Opini

Islam dan Keseimbangan Spiritualitas Dunia

NU Online  ·  Ahad, 18 Juni 2017 | 10:00 WIB

Oleh Fadli Rais

Abad pertengahan adalah masa kegelapan bagi peradaban Barat disebabkan doktrin-doktrin gereja yang orientasinya adalah keuntungan material yang dikeruk oleh oknum-oknum gereja itu sediri. Hal ini memunculkan banyak pemikiran yang mencoba untuk melawan doktrin-doktrin tersebut, maka munculah nama sekelas Rene Descartes, Niccolo Machiaveli sampai perjuangan kelas yang didengungkan oleh Karl Marx.

Perlawanan terhadap doktrinasi gereja ini membuat peradaban Barat bangkit dari keterpurukan dan menumbuhkan semangat sekularisme yang menyisihkan paham-paham keagamaan dari kekuasaan birokrasi. Perlawanan tersebut sangat sengit bahkan cenderung melampaui batas. Misalnya Descartes (1596-1650) yang tanpa keraguan mengatakan bahwa moral dan iman tidak ada sangkut pautnya dengan penalaran atau Machiaveli (1467-1527) dengan anggapannya bahwa politik dan moral harus dipisahkan karena melihat keberhasilan politik banyak dihasilkan dengan sikap ketidakjujuran.

Kebangkitan peradaban Barat atau yang sering disebut Reneisanst ini sangatlah mempengaruhi corak pemikiran dunia hingga saat ini. Tidak dapat dipungkiri propaganda rasionalisme Barat membuat kemajuan yang signifikan dalam kajian intelektual dan teknologi namun sangat sepi akan nilai spiritual, hal ini menjadikan salah satu poin tersendiri terhadap  kemunduran peradaban islam.

Islam dinilai kurang menyajikan solusi konkrit terhadap problem humanistik dan dikriminasi kelas saat itu dan sayangnya dunia islam belum menyadari sepenuhnya hingga saat ini. Kata Syafii Ma’arif dalam Peta Bumi Intelektualisme Islam (1993:19): “Amat disayangkan dunia islam belum menyadari benar tentang betapa akutnya pemasalahan yang dihadapi. Beberapa pimpinan formal negeri muslim tetapsaja mempertunjukkan kebahlulan politiknya terhadap gerakan politik Barat yang ingin terus menguasai mereka. Yang terpenting bagi Barat adalah bagaimana cara agar dunia islam tidak punya peranan penting dalam mencoraki dunia global. Trauma perang salib dan penaklukan konstantinopel oleh pihak Turki pada abad-abad pertengahan  tidak penah dilupakan oleh pihak Barat. Ini semua ditambah dengan klaim islam untuk mengubah dan mengawal jalan sejarah umat manusia”.

Melihat dalam pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa sebenarnya misi utama dari Barat adalah adalah mengubah alur sejarah global dan berupaya agar dunia Islam tidak mempunyai peranan dalam mewarnai peradaban dunia. Pada akhirnya misi tersebut telah berhasil ditorehkan ketika kiblat pengetahuan dunia yang dahulu mengarah pada Islam kini merujuk pada Barat dan segala konsepnya yang cenderung bersifat sekularistik.

Meminjam istilah Syafii Maarif bahwa sebenarnya kelemahan Barat adalah peradabannya yang hanya fokus pada How (bagaimana) tanpa memperhatikan Why (mengapa) seperti bagaimana menciptakan bom nuklir, bagaimana menghegemoni ekonomi dunia dan mengabaikan mengapa semua itu harus dilakukan? Akibatnya memang luar biasa dengan menemukan banyak pengetahuan baru dan mengembangkan teknologi dengan pesat namun disertai dengan eksploitasi alam besar-besaran inilah wajah baru imperialisme. Arus kemajuan globalisasi ini menimbulkan masalah baru yakni kegersangan akan nilai moral dan spiritual, dimana-mana banyak terjadi perilaku menyimpang, menghalalkan segala cara demi memperoleh kepuasan materi, sampai mulai mengakarnya sikap hedonis dan konsumeris di kalangan masyarakat.

Melihat permasalahan tersebut maka sudah seharusnya islam dapat menyesuaikan diri terhadap  iklim globalisasi dengan terus focus pada  technical how namun juga menawarkan pada manusia modern untuk kembali mengkaji dan mengamalkan nilai-nilai spiritual dalam artian bahwa Islam harus berada di zona tengah antara modernitas dan moralitas dalam bermasyarakat. Islam harus terus memperhatikan How dan Why secara seimbang, dengan begitu islam akan bangkit dan terus eksis menghadapi derasnya kemajuan zaman.

Telah diketahui sejak lama bahwa problem kemanusian telah diperhatikan Islam sejak lama karena memang misi dakwah ajaran islam untuk membenahi tatanan sosial yang saat itu mengalami dekadensi moral disamping juga membawa misi ketauhidan, semisal islam berusaha secara perlahan mengangkat derajat wanita yang saat itu mengalami diskriminasi dan benar-benar direndahkan.

Umat Islam perlu berbenah diri dan berkaca pada masa lalu dimana runtuhnya kejayaan Islam pada akhir abad pertengahan salah satu indikasinya adalah minimnya perhatian pada masalah spiritualitas dan moralitas. Para penguasa pada waktu itu hanya tertuju bagaimana menguasai ekspansi wilayah yang seluas-luasnya demi keuntungannya sendiri. Perluasan daerah itu selalu melupakan bagaimana mensejahterakan rakyat sehingga terjadilah pegolakan serius antara penguasa dengan rakyat.

Sejarah tak akan melupakan bagaimana umat islam memperlakukan para cendekia muslim yang menjadi sosok pembaharu seperti perlakuan yang didapat fadzlurrahman di Turki sehingga terpaksa melarikan diri ke Eropa Barat. Ironisnya para cendekia muslim yang tidak diperhatikan kemudian menyingkir ke Barat disambut hangat disana bahkan keilmuannya acap kali menjadi perbandingan dalam mengembangkan penelitian untuk kemajuan dunia Barat.

Saat ini Islam telah mampu berkompetisi di bidang pengetahuan dengan banyak menelurkan intelektual baru yang membawa angin segar bagi peradaban Islam, yang dipelukan saat ini adalah support dari kaum muslimin pada umumnya dan sudah seharusnya umat islam meninggalkan sikap jumud yang hanya akan memperlambat laju arus perkembangan islam, disamping itu perlu sekali kembali mengkapanyekan nilai-nilai spiritualitas yang selama ini perlahan terkubur dikarenakan derasnya arus modernitas.


Penulis adalah mahasiswa UIN Walisongo Semarang; Pegiat di LPM Justisia, Semarang