Opini

Internasionalisasi Moderasi Islam: Dari Islam Nusantara untuk Peradaban Dunia

Sel, 19 Januari 2016 | 16:00 WIB

Oleh Ribut Nur Huda*
Dewasa ini dunia menghadapi konflik perang saudara atas nama ras dan bahkan agama. Akibatnya tidak hanya mengganggu stabilitas negara yang bersangkutan tetapi juga negara di sekitarnya atau negara yang terlibat di dalamnya. Contoh dalam hal ini adalah konflik Suriah, Yaman, Palestina, Mesir, Sudan dan negara-negara Muslim lain yang bisa dikatakan belum aman. Tidak bisa dipungkiri bahwa sebab utama adalah dangkalnya pemahaman tentang Islam atau agama yang dianutnya. Kedangkalan ini kemudian menjadi doktrin untuk melakukan kekerasan atas nama agama walaupun sebenarnya hanya alibi kepentingan politik. 

Idealitas berkata lain tentang Islam sebagai risalah penyelamatan. Islam dengan makna menyelamatkan didukung oleh realitas sejarah pada masa Nabi Saw berdakwah di Makkah dan Madinah.  Prestasi Piagam Madinah adalah bukti nyata bahwa Islam tidak hanya membawa misi dakwah tetapi juga misi kemanusiaan . Islam tidak cukup dipandang hanya sebagai agama syari’ah, tetapi juga agama peradaban. 

Doktrin Islam tidak disampaikan dengan paksaan apalagi kekerasan. Perbedaan pendapat, cara berfikir dan pandangan politik adalah sarana menguatkan ghadhab atau emosi bersaing dan membangun kesadaran sosial untuk kemaslahatan bersama baik dalam berbangsa dan beragama. Sejarah mencatat adanya gerakan ideologis yang mengarahkan sudut pandang kebenaran di pihak tertentu karena kecenderungan sektarian justru kontra-produktif dan merusak masyarakat. Kelompok ini sudah ada sejak zaman Nabi Saw dengan sebutan Khawarij sebagai representasi fanatisme pemimpin kabilah yang dikikis sedikit-demi sedikit  oleh para pengikut Nabi Saw melalui hubungan kesefahaman tentang wujud inklusi sosial.  

Kader-kader Nabi Saw yang berilmu dan bijak merupakan didikan para pewaris Nabi Saw. Mereka  memberikan kontribusi terwujudnya masyarakat yang berperadaban. Istilah local wisdom (kebijaksanaan lokal) sebagai prinsip dakwah dengan cara  "bertahap" dan "tidak menyakiti" bukan prinsip oposisi biner (perlawanan) seperti “benar-salah” atau “hitam-putih” sudah ada rujukan sejarahnya. Ini menjadi prinsip dalam dakwah yang tercermin dalam konteks Indonesia berupa institusi yang memiliki metodologi dalam mengkontekstualisasikan wahyu yang absolut kepada realitas yang relatif. Institusi ini mampu mengakomodir budaya lokal dengan prinsip moderasi pada aqidah, syari'ah maupun tasawuf. Institusi ini di Indonesia dikenal dengan Nahdlatul Ulama (NU) dan memiliki cabang di luar negeri untuk misi pengkaderan dan dakwah ‘internasionalisasi moderasi Islam’. 

Setelah adanya model nation-state atau negara bangsa, ada kesamaan antara Pancasila sebagai landasan konstitusional negara dengan Piagam Madinah pada masa Nabi Saw. Ketika itu prinsip negara mampu mengakomodir Maqoshidus Syari’ah sebagai konsep universal bagi agama-agama. Menurut hasil konsensus para ulama, Indonesia bukan negara Islam dan juga bukan negara sekuler melainkan negara damai (darussalam) atau negara Muslim. Darussalam mendapat dukungan normatif dan proaktif dari Nahdlatul Ulama (NU) sebagai organisasi Islam terbesar tanpa mengenyampingkan organisasi lain. 

Prinsip moderasi ini, menjelaskan kedudukan NU secara syari’at sebagai organisasi, secara hakekat sebagai komunitas (kekeluargaan) dan secara ma’rifat adalah Islam itu sendiri. Organisasi sosial-keagamaan ini berkomitmen dengan misi para pendirinya yaitu menjaga pesan otentik wahyu melalui transmisi keilmuan yang jelas dan transformasi sosial yang massif ke akar rumput dan kuat ke menara gading. Sikap terhadap politik dan budaya adalah penghapusan kasta-kasta dan budaya-budaya sebelum Islam yang tidak sesuai dengan landasan normatif dan dakwah. Sebab landasan normatif aqidah dan fiqih masih dapat menampung budaya lokal. Disamping itu, aqidah Asy’ari tidak eksklusif dalam melihat madzhab kalam. Selagi masih berpayung di bawah payung Islam dengan mengucapkan syahadat, shalat menghadap kiblat dan meyakini adanya rukun Islam dan iman maka mereka adalah sesama Muslim. Berbeda dengan kelompok lain yang dengan mudah bagi seorang peneliti menemukan benturan antara penalaran dengan nash Al-Qur’an dan Sunnah seperti madzhab Mu’tazilah dan madzhab yang lain. 

Organisasi sosial-keagamaan ini dalam misi Internasional adalah menyebarkan faham Sunni yang secara definitif dinegasikan dengan Syiah. Sunni dilihat segi kaku dan lenturnya dalam akidah dan dakwahnya dibedakan dengan Sunni purifikatif dan Sunni metodologis. Sunni purifikatif bisa dilihat pada fenomena keberagamaan di Saudi Arabia yang kemudian disebut Wahabi. Adapun Sunni metodologis bisa dilihat di Indonesia dengan pola bermadzhab NU yang menurut beberapa negara seperti Mesir dan Sudan disebut sufi. Kelompok ini adalah kelompok mayoritas yang terbiasa mencari status hukum secara qouli melalui kitab-kitab turats (kitab kuning) dan tamanhuj (menggunakan metodologi imam madzhab) sebagai alternatif. Tidak bisa dipungkiri adanya negara seperti Mesir yang lebih terpolakan untuk tamanhuj. Ini sebuah kenyataan bahwa moderasi dalam ajaran sunni menentukan kemurnian ajaran Nabi tanpa mengebiri wujud inklusi sosial yang berwatak dinamis dan relatif. 

Di ranah pengkaderan, NU sangat ketat mengenai geneologi keilmuan dengan institusi berbasis “talaqqi”. Ilmu sebagai bagian dari agama dibedakan dengan sakralisasi pemikiran. Pemahaman yang terwariskan menjaga keseimbangan antara akurasi teks dengan sumbernya, metode dengan objek pembahasannya dan wilayah pengetahuan dengan batas kemampuan manusia. Berbeda dengan pemikiran yang terkadang keluar dari kebutuhan dan kemampuan akal untuk mengejar keinginan-keinginan relatif dan bahkan spekulatif. Ini bukti bahwa NU memiliki disiplin ilmiah menurut perspektif Islam . Tiga kriteria dikuatkan oleh tradisi ilmu jarh wa ta’dil yang tidak ada dalam tradisi Barat ketika mengkaji Islam kecuali kalangan orientalis yang tertarik untuk mengkaji Timur dengan kaca mata miopiknya, tafsir manipulatifnya atau prinsip “ilmu untuk ilmu” yang kejujurannya masih perlu dipertimbangkan.

Bertolak dari landasan pemikiran di atas, Lakpesdam NU Cabang Istimewa Sudan merancang program penguatan metodologi penelitian dan turast warisan ulama klasik. Merujuk kitab-kitab ulama klasik bukan karena anti dengan metodologi melainkan bentuk kehati-hatian dan konsekuensi penyambung transmisi keilmuan generasi sebelumnya. Sebagaimana rumusan para ulama PBNU ketika ada permasalahan fiqih yang baru dan belum ditemukan status hukumnya di kitab kuning langkah yang diambil adalah menggunakan metode ilhaqi dan menerapkan metodologi sesuai rumusan tim LBM PBNU khususnya Lembaga Bahtsul Masa’il maudlu’iyah PBNU yang menjadi rujukan di level nasional. 

Rumusan tersebut didukung oleh kajian yang ketat dan berat oleh karya-karya ulama Nusantara seperti KH Sahal Mahfudz dengan fiqih sosialnya atau ulama-ulama Timur Tengah seperti Syekh Wahbah Zuhaily dan Sykeh Ali Jum’ah. Rumusan-rumusan yang dihasilkan tidak hanya menjelaskan sikap moderat dan produktif di bidang sosial-keagamaan. Khazanah Nusantara dalam hal ini terpakai menjadi bahan rumusan metodologi sesuai objek pembahasan tanpa terjebak pada sikap yang kontra-produktif atau menyia-nyiakan waktu. 

Melihat sisi sejarahnya, sunni di Indonesia memiliki kesamaan dengan Sunni di Sudan. Persamaan yang ada adalah Islam berkembang sebagai ajaran bukan ideologi. Pijakannya adalah kemaslahatan melalui rekonsiliasi Maqashidus Syari’ah dengan ideologi negara sebagai tuntutan kondisi . Misalnya fenomena  konstitusi negara Indonesia yang hukum positifnya banyak memakai warisan Belanda namun tidak bertentangan dengan prinsip Islam. Sudan yang hukum positifnya diwarisi dari Inggris menunjukkan sekulerisasi Inggris pada zaman penjajahannya tidak cukup berhasil dengan adanya majma' fiqh, majma' zakat dan majma’ sufi walaupun secara institusional dan birokrasi ada keterpengaruhan. Termasuk realita yang tidak bisa dipungkiri yaitu terbaginya kelompok sufi menjadi dua kelompok yaitu sufi dengan semangat institusional dan sufi dengan semangat ikhwan khususnya di kalangan pemerintahan. 

Konsep penelitian dan metodologi adalah penting dikembangkan di negara-negara Muslim agar tidak tersilaukan oleh kemajuan Barat yang seolah memilki peradaban dengan segala disiplin keilmuan dan  merasa superior untuk menjadi standar bagi peradaban lain. Padahal Indonesia yang dibangun oleh dua peradaban sekaligus; Islam dan Barat ingin menjadi negara inspirator. Ini merupakan peluang promosi di dunia Internasional oleh Nahdlatul Ulama (NU) sebagai organisasi massa Islam arus utama (mainstream). Promosi bisa dimulai dari Pengurus Cabang Istimewa NU di Sudan atau di negara lain yang memiliki kesamaan kultural yaitu tasawuf untuk melakukan studi komparatif di bidang metodologi istinbath hukum antara lembaga nasional Sudan dengan lembaga nasional Indonesia.

Hal yang perlu ditawarkan adalah kontruk Islam Nusantara dengan penduduk Islam terbesar di dunia. Warna itu bisa dilihat pada kekayaan tradisi seperti tradisi halal bihalal, selametan, kupatan dan sebagainya kemudian diinteraksikan secara produktif. Produksi budaya ini merupakan akumulasi pengalaman para pendiri bangsa yang terwariskan. Pengalaman asketis yang diwariskan Walisongo, eskapis khas Gus Dur dengan “gitu aja kok repot”, rasionalisme induktif KH Sahal Mahfudh telah menjadi bahan bagi  konstruk Islam Nusantara yang tidak sinkretik namun memiliki hubungan dialektik antara agama dengan budaya dan bukan penundukan-subordinatif. 

Akan sangat memprihatinkan jika ada negara dengan penduduk Muslim terbesar mudah terprovokasi untuk melakukan tindak kekerasan nama agama. Sudah semestinya institusi pendidikan maupun organisasi mampu membawa semangat rekonsiliasi antara berbagai pihak. Sehingga perlu bagi kaum muda bangsa Indonesia untuk belajar dari sejarah bangsanya sendiri sekaligus mendakwahkan ke negara lain. Perlu bagi NU dengan cabang-cabang istimewanya di luar negeri ingin menjalin interaksi ilmiah, mensosialisasikan karya dengan bahasa asing dan kerja sama di bidang sosial-keagamaan. Tujuan eksternal dari sosialisasi ini adalah menghilangkan citra buruk tentang Islam yang menguasai kesadaran kolektif masyarakat Barat. Sedangkan tujuan internalnya adalah membentuk intelektual muda NU yang memiliki karya intelektual dengan metodologi penelitian yang mapan dan kesadaran kolektif tentang moderasi Islam. 

Penelitian ini fokus pada studi komparatif antara metodologi istinbath hukum NU di Indonesia dengan Majma' Fiqh Sudan sebagai langkah internasionalisasi moderasi Islam. Disamping berupaya menemukan titik-titik persamaan antara keduannya dalam upaya rekonsiliasi antara agama dan budaya, juga untuk memberi kontribusi dalam melestarikan peradaban Islam. Tantangan yang bisa dikatakan sama adalah tantangan de-NU-isasi di Indonesia dan  tantangan radikalisasi di negara Sudan. Melalui pengurus cabang Istimewa di luar negeri, NU menjalankan peran deradikalisasi. Langkahnya adalah melakukan dialog dengan negara tempat pembekalan untuk ambil bagian dalam proyek internasionalisasi moderasi Islam. Pesantren yang menjadi pondasi ajaran NU ditemukan di Sudan dengan sebutan khalwah. Namun Gerakan Ayo Mondok belum ada di Sudan. Solusi yang ditawarkan adalah menghidupkan majlis talaqqi dan seminar internasional untuk menjalin interaksi produktif menuju kesepahaman. 

Adapun aspek yang dikembangkan adalah aspek manhaj atau metodologi dua negara yang memiliki pandangan dunia dan sistem pengetahuan yang dalam tahap hipotesis dikatakan sama. Penggunaan metodologi Islam dalam penelitian ini adalah karena konsistensi dan akurasinya berbeda dengan model Barat sebagaimana berikut :

1. Barat menyepakati adanya konstruk pemikiran namun tetap memunculkan perbedaan epistemologi di kalangan mereka. Perbedaan itu terjadi antara tawaran Hegel dengan tawaran Karl Marx. Keduanya sepakat akan kebutuhan terhadap konstruksi pemikiran namun kerangka metodologinya berbeda baik menyangkut “bagaimana”, “apa” dan “ke mana”. 

2. Kontruksi pemikiran dan metodologi Barat nampak sebagai fenomena baru. Kebaruan ini merefleksikan perjalanan sejarah Barat itu sendiri. Interaksi pemikiran dunia mereka selalu baru dan berkembang sampai tidak bisa dipilah mana yang secara prinsip  “tetap” dan mana yang “berubah”. 

3. Konstruksi pemikiran dan metodologi Barat merupakan refleksi dari karakteristik masyarakat Barat yang sangat kompleks. Ini merupakan salah satu unsur problematik dalam metodologi Barat. 

Dari sini muncul pertanyaan mendasar mengapa harus menggunakan metodologi Islam, maka perlu dipertimbangan faktor-faktor berikut :

1. Umat Islam meyakini bahwa Islam memiliki pandangan komprehensif tentang kehidupan. Ini dalam sistem teologis merupakan bagian dari “al ma’lum min al din bi al dharurah”; artinya perkara yang tidak ada alasan bagi seorang Muslim untuk tidak mengetahuinya. 

2. Umat Islam memberikan kontribusi dalam persoalan metodologi. Ini sudah dibuktikan oleh sejarah kodifikasi ilmu di berbagai bidang. 

3. Keberlangsungan umat Islam dalam menjaga identitas ke-islam-an tidak berhenti di  dunia teori melainkan dibuktikan dalam kehidupan nyata dengan kerangka metodologinya. 

* Aktivis PCINU Sudah