Opini OBITUARI

Ingat Sides, Ingat Satu Kalimat

Rab, 17 Oktober 2012 | 10:17 WIB

Saya bertemu Sides Sudyarto DS tanggal 9 bulan Juni tahun lalu. Pertemuan pertama itu rupanya yang terakhir pula. Pertemuan tersebut berlangsung saat Lesbumi meluncurkan buku antologi puisi Negeri Cincin Api, di Galeri Cipta II, Taman Ismail Marzuki, Jakarta.
<>
Pada kesempatan itu, Sides didaulat sebagai salah seorang pembedah. Sayangnya saya datang terlambat, jadi tak menyimak dari awal. Tapi saya sempat melihat dia menyampaikan bahasa dan manusia sambil berdiri. Nada suaranya tinggi. Padahal usianya tak muda lagi.

Kendati demikian, saya bisa mendengar ia mengutip Richard Rorty bahwa peran filsuf sekarang digantikan sastrawan. Kemudian ia mempertanyakannya, apakah pernyataan filsuf posmodern itu masih berlaku sekarang ini?

Bisa iya, bisa tidak. Bisa iya dengan dua sayarat. Pertama, sastrawan harus mengenal filsafat secara signifikan. Kedua, sastrawan harus memiliki integritas moral tinggi terhadap manusia dan dunianya.

Pertanyaannya sekarang, bagaimana dengan sastrawan di Indonesia? Apakah sesuai dengan yang dikatakan Rorty?

Sides menjelaskan sendiri dengan menyatakan, “Seandainya Rorty sempat mendengar nasib sastra Indonesia, pastilah ia bakal kecewa. Atau sambil senyum getir, ia akan merevisi ucapannya sendiri. Sastra Indonesia modern mengalami khaos berkepanjangan. Karya sastra mengalami khaos karena kritik sastra sudah mengalami khaos terlebihdahulu. Akibatnya, sekarang ini terlampau banyak puisi yang juga mengalami khaos,” katanya.

Menurut Sides, sastrawan kita tidak bisa mungkin menggantikan peran fillsuf karena umunya menganggap bahwa filsafat berada di luar areal pemikiran filosofis. Anehnya pula, filsafat masih merupakan barang lux bagi kebanyakan sastrawan kita.

Tidak hanya itu, sastrawan kita tidak memiliki spirit untuk mendorong masyarakat berevolusi menjadi makhluk budaya, makhluk yang bermoral. Sudah lama puisi-puisi lahir hanya untuk menunjukkan kedangkalan makna yang jauh dari etika dan estetika.

Selepas acara, saya mendatanginya. Saya bertanya, apa yang mesti dilakukan Nahdlatul Ulama terkait kebudayaan.

“Garis perjuangan NU sudah tepat. Tinggal praktiknya. Dulu, ketika NU jadi parpol, berperan banyak untuk bangsa. Peran NU sekarang harus memperkuat kebudayaan. Memperkuat berarti menyelamatkan. Menyelamatkan kebudayaan berarti menyelamatkan manusianya itu sendiri dari bahaya dan ancaman yang bisa memusnahkan manusia dan kemanusiaan.”

Baginya, NU punya potensi besar untuk menjalankan pendapatnya itu. Makanya, ia tak ragu menjadi salah seorang pengurus di Lesbumi, sebuah organisasi kebudayaan NU yang lahir tahun 1962.

“Saya orang Lesbumi, kalau tidak percaya, saya tunjukkan SK-nya,” katanya tegas.

Sejak pertemuan itu, saya tidak pernah komunikasi dengan sastrawan kelahiran Tegal, Jawa Tengah, tanggal 14 Juli 1942. Jangankan saya, Lesbumi saja tidak banyak mengingat Sides yang notebene adalah aktivisnya. Ini tentu kesedihan Sides, kesedihan kita semua.
***

Beberapa bulan lalu, saya melihat akun Facebook Naning Pranoto memosting buku terbaru Sides. Langsung saya kirim inbox, menanyakan bagaimana cara mendapatkan buku itu. Ia tak menjawab.

Hingga suatu waktu dia menanyakan, kenapa kamu menginginkan buku itu? Kemudian saya bercerita.

Saya mengetahui Sides ketika di sekolah Madrasah Diniyah Awaliyah (sekarang Madrasah Diniyah Takmiliyah) Miftahul Aulad, di kampung saya. Ketika samenan atau kenaikan kelas, salah seorang teman membacakan puisi. Pada pembacaan puisi itu dia menyebut nama pahlawan sebagai judul dan nama penulis Sides Sudyarto DS. Di kemudian hari, teman saya tahu ternyata bersumber dari Pahlawan dalam Puisi.

Kemudian akun itu off. Di lain kesempatan, akun itu menanyakan, alamat dan nomor kontak saya. Kemudian saya kirim alamat NU Online.

***

Tanggal 27 September siang, saya ditelepon nomor tak dikenal. Ternyata Sides Sudyarto DS. Ia mengatakan, jika ingin buku Kritik Atas Puisi Indonesia, segeralah main ke rumahnya. Saya mengiyakan, tapi menunda-nunda.

Hari Selasa tanggal 9 Oktober lalu, Hamzah Sahal melemparkan dua bungkusan. Satu ditujukan untuk saya, sisanya untuk teman. Saya timang bungkusan untuk saya. Di amplop itu terdapat nama Naning Pranoto sebagai pengirim. Saya langsung ingat, janji silaturahim ke Pak Sides belum dipenuhi.

Ketika dibuka, bungkusan berisi buku Kritik Atas Puisi Indonesia. Lima belas menit kemudian, ponsel saya bergetar, seorang sahabat menanyakan, apa betul Pak Sides wafat? 

Betul, ia sudah wafat. Dan saya langsung ingat satu kalimat darinya, yang sepertinya jadi wasiat (buat aktivis NU), "Peran NU sekarang harus memperkuat kebudayaan." (Abdullah Alawi, Wartawan)