Opini

Ikhtiar Lembaga Pendidikan Kaderisasi Ulama

Sel, 9 Februari 2016 | 23:02 WIB

Sesuai Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, kita mengenal jalur, jenjang, dan jenis dalam pendidikan yang diselenggarakan secara nasional. Jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, nonformal, dan informal.

Jenjang pendidikan formal terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Sementara jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan, dan khusus. Jalur, jenjang, dan jenis pendidikan dalam konteks implementasinya diselenggarakan oleh sejumlah Kementerian/Lembaga, di antaranya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Agama, Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi serta sejumlah kementerian lainnya yang memperkuat untuk kepentingan kedinasan di lingkungannya.

Salah satu turunan atas Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 itu adalah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan. PP ini secara tegas memberikan amanah kepada Kementerian Agama sebagai leading sector dalam penyelenggaraan jenis pendidikan agama dan keagamaan. Oleh karenanya, tidak ada instansi lain yang berwenang dan memiliki otoritas secara institusi kenegaraan dalam penyelenggaraan pendidikan agama dan keagamaan itu, kecuali Kementerian Agama. Pihak lain, dapat saja memberikan perhatiannya kepada  pendidikan agama dan keagamaan itu, terutama dalam bentuk dukungan fasilitasi dan pendanaan. Dengan demikian, Kementerian Agama pun selayaknya memberikan perhatian penuh terhadap nasib dan penyelenggaraan pendidikan agama dan keagamaan itu, baik pada aspek penguatan regulasi, penataan kelembagaan, kesetaraan afirmasi anggaran dan kegiatan/program.

Di tahun 2014, kita patut bersyukur bahwa Kementerian Agama telah menerjamahkan sebagian amanah dari PP 55 tahun 2007 itu ke dalam Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 13 Tahun 2014 tentang Pendidikan Keagamaan Islam  dan PMA Nomor 18 Tahun 2014 tentang Satuan Pendidikan Muadalah pada Pondok Pesantren. Bahkan, di semester akhir 2015, Kementerian Agama telah menerbitkan PMA Nomor 71 Tahun 2015 tentang Ma’had Aly. Kehadiran sejumlah PMA ini merupakan momentum awal bagi penguatan dunia pendidikan keagamaan, lebih-lebih pondok pesantren. Tinggal, apakah Kementerian Agama dan kita semua mau bersatu padu untuk mengimplementasikannya baik dalam dukungan kebijakan, anggaran, dan program-program strategis baik secara swakelola maupun secara sinergis.

Merujuk atas sejumlah PMA yang diterbitkan di atas, pada aspek kelembagaan, Kementerian Agama telah membuka kelembagaan baru dan memberikan pilihan kepada masyarakat untuk mendidik putera-puterinya menjadi kader ulama (mutafaqqih fiddin) melalui layanan Pendidikan Diniyah Formal, Satuan Pendidikan Muadalah,  dan Ma’had Aly.

Kelahiran sejumlah nomenklatur kelembagaan jenis pendidikan keagamaan pada jalur formal melalui jenjang pendidikan dasar, menengah dan tinggi dalam bentuk Pendidikan Diniyah Formal, Satuan Pendidikan Muadalah, dan Ma’had Aly ini guna menjawab sejumlah kekosongan lembaga pendidikan yang didesain untuk mengisi ruang kosong yang sementara ini diabaikan, termasuk oleh negara, dan oleh karenanya negara harus hadir terutama untuk memfasilitasi dan merekognisi, yakni lembaga pendidikan kaderisasi ulama.

Jika mencermati layanan satuan pendidikan formal tingkat pendidikan dasar dan menengah saat ini, kita hanya mengenal satuan pendidikan formal: jenis pendidikan umum dan jenis pendidikan umum berciri khas Islam. Meski berciri khas Islam, namun ia tetap masuk dalam kategori jenis pendidikan umum. Satuan pendidikan formal jenis pendidikan umum diwujudkan dalam bentuk SD (Sekolah Dasar), SMP (Sekolah Menengah Pertama), dan SMA/SMK (Sekolah Menengah Atas/Sekolah Menengah Kejuruan). Layanan pendidikan berjenis pendidikan umum ini menjadi otoritas Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Jika melihat beban belajar kurikulernya, mata pelajaran agama (Islam) diajarkan kepada para siswanya hanya 2 hingga 3 jam pelajaran untuk setiap minggunya. Melihat kondisi ini, Kementerian Agama memberikan penguatan kepada para siswa sekolah mulai jenjang SD, SMP hingga jenjang SMA/SMK ini untuk mengikuti layanan pada Madrasah Diniyah Takmiliyah (MDT) jenjang Ula, Wustha, dan Ulya yang masing-masing diselesaikan selama 4 (empat), 2 (dua), dan 2 (dua) tahun. Madrasah Diniyah Takmiliyah ini merupakan layanan pendidikan nonformal sebagai pelengkap (suplemen) atas mata pelajaran agama yang biasanya diselengarakan oleh masyarakat pada sore hari.

Adapun satuan pendidikan formal jenis pendidikan umum berciri khas Islam ini diwujudkan dalam bentuk MI (Madrasah Ibtidaiyah), MTs (Madrasah Tsanawiyah), dan MA (Madrasah Aliyah). Layanan pendidikan jenis pendidikan umum berciri khas Islam ini menjadi otoritas Kementerian Agama, dalam hal ini Direktorat Pendidikan Madrasah Direktorat Jenderal Pendidikan Islam. Jika melihat beban belajar kurikulernya, mata pelajaran agama Islam yang diajarkan kepada para siswanya diwujudkan dalam mata-mata pelajaran: Al-Quran-Hadits, Fiqh, Aqidah-Akhlak, Sejarah Kebudayaan Islam, dan Bahasa Arab yang diajarkan dalam beberapa jam pelajaran yang lebih sedikit dibanding dengan mata-mata pelajaran umum.

Lulusan pendidikan murni (pure) baik dari sekolah (sebagai pendidikan formal jenis pendidikan umum) maupun dari madrasah (sebagai pendidikan formal jenis pendidikan umum berciri khas Islam) dengan tanpa ada ‘sentuhan’ pendidikan pesantren, dalam banyak hal oleh sebagian besar masyarakat dinilai belum cukup mampu untuk melahirkan ahli di bidang ilmu agama Islam (mutafaqqih fiddin). Materi agama Islam yang diajarkan selama 2 hingga 3 jam pelajaran di sekolah dan materi agama Islam yang diwujudkan dalam 5 (lima) mata pelajaran Al-Quran-Hadits, Fiqh, Aqidah-Akhlak, Sejarah Kebudayaan Islam, dan Bahasa Arab yang diajarkan di madrasah itu, dengan tanpa mendapatkan layanan pendidikan pesantren, itu dinilai belum atau tidak mampu melahirkan lulusan yang memiliki kapabilitas atau kompetensi ulama, ahli di bidang ilmu agama Islam. Tegasnya, lulusan yang murni sekolah dan lulusan madrasah tanpa ada pendidikan pesantren, itu tidak mampu sebagai kader ulama.

Dalam konteks itulah, Pendidikan Diniyah Formal, Satuan Pendidikan Muadalah pada Pondok Pesantren, dan Ma’had Aly sengaja dihadirkan. Sejumlah lembaga ini merupakan entitas kelembagaan pendidikan keagamaan Islam yang bersifat formal untuk menghasilkan lulusan mutafaqqih fiddin (ahli ilmu agama Islam). Lembaga-lembaga ini diselenggarakan oleh dan berada di pesantren yang dilakukan secara terstruktur dan berjenjang pada jalur pendidikan formal. Sebagai satuan pendidikan yang bersifat formal yang sekaligus bagian dari penuntasan Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar (Wajar Dikdas), baik Pendidikan Diniyah Formal maupun Satuan Pendidikan Muadalah pada Pondok Pesantren memiliki civil effect yang sama, seperti halnya sekolah dan madrasah, seperti Bantuan Operasional Sekolah (BOS), tunjangan sertifikasi guru, akreditasi, dan lain-lain. Di samping itu, lembaga ini merupakan bagian dari upaya peningkatan dunia pesantren, di samping sebagai ikhtiar konservasi dan pengembangan disiplin ilmu-ilmu keagamaan Islam.

Kurikulum yang dikembangkan baik oleh Pendidikan Diniyah Formal maupun Satuan Pendidikan Muadalah terdiri atas pendidikan umum dan pendidikan keagamaan Islam berbasis kitab. Mata-mata pelajaran pendidikan umum hanya terdiri atas Pendidikan Kewarganegaraan, Bahasa Indonesia, Matematika, dan Ilmu Pengetahuan Alam, serta untuk tingkat ulya ditambah dengan Seni dan Budaya, yang semua mata pelajaran umum itu disusun sesuai dengan tradisi dan kultur pesantren dengan basis kitab. Sementara mata pelajaran keagamaan Islam hingga di tingkat ulya meliputi: Al-Qur’an, Tauhid, Tarikh, Hadist-Ilmu Hadits, Fiqh-Ushul Fiqh, Akhlaq-Tasawuf, Tafsir-Ilmu Tafsir, Bahasa Arab, Nahwu-Sharf, Balaghah, Ilmu Kalam, Ilmu Arudh, Ilmu Mantiq, dan Ilmu Falak yang semuanya berbasis kitab dan berbahasa Arab. Jika diakumulasi beban mata-mata pelajaran pendidikan keagamaan Islam ini setidaknya 80-an% dari seluruh beban pelajaran, sementara beban mata-mata pelajaran pendidikan umum sekitar 20-an% dari seluruh beban pelajaran.

Sebagaimana diatur dalam PMA nomor 13 Tahun 2014 dan PMA 18 Tahun 2014, peserta didik yang dinyatakan lulus berhak melanjutkan ke jenjang dan tingkat pendidikan yang lebih tinggi baik yang sejenis maupun tidak sejenis. Artinya, lulusan Pendidikan Diniyah Formal maupun Satuan Pendidikan Muadalah dapat melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi pada jenis pendidikan yang sama pada layanan pendidikan keagamaan Islam (PDF Ula/PDF Wustha/PDF Ulya/Ma’had Aly), maupun pada jenis pendidikan umum (SD/SMP/SMA/SMK/PTU) atau jenis pendidikan umum berciri khas Islam (MI/MTs/MA/PTKI).

Adapun Ma’had Aly sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi dan dikuatkan melalui PMA 71 Tahun 2015 tentang Ma’had Aly, maka ia menjadi salah satu bentuk dari Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam. Ma’had Aly memiliki kewenangan dan hak sama sebagaimana UIN, IAIN, STAIN, atau perguruan tinggi keagamaan Islam lainnya. Ma’had Aly didesain untuk melahirkan tokoh-tokoh agama, kyai-kyai, dan pemuka umat, yang memiliki wawasan berfikir, kematangan keilmuan keislaman, penguasaan terhadap khazanah literatur pondok pesantren terutama berbasis kitab kuning. Oleh karenanya, Ma’had Aly hanya dapat didirikan oleh dan berada di lingkungan pondok pesantren.

Sejumlah inisiasi kelembagaan pendidikan keagamaan Islam berbasis pondok pesantren ini menjadi ikhtiar kita bersama yang memberikan kemaslahatan dan kemanfaatan untuk pondok pesantren, negara dan bangsa. Semoga.


Suwendi, alumni Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon dan
anggota tim penyusun sejumlah Peraturan Menteri Agama RI