Opini

Hiwalah sebagai Strategi Percepatan Pembangunan Indonesia

Ahad, 26 Agustus 2018 | 05:00 WIB

Hiwalah sebagai Strategi Percepatan Pembangunan Indonesia

Ilustrasi (anu.edu.au)

Oleh Muhammad Syamsudin

Hiwalah merupakan strategi pengalihan tanggungan kepada pihak ketiga atas keberadaan suatu aset yang sudah jadi. Umumnya hiwalah dalam kajian fiqih dimaknai sebagai pengalihan tanggungan utang. Namun, sebenarnya tidak hanya soal utang saja yang bisa diwadahi dalam akad hiwalah. Pengalihan urusan tanggung jawab serta wewenang seseorang kepada orang lain disebabkan adanya pihak kedua dan ketiga yang turut terlibat dalam skema, ini juga bisa diwadahi dalam hiwalah.

Jelasnya, hiwalah adalah pelimpahan kekuasaan/wewenang baik sebagian atau seluruhnya kepada pihak lain. Dalam prinsip pembangunan modern, hiwalah sering dipakai untuk mengalihkan sebagian atau seluruh beban proyek infrastruktur yang sudah jadi dan terlaksana kepada pihak ketiga dengan tujuan:

1. Mengurangi beban utang negara kepada pihak yang memberi utang

2. Mempercepat pembangunan infrastruktur lain yang belum selesai dibangun, dengan risiko tidak lagi menggali utang kepada kreditur. 

Secara makro ekonomi, yang dimaksud dengan kreditur adalah badan dunia atau negara pemberi utang. Seperti misalnya, International Monetary Fund, World Bank. Dulu pada zaman orde baru, ada istilah IGGI atau Intergovermental Group on Indonesia yaitu sebuah kelompok internasional yang didirikan pada tahun 1967 dan diprakarsai oleh Amerika Serikat untuk mengkoordinasikan dana bantuan multilateral kepada Indonesia. Sebenarnya masing-masing keberadaan IGGI, IMF dan Bank Dunia ini memiliki tujuan yang sama, yaitu memberi kredit jangka panjang dan menengah kepada Indonesia guna mempercepat pelaksanaan pembangunan. 

Sayangnya, strategi pembangunan yang dilaksanakan oleh Indonesia kurang berjalan mulus. Selain karena faktor korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) dalam tender proyek infrastruktur, juga diakibatkan strategi satu utang satu proyek ini yang mengakibatkan tumpukan utang Indonesia dari waktu ke waktu semakin meningkat. Mindset cara berfikir ini, rupanya berusaha diperbaiki oleh Pemerintah Indonesia saat ini melalui strategi baru prinsip pengalihan proyek. Pengalihan proyek inilah yang selanjutnya kita sebut sebagai hiwalah.

Mekanisme prinsip pengalihan proyek ini dilaksanakan dengan jalan, untuk satu utang proyek infrastruktur pengadaan jalan tol, tidak lagi langsung ditawarkan kepada pihak swasta. Pemerintah mengambil inisiatif lain yaitu dengan penghandelan seluruh mega proyek lewat badan pemerintah sendiri yang dikoordinatori oleh Kementerian Perhubungan dan Menteri Perumahan Rakyat dengan melibatkan swasta sebagai mitra proyek.

Ada perbedaan mendasar antara menjadikan swasta sebagai mitra dan sebagai pemrakarsa. Jika swasta sebagai mitra, maka swasta memiliki keterikatan saham dengan infrastruktur yang dibangun serta terikat dengan komposisi aturan perundangan di Indonesia tentang saham minimal negara dalam badan usaha. Dalam hal ini, komposisi komposisi saham yang harus dikuasai pemerintah adalah sebesar 51%. Sementara sisanya, 49% bisa dimiliki oleh swasta. 

Kondisi ini akan berbeda apabila swasta sebagai pemrakarsa, maka infrastruktur yang sudah jadi nantinya akan dikuasai oleh swasta, sementara pihak pemerintah hanya mendapatkan sedikit pemasukan yang dilewatkan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah selaku tuan rumah. Pengeluaran anggaran sudah pasti dilakukan oleh pemerintah, namun unsur ketergantungan terhadap swasta ini menjadi membudaya, sementara imbas pemasukan ke pemerintah pusat hanya kecil. 

Strategi pembangunan ala hiwalah modern dilaksanakan dengan jalan membangun infrastruktur yang strategis, misalnya pelabuhan. Seluruh mega proyek dilangsungkan dengan dihandel langsung pemerintah. Pihak swasta pelaksana proyek berposisi sebagai pelaksana lapangan. Ibarat seorang tuan rumah yang hendak membangun rumah dengan rekanan tukang. Pihak tukang harus tunduk dan patuh sepenuhnya kepada kemauan tuan rumah. Pengawasan yang dilakukan oleh tuan rumah dapat berimbas pada cepatnya pelaksanaan pembangunan. 

Demikianlah kiranya gambaran umum dari proyek infrastruktur dewasa ini. Kendali utama proyek ada di tangan kementerian yang membawahinya. Dengan demikian, selama proyek masih berlangsung, maka seluruh saham kepemilikan masih berada di tangan pemerintah. Sudah barang tentu, tidak ada yang bisa mengambil keuntungan sendiri di sini. Berbeda bila proyek tersebut ditawarkan dalam bentuk tender-tender padat karya. Proposal tender yang diajukan oleh swasta, umumnya akan disertai dengan pendapatan yang bisa diperolehnya. Akibatnya dana bisa membengkak. Seharusnya dalam hitungan manual, proyek hanya menghabiskan dana 10 triliun, menjadi membengkak sebesar 20 triliun, dengan nilai jual saham proyek hanya sebesar 15 triliun. Defisit kerugian sebesar 5 triliun menjadi sulit ditekan. 

Bila proyek dihandel oleh pemerintah sendiri, pihak swasta berperan selaku yang diberi ujrah akibat kerjanya. Ujrah ini bisa diberikan seketika dalam bentuk ongkos kerja, namun bisa juga diakumulasi dalam bentuk utang pemerintah ke swasta yang selanjutnya apabila proyek sudah jadi, bisa ditawarkan dalam bentuk pengalihan utang menjadi saham kepemilikan. Biaya proyek tetap bisa ditekan menjadi 10 triliun. Sementara nilai jual total saham bisa mencapai 30 triliun. Keuntungan potensial sebesar 20 triliun sudah ada di depan mata bagi pemerintah. 

Ibarat orang membangun rumah. Nilai total anggaran membangun sebesar 500 juta. Namun, setelah bangunan berwujud nyata, nilai obyek jual barang bisa mencapai 2 miliar diakibatkan faktor strategis lokasi bangunan yang turut dipertimbangkan. Dari total 2 miliar ini, apabila dirupakan dalam bentuk saham, maka saham pemerintah sebesar 1 miliar lebih. Sisanya berupa saham yang ditawarkan ke swasta. Akuisisi swasta sebesar 999 Juta bisa menjadi pemasukan baru non utang pemerintah yang bisa dialihkan ke mega proyek infrastruktur lain. 

Inilah peran utama dari akad hiwalah ini dalam mega proyek pembangunan. Penerapan prinsip hiwalah, terbukti bisa mengurangi inflasi utang pemerintah kepada pihak luar. Dan rupanya, prinsip ini sudah mulai diadopsi oleh pemerintah dewasa ini dalam beberapa kegiatan proyek pembangunan yang dilakukan di beberapa daerah. Kita patut bersyukur atas kesadaran ini. Karena beban utang yang akan ditanggung oleh anak cucu bangsa ke depan kelak akan menjadi teratasi oleh strategi pembangunan dewasa ini. Wallahu a’lam.


Penulis adalah Pegiat Kajian Fiqih Terapan dan Pengasuh PP Hasan Jufri, P. Bawean, JATIM