Opini

Hisab itu Bid’ah

Ahad, 2 Juni 2019 | 02:00 WIB

Hisab itu Bid’ah

Ilustrasi: Para santri studi praktik ilmu falak

Oleh Muhammad Ishom

Ada dua metode yang sudah biasa digunakan untuk menentukan awal bulan Qamariyah, seperti 1 Ramadhan dan 1 Syawal, yakni metode rukyat dan metode hisab. Pada zaman Rasulullah shallallahu alahi wasallam metode yang digunakan adalah rukyat, yakni melihat langsung ke hilal atau bulan baru. Rasulullah tidak menggunakan metode hisab meski saat itu sudah ada beberapa sahabat yang mempelajari ilmu hisab. 

Rasululah memang tidak pandai berhitung atau hisab sebagaimana pernah beliau nyatakan dalam sebuah hadits berikut ini:

إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ لاَ نَكْتُبُ وَلاَ نَحْسُبُ الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا يَعْنِى مَرَّةً تِسْعَةً وَعِشْرِينَ وَمَرَّةً ثَلاَثِينَ

Artinya: “Sesungguhnya kami adalah umat yang ummi yang tidak menulis dan tidak berhitung. Bulan itu bilangannya begini, begini (dengan isyarat tangan, yakni sekali waktu 29 hari dan sekali tempo 30 hari.” (HR Bukhari)

Hadits tersebut menunjukkan bahwa Rasulullah tidak menggunakan hisab dalam menentukan awal bulan-bulan Qamariyah. Jika terjadi bulan baru tak dapat dilihat karena alasan tertentu, seperti terhalang mendung, hal yang dilakukan Rasulullah beserta para sahabat adalah melakukan istikmal, yakni menggenapkan bulan Sya'ban atau Ramadhan misalnya, menjadi 30 hari sebab bulan itu hitungannya kalau tidak 29 hari ya 30 hari. 

Perintah melakukan istikmal dapat ditemukan dalam hadits berikut ini:

صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِينَ

Artinya: “Berpuasalah kalian karena melihat hilal dan berbukalah (berlebaran) kalian karena melihatnya. Jika kalian terhalang (dari melihatnya) maka sempurnakanlah bilangan Sya’ban menjadi tiga puluh hari.” (HR. Bukhari) 

Jadi memang Rasulullah shallallahu alahi wasallam tidak pernah menggunakan metode hisab untuk menentukan awal puasa 1 Ramadhan, hari Idul Fitri 1 Syawal dan sebagainya. 

Pertanyaannya adalah apakah metode hisab itu termasuk bidáh? Bukankah ia merupakan sesuatu yang baru dan tidak pernah dipraktikkan Rasulullah beserta para sahabat? 

Baca juga:
Penentuan Awal Bulan Qamariyah Perspektif NU
Memahami Dalil Rukyat Hilal Melalui Bahasa
Untuk menjawab pertanyaan di atas, diperlukan rujukan sejarah kapan metode hisab mulai digunakan oleh sebagian umat Islam. Tercatat bahwa metode hisab untuk menentukan awal Ramadhan muncul pertama kali pada pertengahan abad ke-3 Hijriah, atau sekitar 2 abad setelah Rasulullah shallallahu alahi wasallam wafat. Lebih tepatnya pada masa khalifah ke-2 dari Bani Abbasiyah yang bernama Khalifah Ja’far al-Mansyur (wafat 156 H/775 M). Di Mesir metode hisab diberlakukan setelah negeri ini direbut oleh panglima Dinasti Fathimiyyah yang bernama Jauhar as-Siqli pada pertengahan abad ke-3 Hijriah. 

Pada masa itu ilmu hisab sudah dikembangkan, misalnya dengan diterjemahkannya kitab Sindihind karya seorang ahli falak/hisab bernama Manka dari India. Penerapan metode hisab murni tanpa rukyat dinilai banyak ulama sebagai sebuah bid’ah

Di Indonesia salah satu ormas Islam yang gigih menggunakan metode hisab adalah Muhammadiyah. Organisasi ini sangat terkenal di masa lalu, khususnya, dengan jargon anti TBC-nya yang menolak T (Takhayul), B (Bidáh) dan C (Churafat). Namun demikian, hisab tidak dipandangnya sebagai bid’ah. Alasannya adalah hisab yang dilakukannya untuk menentukan awal bulan, khususnya Ramadhan dan Syawal, didasarkan pada pemahaman terhadap perintah Rasulullah dalam sebuah hadits berikut:

إِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَصُومُوا، وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ

Artinya, “ Apabila kalian melihat hilal maka berpuasalah dan apabila kalian melihatnya maka berhari rayalah, dan apabila kalian terhalang maka taqdir-kanlah. ” (HR. Bukhari dan Muslim).

Kalimat فَاقْدُرُوا لَهُ (faqduruulahu - maka taqdir-kanlah) pada akhir matan hadits tersebut dipahami oleh kalangan Muhammadiyah sebagai perintah untuk melakukan perhitungan dengan metode hisab dalam menentukan awal bulan Qamariyah, terutama Ramadhan dan Syawal. Padahal ijma’ ulama memahaminya sebagai perintah untuk men-taqdir-kan dengan istikmal (metode rukyat) sebab hadits tersebut menurut mereka harus dipahami dengan memperhatikan hadits lain tentang istikmal sebagaimana telah disebutkan di atas. 

Oleh karena itu wajar saja jika banyak ulama menilai metode hisab murni tanpa rukyat untuk menentukan awal bulan Qamariyah, khususnya Ramadhan dan Syawal, adalah sesuatu yang baru yang tak pernah dilakukan Rasulullah dan para sahabat. Kalangan NU menggunakan hisab hanya untuk mendukung metode rukyat. Jadi, menurut penulis, hisab untuk keperluan ibadah itu bidáh terlepas apa kategorinya--apakah haram, sunah, wajib, makruh, ataukah mubah. 


Penulis adalah dosen Fakultas Agama Islam Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Surakarta.