Selama beberapa dekade terakhir, citra Islam di mata dunia–khususnya negara-negara Barat–adalah agama kekerasan, agama teror, agama perang, terbelakang, miskin, antimodernitas, dan penilaian buruk lainnya. Citra tersebut tidak serta merta muncul begitu saja. Citra tersebut disematkan pada agama yang dibawa Nabi Muhammad ini setelah terjadi beberapa tindakan radikalisme dan terorisme yang menyasar negara-negara Barat. Para pelaku aksi-aksi teror tersebut adalah seorang Muslim. Puncaknya, tragedi 9/11 yang mengguncang dunia. Sekitar 3 ribu orang tewas dalam serangan brutal yang dilakukan oleh Al-Qaeda ini.
Menurut hemat saya, setidaknya adalah tiga alasan mengapa mereka mencitrakan Islam sebagai agama perang. Pertama, kejadian-kejadian terorisme dan radikalisme. Selama satu dekade terakhir, ada beberapa aksi teror mematikan yang dilancarkan oleh kelompok Islam radikal; serangan teror London 2005 yang menewaskan 52 orang, aksi penembakan membabi buta di Brussel yang merenggut nyawa 4 orang, serangan ke Kantor Charlie Hebdo di Paris pada Januari 2015 yang menewaskan 12 orang, teror Perancis 13 November 2015 dengan korban tewas 133 orang tewas dan ratusan lainnya luka-luka, bom Brussel 22 Maret 2016 yang menewaskan 150 orang, aksi teror truk di Nice Perancis yang membunuh lebih dari 80 orang, serangan teror di Bandara Ataturk Turki dengan korban tewas 37 orang, dan yang teranyar adalah teror London 22 Maret 2017 dengan korban meninggal lima orang.
Oleh karena itu, Barat mengasosiakan Islam sebagai agama perang. Sebagaimana yang diucapkan oleh seorang pemuka Evangelis Kristen Amerika, Franklin Graham, yang menjuluki Islam sebagai agama perang. Gerakan-gerakan anti-Islam di Barat pun semakin menjamur dan menemukan momentumnya.
Kedua, selain serangkaian aksi teror yang dilakukan oleh segelintir umat Islam tersebut, tuduhan Islam sebagai agama perang juga berakar dari pandangan para orientalis yang menyatakan bahwa Islam disebarluaskan menggunakan pedang. Salah satu orientalis yang berpandangan demikian adalah Seorang sejarawan De Lacy O’leary. Di dalam bukunya, Islam at The Cross Road: A Brief Survey of the Present Position and Problems of the World of Islam, ia mengatakan bahwa orang Islam telah menjelajahi seluruh dunia dan memaksakan agama Islam dengan menggunakan pedang.
Terakhir, negara-negara Islam terus berperang. Kalau kita lihat, negara-negara yang mayoritas penduduknya Islam terus-menerus berperang dan konflik. Bukan hanya perang vertikal–antara rakyat dengan pemerintahnya–,tetapi perang horisontal–antar sesama penduduk sipil. Hampir tidak ada perdamaian di dalamnya. Coba lihat Suriah, Yaman, Irak, dan Afganistan.
Lalu, apakah Islam dan pedang memang tidak bisa dipisahkan? Apakah Islam memang benar-benar agama perang?
Islam, Muhammad, dan Perang
Kata Islam berasal dari kata salam yang memiliki makna damai dan sejahtera. Bahkan ucapan yang dilontarkan umat Islam kepada umat Islam lainnya pun berbunyi assalamu alaikum (semoga kedamaian dan kesejahteraan selalu untukmu). Di dalam masyarakat kita, nama adalah doa dan harapan. Yang mampu mewujudkan harapan tersebut adalah orang yang memiliki nama tersebut. Begitupun dengan Islam. Islam benar-benar menjadi agama damai saat umatnya berhasil menciptakan kedamaian. Bukan hanya klaim saja kalau Islam itu agama damai.
Tampaknya kita harus terus belajar kepada Nabi Muhammad tentang bagaimana mengamalkan Islam. Nabi Muhammad SAW sangat membenci orang yang suka membunuh, bahkan terhadap orang yang musyrik sekalipun. Ia lebih suka menjaga perdamaian dari pada permusuhan dan perang.
Selama hidupnya, Nabi Muhammad SAW ikut berperang sebanyak 27 kali. Meski cukup aktif terlibat dalam peperangan, Nabi Muhammad SAW tidak pernah membunuh musuhnya. Ia juga tidak pernah menyuruh anak buahnya untuk membunuh musuh kecuali beberapa orang saja yang dianggap patut dibunuh karena perlakuan brutal mereka terhadap umat Islam.
Nizar Abazhah menjelaskan bahwa ada tiga motif atau alasan Nabi Muhammad SAW berperang. Pertama, melayani serangan musuh. Nabi baru mau berperang kalau ada musuh yang menantang umat Islam untuk berperang seperti Perang Badar, Uhud, dan Khandaq. Perang yang dilakukan Nabi hanya untuk mempertahankan diri.
Kedua, memberi pelajaran kepada musuh yang sengaja mencari gara-gara kepada umat Islam. Seperti Perang Bani Quraizhah, Khaibar, dan Mu’tah. Perang ini dilakukan untuk menertibkan dan memberi hukuman kepada mereka yang sengaja melanggar perjanjian bersama yang telah dibuat. Ketiga, menggagalkan rencana musuh seperti Perang Tabuk. Ini merupakan pencegahan terhadap musuh-musuh sebelum mereka menyerang umat Islam.
Singkatnya, Nabi Muhammad berperang untuk menjaga perdamaian dan kesejahteraan, bukan untuk balas dendam apalagi menjajah wilayah musuh. Ini yang seringkali luput dari kita. Ia sangat memuji umat Islam yang mampu menjaga diri untuk tidak membunuh, kecuali ada alasan yang benar. Nabi Muhammad SAW juga melarang untuk membunuh orang musyrik yang datang meminta perlindungan. Saat penaklukan Makkah (fathu makkah), Nabi Muhammad memberikan perlindungan kepada orang musyrik yang datang meminta perlindungan.
Kalau umat Islam meneladani Nabi Muhammad dengan benar, maka mereka tidak perlu teriak sana-teriak sini untuk mengampanyekan bahwa Islam itu agama damai, bukan agama perang. Dengan sendirinya, mereka akan memiliki penilaian bahwa Islam itu memang agama damai jika umat Islam mencerminkan sikap kedamaian terhadap sesama.
*) A Muchlishon Rochmat, alumni Perguruan Islam Mathali’ul Falah Kajen Pati
Terpopuler
1
Ramai Bendera One Piece, Begini Peran Bendera Hitam dalam Revolusi Abbasiyah
2
Pemerintah Umumkan 18 Agustus 2025 sebagai Hari Libur Nasional
3
Pengetahuan tentang HKSR Jadi Kunci Cegah Kekerasan Seksual, Begini Penjelasannya
4
Fatwa Haram Tak Cukup, Negara Harus Bantu Atasi Akar Ekonomi di Balik Sound Horeg
5
Bukan Hanya Kiai, Mustasyar PBNU: Dakwah Tanggung Jawab Setiap Muslim
6
Gus Yahya: NU Bergerak untuk Kemaslahatan Umat
Terkini
Lihat Semua