Opini

Islam dan Korelasinya dengan Ideologi Lain (4): Nasionalisme Arab

Ahad, 5 Juni 2022 | 20:00 WIB

Islam dan Korelasinya dengan Ideologi Lain (4): Nasionalisme Arab

Melalui gagasan unifikasi Arab, nasionalisme tumbuh di dunia Arab pada era 50-an. (Ilustrasi: weebly.com)

Di antara ide yang masih diperdebatkan oleh sebagian umat Islam adalah isu kebangsaan/nasionalisme (qawmiyyah/wataniyyah). Sebagian kelompok Islam belum bisa menerima ide ini lantaran bahwa ia mengajak pada kesetiaan dan pengabdian untuk negara, sementara ada yang berpandangan bahwa kesetiaan seharusnya hanya untuk Islam, bukan yang lain. Mencintai karena Allah, membenci karena Allah, dan setia karena Allah.

 

Setidaknya ada 3 level respons atas nasionalisme: menerima sepenuhnya, menerima dengan catatan, dan menolak sepenuhnya. Mereka yang menerima sepenuhnya datang dari kelompok modern yang berpendidikan Barat. Mereka sering disebut sekuler meski sedikit dari mereka yang mengaku demikian. Inilah perbedaan kaum modernis di masyarakat Muslim dan Barat di mana yang pertama enggan memproklamasikan sekularisme sementara yang kedua sebaliknya.

 

Nasionalisme tumbuh di dunia Arab pada era 50-an dan mengusung ide “unifikasi Arab”. Semangat itu muncul seiring dengan berakhirnya imperialisme barat dan seiring tumbangnya kesultanan Turki Utsmani pasca kalah Perang Dunia 1. Kaum nasionalis Arab mengumandangkan platform bahwa mereka adalah satu meski terdiri dari 22 negara. Mereka terbentang dari samudera Atlantik (Maroko) hingga teluk Arab. Mereka dipersatukan oleh bahasa Arab meski berbeda warna kulit dan agama.

 

Nasionalisme Arab (al-‘Arubah) terbangun di atas kebanggaan sejarah masa lalu. Dinasti Umayyah (661-750M) merupakan contoh bahwa bangsa Arab adalah kekuatan besar yang mampu menaklukkan kekuatan terbesar dunia saat itu. Mereka menaklukkan sebagian wilayah Romawi hingga berkuasa atas Spanyol dan seluruh kawasan selatan Eropa sepanjang pesisir laut Mediterania selama berabad-abad.

 

Kesadaran bersatu diwujudkan dengan membentuk Republik Arab Bersatu (United Arab Republic [UAR]/al-Jumhuriyyah al-‘Arabiyyah al-Muttahidah), 1958-1971. Penggabungan 3 negara itu diyakini mampu mengembalikan kejayaan Arab masa lalu. Irak adalah negara kaya minyak dan mewarisi kejayaan dinasti Abbasiyyah (750-1258) dengan peradaban termaju kala itu. Ilmu pengetahuan, budaya, dan filsafat berkembang pesat dan menjadi penghubung antara peradaban Yunani, Islam, dan Eropa modern. Sementara Suriah mewarisi kehebatan dinasti Umayyah yang hebat di bidang militer. Dan Mesir dengan jumlah penduduk Arab terbesar (103 juta), potensi keilmuan dan sejarah peradaban Mesir kuno yang mengagumkan. Dengan potensi besar ini diyakini Republik Arab Bersatu akan mewujudkan mimpi besar Arab hebat. Warga Suriah dan Irak bersorak sorai dengan keputusan itu. Mimpi kejayaan terbayang di bawah kepemimpinan Gamal Abdel Nasser dengan ibu kota Kairo.

 

Apa yang terjadi kemudian ternyata jauh dari kenyataan. Negara konfederasi itu hidup seumur jagung. Proses peleburan yang tidak mudah dan dinamika politik internal dan kepentingan masing-masing menjadi sebab keruntuhan itu.

 

Pada 1961 terjadi kudeta di Suriah yang otomatis menghentikan proyek penyatuan itu. Pada 1963, partai Ba’ath berkuasa di Suriah dan Irak yang kemudian petingginya mendatangi Gamal Abdel Nasser untuk melanjutkan Republik Arab Bersatu. Nasser tidak segereget sebelumnya. Apa yang terjadi di Suriah (kudeta) membuatnya berfikir lebih ulang. Kedatangan kedua pemimpin negara untuk keinginan penyatuan negara dianggap tergopoh-gopoh. Apalagi masing-masing baru seumur jagung memerintah. Meski demikian ia tetap berjalan hingga akhirnya berhenti setelah Gamal Abdel Nasser menyatakannya secara resmi. Banyaknya perwira Mesir yang bertugas di Suriah dipensiunkan dini oleh Suriah menunjukkan rumitnya implementasi proyek raksasa itu. Republik itu pun bubar pada 1971 dan menyisakan bendera merah, putih, hitam yang masih digunakan oleh ketiga negara itu hingga kini.

 

UUD Republik Arab Bersatu menjadikan Islam sebagai agama resmi negara. Gamal Abdel Nasser sebelum pidatonya dimulai diawali dengan kumandang lantunan al-Quran. Seperti saat peringatan hari buruh 1961, lantunan awal surat Muhammad dibaca yang pada ayat 4 berarti: “Maka apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir (di medan perang), maka pukullah batang leher mereka. Selanjutnya apabila kamu telah mengalahkan mereka, tawanlah mereka, dan setelah itu kamu boleh membebaskan mereka atau menerima tebusan, sampai perang selesai. Demikianlah, dan sekiranya Allah menghendaki, niscaya Dia membinasakan mereka, tetapi Dia hendak menguji kamu satu sama lain. Dan orang-orang yang gugur di jalan Allah, Allah tidak menyia-nyiakan amal mereka”. Kumandang ayat itu memotivasi Gamal dan tentara Mesir dalam perang melawan Israel yang menduduki tanah Palestina yang saat itu adalah wilayah Republik Arab Bersatu.

 

Selain Gamal, bapak nasionalisme Arab adalah Michel Aflaq (1910-1989), seorang Nasrani kelahiran Damaskus alumni Universitas Sorbonne Paris, kampus yang memberikan gelar Doktor honoris causa kepada Presiden Abdurrahman Wahid. Aflaq adalah ideolog dan pendiri partai Ba’ath yang berslogan: persatuan (wihdah), kemerdekaan (hurriyyah), sosialisme (ishtitraqiyyah). Partai namanya secara harfiah berarti kebangkitan atau renaissance ini berkembang di semua negara arab baik republik mau pun kerajaan terutama di Suriah dan Iraq. Aflaq kendati terlahir Nasrani, mengatakan bahwa Islam adalah bukti kecerdasan bangsa Arab. Muhammad ‘Imarah dalam al-Tayyar al-Qawmi al-Islami mengutip ucapan Aflaq tentang kemanunggalan Arab dan Islam: “Terdorong kecintaan kita kepada umat Arab kita cinta Islam. Dari masa muda, seiring berjalannya waktu, kita semakin faham Islam. Kecintaan kita kepada umat (Arab) berpusar pada kecintaan pada Islam. Menjadi bangsa Arab adalah menjadi umat Islam. Hubungan sejarah antara keduanya melahirkan totalitas dan ketulusan.

 

Kemantapan hati terbangun dengan penuh ikhlas. Sepanjang umur kita, kita curahkan untuk kepentingan umat, sejarah, keyakinan dan masa depan bangsa Arab. Untuk selamanya, Arab yang benar adalah Islam yang benar”.

 

Nasionalisme Arab sesuai penelitian Muhammad ‘Imarah terhadap pemikiran Aflaq dalam al-Tayyar al-Qawmi al-Islami (1997: 24) adalah berfondasikan Islam. Bagi ‘Aflaq, Islam bukan sekedar salah satu pilar penyangga nasionalisme. Islam adalah fondasi yang berdiri di atasnya pilar-pilar tersebut. Dalam Islam ditemukan peradaban agung, revolusi besar, proyek pemikiran raksasa, identitas umat, dan misi kemanusiaan di mana nilai-nilai langit menyatu dengan bumi (al-sama’ fiha mutadakhilatun ma’a al-ard). Islam adalah getaran jiwa dan wahyu ilahi yang mendasari lahirnya nasionalisme Arab, kata Aflaq.

 

‘Imarah seperti umumnya pemikir Islam seperti Syekh Ghazali, semula menganggap ide ‘Aflaq dan nasionalisme Arab adalah ideologi sekuler yang menempatkan Islam di bagian periferal. Ternyata tidak demikian. Islam bagi kaum nasionalis Arab adalah sentral dan fundamental bukan pelengkap. Imarah kemudian mengajak meninjau ulang pandangan kelompok Islam terhadap ideologi partai Ba’ath yang selama ini dipandang sekuler, bahwa Islam adalah jati diri Arab dan menjadi nasionalis adalah menjadi Muslim dengan sendirinya.

 

Achmad Murtafi Haris, dosen UIN Sunan Ampel Surabaya