Opini

Hari Buruh, Merawat Semangat Kebersamaan

Kam, 30 April 2020 | 22:10 WIB

Hari Buruh, Merawat Semangat Kebersamaan

Ilustrasi: Kemnaker

Oleh: Ida Fauziyah
Bermula dari gerakan para pekerja pabrik di Amerika Serikat yang menuntut hak dan perlakukan lebih manusiawi di awal bulan Mei 1886, tanggal 1 Mei di kemudian hari diperingati sebagai Hari Buruh Internasional atau kerap disebut May Day, yang biasanya ditandai oleh aksi turun ke jalan untuk menyuarakan kepentingan kaum pekerja.
 
Meski kini wabah korona tengah melanda negeri kita sehingga sehingga hampir bisa dipastikan tak ada demonstrasi besar-besaran di jalan raya sebagaimana lazimnya, makna substansial yang ada di balik peringatan Hari Buruh tidaklah mungkin kita abaikan.
 
Sebaliknya, tanggal bersejarah yang mengingatkan dunia pada pengorbanan para pekerja di berbagai sektor kehidupan ekonomi itu sudah sepantasnya direnungkan serius, seraya dipikirkan sungguh-sungguh apa yang menjadi isu-isu atau topik permasalahan yang sedang bergulir di dalamnya.
 
Bagaimanapun, para pekerja adalah pahlawan keluarga sekaligus pahlawan bagi bangsanya. Mereka memeras keringat setiap hari demi menghidupi anak-istri/suami, serta berpartisipasi menggerakkan roda perekonomian negeri. Terganggunya aktivitas mereka otomatis menyebabkan goyahnya kehidupan banyak keluarga, serta mengakibatkan menyusutnya pendapatan negara, yang pada akhirnya bakal memperlambat laju pembangunan.
 
Satu hal yang sulit dipungkiri merupakan persoalan krusial saat ini tentu saja terkait nasib para pekerja yang mengalami PHK atau pun kehilangan mata pencaharian untuk sementara waktu lantaran terpukulnya hampir semua sektor industri oleh pandemi korona, yang mengharuskan dibatasinya lalu lintas manusia dan barang demi menekan penyebaran virus yang sudah memakan korban ratusan ribu jiwa di seluruh dunia itu.
 
Bisa dibayangkan betapa jutaan rakyat Indonesia sekarang terbelit persoalan finansial karena terhentinya kegiatan produktif mereka, sambil menunggu redanya badai krisis yang belum diketahui pasti ujungnya. Apalagi bagi kalangan buruh lepas atau pekerja kasar yang mengandalkan upah maupun laba harian sebagai sumber utama ekonominya. Beban yang dirasakan tentu semakin berat.
 
Maka sudah selayaknya bila semua pihak bergandengan tangan, bahu-membahu menggalang kekuatan bersama untuk mengatasi kondisi yang pelik ini; Para pengusaha memikirkan terbaik yang paling memungkinkan diambil demi memperkecil risiko PHK di kalangan karyawannya. Kelas menengah-atas yang kebetulan dianugerahi kelebihan rezeki seyogyanya menggencarkan semangat berbagi dan berempati. Sementara pemerintah dengan seluruh instrumen kekuasaannya menggelontorkan beragam kebijakan "emergency exit" untuk mengurangi kepengapan ekonomi yang diderita rakyat di lapisan bawah.
 
Dalam situasi krisis seperti saat ini, tak ada gunanya bersikap saling tuding dan getol menyalahkan satu sama lain sembari melempar wacana beraroma kebencian dan permusuhan, yang malah memperlemah "spirit of togetherness" atau jiwa kebersamaan. Kalaulah tendensi politik, ideologi, atau pragmatisme pada konteks tertentu dianggap absah mewarnai dinamika kehidupan bernegara yang demokratis, tetap saja rasanya kurang bijak kalau kondisi "extra-ordinary" yang mempertaruhkan nasib jutaan orang justru dimanfaatkan untuk "memancing di air keruh".
 
Apalagi sekarang kita sedang memasuki bulan suci Ramadan. Bulan spesial yang patut dipenuhi dengan segala macam upaya "muhasabah" (instropeksi diri) dan "mujahadah" (bersungguh-bersungguh melakukan kebajikan), termasuk menebar kemanfaatan bagi orang banyak, khususnya mereka yang tengah ditimpa kemalangan.
 
Jika selama ini Ramadan senantiasa disemarakkan oleh berbagai rangakaian acara penyerahan santunan kepada anak-anak yatim dan fakir-miskin yang telah teridentifikasi nyata, mungkin ada baiknya kalau perhatian kita saat ini juga disisihkan sebagian untuk membantu para tetangga, teman, atau orang-orang yang "tulang-punggung" keluarganya terkena PHK atau terdampak wabah korona.
 
Jadi, Hari Buruh yang kini diperingati sebenarnya merupakan "hari kita semua". Apa yang ingin dirayakan oleh kaum pekerja pada dasarnya adalah cita-cita ideal yang juga menjadi harapan kita, dan keluh-kesah mereka pun sebetulnya menjadi bagian dari persoalan kita. Bila kondisi ekonomi para pekerja belakangan ini sangat rentan, sudah sewajarnya pula kalau kita semua berusaha mengulurkan bantuan, sembari membahas kembali tentang penataan nasib dan masa depan mereka tatkala badai pandemi mulai mereda.
 
Penulis adalah Ketua LKK PBNU. Saat ini menjabat sebagai Menteri Ketenagakerjaan RI