Oleh Taufiqurrahman Khafi
Tahun 2001, saya masih duduk di bangku kuliah semester awal di Institut Agama Islam (IAI) Nurul Jadid(sekarang sudah menjadi Universitas Nurul Jadid (UNUJA), Paiton, Probolinggo, Jawa Timur. KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yang waktu itu masih presiden, datang ke Nurul Jadid sebagai tamu istimewa. Ia didaulat berceramah di hadapan ratusan wisudawan yang sudah menamatkan studinya. Gus Dur, waktu itu menjadi satu-satunya Presiden RI yang menginjakkan kakinya di pondok pesantren yang didirikan oleh KH Zaini Mun'im.
Memulai ceramahnya, Gus Dur langsung melemparkan joke yang menjadi ciri khasnya.
"Selamat datang para pengangguran baru di Indonesia." Begitu kata Gus Dur yang langsung disambut ngakak oleh ribuan hadirin.
Gus Dur pun melanjutkan ceramahnya. Kali ini, Gus Dur mulai serius. Gus Dur memulainya dengan melempar pertanyaan yang tak membutuhkan jawaban, karena akan dijawab sendiri.
"Adakah di antara kalian para pengangguran baru ini yang sudah menamatkan buku sebanyak 300 judul?" tanya Gus Dur.
Pertanyaan itu nampaknya tidak mengundang hadirin untuk tertawa. Justru para calon pengangguran baru itu, hanya saling toleh dengan sesama rekannya, bersama dengan baju toga kebanggaan mereka setelah diwisuda.
"Jika kalian tidak menamatkan 300 judul buku sampai kalian diwisuda hari ini, maka status Anda sebagai sarjana perguruan tinggi pondok pesantren perlu dipertanyakan. Sebab, dunia pesantren itu tradisinya, membaca apa saja yang menjadi pengetahuan."
Pesan itulah yang sangat berkesan dan terus membekas sampai 9 tahun wafatnya Gus Dur. Saat itulah, saya bertekad menjadi wisudawan ideal sepertinya pesan yang disampaikan Gus Dur. Saya langsung menuju bazar buku yang ada di sekitar lokasi diselenggarakannya wisuda. Banyak buku tentang Gus Dur dijual di bazar waktu itu.
Akhirnya, saya jatuh cinta kepada buku berjudul Prisma Pemikiran Gus Dur, terbitan LKiS Yogyakarta, tahun 2000. Buku berisi 238 halaman ini, diawali dengan kata pengantar dari Hairus Salim dan Greg Barton. Untuk membeli buku ini, saya harus mengorban jatah uang makan selama 15 hari.
Dari buku itulah, saya mulai mempelajari pemikiran Gus Dur. Waktu itu, sulit bagi saya untuk mencerna isi ceramah Gus Dur. Ia menyampaikan bagaimana penentangan dirinya atas teori Samuel Huntington tentang identitas budaya dan agama yang akan menjadi konflik utama di dunia pasca perang dingin. Teori ini ditulis Samuel Huntington dalam bukunya Clash of Civilization.
Penentangan Gus Dur atas Samuel Huntington, juga disampaikan Gus Dur di forum-forum internasional. Termasuk di beberapa perguruan tinggi di Amerika. Saya menangkapnya dari Gus Dur waktu itu, teori benturan peradaban Samuel Huntington tidak berdasarkan penelitian komprehensif tentang identitas budaya dan agama di dunia. Terlebih lagi Asia Tenggara, di negara-negara ASEAN, bahkan di Indonesia.
Bagi saya, jangankan mengenal nama Samuel Huntington, mengenal nama Gus Dur pun hanya sekadar cerita pengantar tidur dari ayah. Saya tak pernah tertarik membaca majalah AULA langganan ayah, yang diantarkan pengurus NU setiap bulan ke rumah. Ketidaktertarikan pada majalah itu, karena tidak ada komik bergambar di dalamnya. Sehingga selalu saya abaikan.
Yang tersisa dari ingatan saya dari cerita ayah, bahwa NU punya tokoh besar namanya Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, yang berani ceramah di gereja-gereja meskipun banyak ditentang mayoritas ulama di akhir tahun 80-an sampai awal tahun 90-an.
Dalam konteks hari ini, pesan Gus Dur bahwa menjadi seorang sarjana 1 harus mengkhatamkan 300 judul buku, Gus Dur mengajarkan pentingnya dunia literasi bagi mahasiswa. Gus Dur telah membuka jalan bagi kita, bahwa sarjana harus memiliki kemampuan membaca dan menulis. Bahkan, di era revolusi 4.0 ini, seorang sarjana itu dituntut memiliki kemampuan untuk memahami, menganalisis dan mendekonstruksi pencitraan media. Kemapuan untuk melakukan hal ini, ditujukan agar konsumen media bisa melek tentang cara media dikonstruksi dan diakses.
Di era literasi media, buku bukanlah satu-satunya sumber kebenaran ilmiah, namun media memiliki peran besar untuk mengkonstruksi kebenaran. Bahkan media memiliki power secara intelektual di tengah publik dan menjadi medium untuk pihak yang berkepentingan untuk memonopoli makna (sign).
Penulis adalah Ketua Lakpesdam PCNU Pamekasan