Opini RENUNGAN RAMADHAN

Islam dan Kedamaian

Rab, 22 Mei 2019 | 22:00 WIB

Oleh: Salim Taib

Dalam Ensiklopedia Al-Qur'an, kata Islam berasal dari akar kata salima, yaslima, silman/salaman, yang berarti damai dan sejahtera. Kata salima ditambah dengan huruf hamzah menjadi aslama-yuslimu-Islaman yang berarti tunduk patuh dan taat atau masuk kedalam kedamaian dan kesejahteraan, karena adanya sifat tunduk, patuh dan taat.

Seyyed Hossein Nasr menjelaskan kesatuan pengertian antara Islam dan kedamaian dalam The Heart Of Islam. Menurutnya bagi seorang Muslim mewujudkan hidup damai dengan menafikan keberadaan Tuhan adalah absurd, karena hanya Tuhan yang dapat menata kekacauan didalam jiwa manusia. Selanjutnya tidak ada kadamaian di dalam batin atau jiwa seseorang, tidak ada pula kedamaian di luar.

Tujuan tertinggi Islam adalah mengarahkan jiwa ke tempat perdamaian (dar al-salam). Ketenangan dan kedamaian hati manusia bisa didapatkan ketika kita mampu memaujudkan Allah dalam pikiran, dalam berdzikir, (ala bidzikrillah tatmainnul qulub). Hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenang tentram.

Subuul al salam (jalan kedamaian) secara horizontal, antara manusia di bumi bisa dengan muda diwujudkan jika meletakkan hubungan vertikal seorang hamba dengan Tuhannya. Benar-benar terinstal secara baik dan terus menerus, karena sesungguhnya hakikat kekacauan yang terjadi secara sosial bermula dari tidak adanya titik temu yang saling melegakan, menerima apa adanya antara macam-macam syahwat pada diri manusia itu sendiri.

Jalan kedamaian kebanyakan dinisbatkan dan diperuntukkan secara khusus kepada hamba-hamba-Nya yang taat, tunduk dan patuh kepada seluruh regulasi yang Allah turunkan melalui kitab Al-Qur’an, untuk mengatur agar manusia berada dalam keteraturan hidup, baik personal maupun komunal. Sedikit meriwatkan sejarah mengalirnya darah dan terkapar bujur jasad Habil pertama di bumi, hanyalah refleksi perilaku antagonis yang disimbolkan melalui Qabil dan Habil. Menurut Ali Syari'ati perseturuan yang membawa nestapa kemanusiaan pertama di bumi, sesungguhnya adalah pertikaian antara keburukan dan kebaikan dalam diri manusi. Kita sering lalai dalam mengelolah untuk menjinakkan nafsu amarah, nafsu lauwamah menuju pada nafsu muthmainnah.

Membaca dua kitab Yoval Noah Harari penulis bestseller Sapiens dan Homo Deus, kita akan menemukan gambaran yang menjelaskan posisi manusia yang saling melibas, saling membunuh, menimbulkan kekacauan, ketidakdamaian, disebabkan karena tingkat keserakahan manusia yang tak terkendali. Ironisnya dari setiap tahapan sejarah terus meningkat dengan model dan variannya yang berbeda, dan zaman saat ini menurutnya  manusia tengah melaksanakan sebuah 'teologi kerakusan'.

Kerakusan menjadi konsepsi ketuhanan baru bagi manusia zaman now, manusia zaman kini tidak gampang puas dengan kepemilikan harta yang dimiliki. Terus berburu dan mengumpul serta memonopoli kekayaan, dalam perburuan mengumpulkan walqanaa thiriil muqantarati (harta benda yang tertumpuk), adalah bagian dari kesenangan syahwati yang telah digambarkan Allah pada Surat Ali Imran. Di sinilah letak akar sesungguhnya dari sebuah perang antarbenua, perang antarbangsa, perang antaretnis, perang antaragama yang pernah terjadi dalam sejarah peradaban masa lalu, kini dan mungkin yang akan datang.

Padahal, semua agama langit mengajarkan akan hidup damai, melarang saling membunuh. Islam salah satu agama langit melalui perutusan Nabi Muhammad Saw ke bumi, tidak lain hanyalah pengejawantahan dari sifat-sifat Allah yang Maha Rahman dan Maha Rahim. Dengan kata lain bumi dan segala macam isinya harus dikelola dengan tidak mengabaikan sifat-sifat Allah tersebut. Karena, Allah adalah poros dan inti kedamaian, sedangkan Nabi Muhammad merupakan utusan Allah untuk mewujudkan sifat kerahmanan dan kerahiman Allah dalam realitas dunia ini.

Agama Islam melalui  puasa ramadhan yang setiap tahun kita laksanakan waantashumu khailullakum inkuntum ta’lamun. (Dan berpuasa itu lebih baik jika kamu mengetahuinya). Ayat tersebut sesungguhnya dapat memberikan efek positif dalam keberlangsungan hidup manusia yang damai dan aman. Mengapa? Karena puncak dari spritualitas ibadah puasa sejatinya tidak hanya sekedar menggapai ketakwaan di alam khayal, akan tetapi ketakwaan harus mampu dihadirkan di tengah-tengah demi menyapa ramainya lalu lintas manusia dengan segalah godaan duniawinya. Keseriusan melaksanaan puasa Ramadahan dengan segala kegunaan serta fadhilahnya di ujung pelaksanaannya itu kita mendapatkan gelar ketakwaan, sebuah predikat yang tidak bisu, tidak kosong melainkan memiliki muatan bagi pelaku ibadah puasa Ramadhan itu sendiri.

Ketakwaan dalam Trilogi Syeh Siti Jenar dijelaskan adalah buah dari 'Insan Kamil'. Manusia paripurna akan selalu menghadirkan perilaku kesantunan, kesopanan, kezuhudan dari tarikan kepentingan duniawiah, dan tentunya dalam setiap lakunya selalu men-tajalli-kan serta men-takhalli-kan sifat-sifat Allah. Puasa adalah sebuah pembelajaran nyata untuk men-tajalli-kan Allah dengan segala sifat-Nya.

Oleh karena itu semakin tinggi derajat spritualitas yang hendak digapai dalam ajaran puasa, sejatinya memiliki kekuatan yang seimbang pula dalam merespons dinamika hidup yang timpang. Puasa akan menjadi sia-sia jika setelah pelaksanaannya tidak mampu memberikan efek yang positif dan bermakna dalam bangunan relasi sosial antarsesama dengan penuh harmonis, damai dan aman.

Hal itu karena puasa dapat membunuh sifat rakus manusia. Kerakusan adalah akar konflik yang tak berkesudahan. Puasa membatasi ruang kerakusan agar makan dan minum tidak berlebihan. Jika makan dan minum berlebihan maka sudah pasti kita akan terjatuh pada situasi yang disebut oleh Allah berada pada alam fujuur, alam kehinaan, alam kesengsaraan, alam kekacauan, alam ketidakdamaian. Sebagai Muslim yang taat serta patuh harus mampu menghindari konflik dan pertikaian untuk mewujudkan bumi Indonesia dengan aman, damai serta harmonis di tengah keragaman agama. 

Penulis adalah Ketua PW GP Ansor Maluku Utara. Tulisan ini disampaikan dalam 'Renungan Ramadhan' yang dilaksanakan oleh Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Maluku Utara bekerjasama dengan RRI Ternate, 11 Mei 2019.