. Fundamentalis nyata sekali mendirikan Islamisme dengan corak anti Amerika sementara liberalis terlihat sekali formulasi liberal dan modernismenya. Tapi bagaimana dengan Gus Dur? Termasuk kelompok manakah Gus Dur dan para pengikutnya?

Menjawab pertanyaan ini sulit. Kalau kita mengkaji gaya pemikiran dan gerakan politik Gus Dur, pasti kita akan bingung. Gus Dur adalah sepenuhnya tokoh yang lahir dan besar dalam tradisi pesantren. Biografi Gus Dur menyebutkan bahwa Gus Dur pernah nyantri di Jombang juga Magelang. Diapun pernah kuliah di Al Azhar dan Baghdad. Di Mesir itulah ia mengenal Ikhwanul Muslimin. Tapi di Mesir ia juga mempelajari Barat melalui perpustakaan American University. 

Konteks Mesir saat itu pun juga masih ramai dengan wacana nasionalisme Arab ala Gamal Abdul Nasser. Di Baghdad, Gus Dur mempelajari sastra Arab dan pemikiran partai Bath Michael Aflak yang sosialis dan nasionalis. Konteks Irak yang separuh sunni separuh Syiah juga melekat dalam memori Gus Dur. Pemikiran sosialis Arab sebenarnya hanyalah kelanjutan dari pemikiran kiri yang telah ia lahap waktu remaja di Indonesia. Walhasil, seakan-akan dalam diri Gus Dur telah menyatu beraneka ragam politik dunia. Islam Sunni, Barat, nasionalisme dan sosialisme Arab, keindonesiaan, ke-NU-an yang kesemuanya itu tercetak dalam diri Gus Dur sejak dimensi klasik sampai modernnya. 

Mari berpikir jernih dalam perspektif intelijen. Sandaran utamanya adalah bahwa Gus Dur bukanlah orang bodoh yang bisa ditipu mentah-mentah oleh Yahudi dan Amerika. Dalam diri Gus Dur berpadu aneka langgam dunia. Adalah merupakan keanehan kalau Gus Dur yang pintar itu tak memahami zionisme. Aneh juga kalau Gus Dur bisa tak paham gerakan tipuan dari Barat. Menurut hemat saya, Gus Dur sebenarnya telah memainkan satu permainan politik yang sangat rumit yang mungkin Amerika dan Bernard Lewis takkan sanggup memetakan siapa sebenarnya Gus Dur. Justru politik zig-zag inilah yang perlu ditiru kalangan muslim agar kita mampu bermain cantik dalam tataran politik global.

Bagaimana dengan Islam radikal? Dalam perspektif intelijen semuanya adalah rigid. Artinya, tidak ada gerakan Islam garis keras yang betul-betul murni berjalan diatas ring idealismenya. Robert Dreyfus dalam Game Theory telah menjelaskan bahwa Amerika telah membangun koalisi tersembunyi dengan gerakan Wahabi dan Islamis lainnya dalam perang Afganistan. Menurut Dreyfus, kelompok Islam fundamentalis termasuk Ikhwanul Muslimin telah dimanfaatkan oleh Amerika untuk melawan Soviet.

Gary Allen, seorang jurnalis Amerika yang menguasai dunia keintelijenan menjelaskan panjang lebar dalam None Dare call it Conspiracy (1971) bahwa pertentangan global yang terjadi pasca perang dunia kedua hanyalah permainan politik dari satu kelompok. Menurut Garry Allen, baik blok Barat yang kapitalis maupun blok timur yang komunis sebenarnya sama-sama digerakkan oleh satu kekuatan yaitu para milyarder Yahudi. Yahudi mengadu domba dunia. Tujuannya apalagi, kalau bukan menguasai dunia melalui permainan politik terselubung. 

Dunia digerakkan oleh konspirasi. Bahkan Osama Bin Laden yang diburu Amerika itupun ternyata masih memiliki saham di Amerika yang digerakkan adik-adiknya. Juga Barack Obama yang terlihat akrab dengan dunia muslim, sebenarnya mendapatkan dukungan penuh Yahudi. Data Y.Net tahun 2008 menyebutkan polling hampir 70 persen Yahudi Amerika mendukung Obama. Obamapun dilingkari tokoh-tokoh Yahudi militan seperti Rahm Emanuel, Denis Ross dan David Exelrood.

Karenanya, mengatakan Obama akan serius mengakrabi dunia Islam adalah absurditas semata. Boleh jadi, Obama disetting sebagai pelicin lahirnya koalisi strategis di masa depan terutama untuk menghadang Iran dan lawan-lawan Amerika dari sisa-sisa blok timur. Dalam perspektif politik luar negeri Amerika, dunia Islam merupakan kekuatan aliansi menggiurkan yang dibutuhkan sampai tahun 2015 mendatang terutama untuk menghantam imperium baru Sino-Konfusius (China). 

Karena itu, kita jangan langsung menuduh Gus Dur merupakan antek Yahudi. Boleh jadi, Gus Dur dalam perspektif politik Amerika adalah kelompok ketiga ala Bernard Lewis yang sulit ditebak arah politiknya. Gus Dur telah masuk terlalu jauh dalam lingkaran politik Yahudi, namun inilah kelebihan Gus Dur.

Sangat mungkin Gus Dur banyak tahu planning dan mindset Yahudi di Indonesia, justru karena Gus Dur terlampau jauh masuk ke dalam rumah Yahudi. Berbeda dengan orang kebanyakan yang hanya bisa melihat Yahudi dari perspektif luar pagar. Kalau orientalis punya prinsip “we know what you don’t know (kami tahu apa yang kamu tidak tahu), Maka Gus Dur punya prinsip “we know what you know” (kami juga tahu apa yang kamu tahu). Inilah politik Gus Dur. Politik nyeleneh tapi cerdas luar biasa.



* Penulis adalah Alumnus Hubungan Internasional FISIP UNEJ; Warga NU Sumenep. Tulisan ini pernah dimuat di Duta Masyarakat, 2 Februari 2010.