Oleh Nasirun
Salah satu kebanggaan untuk NU dan masyarakat Indonesia, ada seorang kiai yang pernah menjabat Ketua Dewan Kesenian. Tentu beliau adalah orang yang berbudaya. Orang yang mengantongi ilmu kebudayaan. Peranan organisasi kesenian adalah sebagai payung seniman. Ada sastra, seni rupa, musik, tari dan seni tradisi dari Sabang sampai Merauke. Dengan berkesenian, berarti mencintai bakat dan warisan lokal. Itu adalah geniusitas untuk menjadi manusia yang berbudaya.
Beliau dikenal dengan sebutan Gus Dur. Kiai yang mendobrak kejumudan. Keteladanannya menginspirasi banyak orang. Beliau mengayomi, beliau bisa berdiri di tengah semua golongan.
Tidak hanya di Jawa, tapi seluruh Indonesia. Bahkan, Gus Dur sejatinya milik masyarakat dunia. Beliau memahami seluk-beluk konflik global dan mampu mengayomi perbedaan agama, suku dan ras (etnis).
Kebudayaan semestinya ada di depan. Ia menjadi jalan bagi keragaman. Kalau kebudayaan tidak jadi panglima di Indonesia, tentunya di era globalisasi, jati diri kita semakin tergerus kebudayaan global. Jika tidak hati-hati, hal itu akan menjauhkan generasi mendatang dengan warisan masa lampau. Kita akan menjadi bangsa tanpa identitas. Idealnya, kita boleh jadi bagian dunia yang serba kekinian, tetapi isi atau esensinya berakar pada lokalitas.
Saya ingat kata-kata Bung Karno, “Kalau jadi Hindu, jangan jadi orang India. Kalau jadi Islam, jangan jadi orang Arab. Kalau jadi Kristen, jangan jadi orang Yahudi. Tetaplah jadi orang Indonesia dengan adat budaya Nusantara yang kaya raya ini.” Maka adalah tugas kita semua untuk mencintai kebudayaan Nusantara.
Agama dan seni sebenarnya bukan beroposisi biner. Agama dan seni saling melengkapi. Seni bisa tumbuh dari mana saja, termasuk agama. Sebaliknya, agama agemane budhi, idealnya orang yang beragama tentunya berbudaya. Beragama tanpa nilai kesenian jadi hambar, kaku, dan biasanya bengis.
Keduanya tak patut dilawankan, jika seni dengan kebebasannya membentur agama, perlu dicarikan jalan keluar. Jika agama terlalu kaku mencengkeram kreativitas, perlu ada pendalaman kasus. Bisa jadi itu hanya soal penafsiran yang terlalu kaku.
Gus Dur mampu menjembatani kesenjangan itu. Agama dan seni berpadu mesra. Masing-masing penting dan punya koridornya sendiri. Masing-masing saling mengisi dan menguatkan.
Sepeninggal tokoh bangsa sebesar Gus Dur, kita patut cemas, siapa penggantinya? Tetapi keliru jika berpikir, satu orang diganti satu orang lainnya. Mungkin secara perseorangan tak sebanding dengan Gus Dur. Namun kalau seribu atau sejuta orang yang meneladani ajaran Gus Dur, efek gedornya sama-sama luar biasa.
Untuk itu, santri, murid, umat, sahabat, kawan bahkan lawan pemikiran, mestinya meneladani sosok Gus Dur. Untuk melahirkan Gus Dur sekali lagi. Bukan dengan satu ganti, tapi berjuta-juta gusdurian.
Cara merawat peninggalan Gus Dur adalah dengan meneruskan yang baik, bersikap toleran, penghormatan terhadap liyan. Gus Dur tidak mewariskan perusahaan, kebun ribuan hektar, gedung bertingkat, tapi yang diwariskan beliau adalah sikap kebudayaan. Ini yang harus terus dirawat sepanjang masa.
Memahami Gus Dur tak mungkin dari satu sisi. Menyerap ilmu Gus Dur juga tak bisa instan. Karena Gus Dur bukan hanya Kiai, tapi juga budayawan. Dua sisi yang kutubnya berlainan. Tetapi ketika berhasil dikawinkan, kita tidak hanya melihat Gus Dur yang agamawan, tapi juga Begawan Kebudayaan.
Pameran lukisan ini adalah bagian dari upaya merawat kegusduran. Nabila Dewi Gayatri berhasil mewujudkan rasa hormat dan cintanya terhadap Gus Dur melalui lukisan. Semoga, acara ini sukses sesuai yang diharapkan. Dan para gusdurian memperoleh pesan kecintaan yang disimpan dalam guratan seni ini. Kepada pelukisnya saya ucapkan selamat!
Penulis adalah perupa, tinggal di Yogyakarta