Opini

Isra Mi‘raj dan Tantangan Umat Islam Indonesia

Rab, 26 April 2017 | 07:30 WIB

Oleh Moh. Salapudin

Isra Mi‘raj -perjalanan Rasulullah dari Masjidil Haram di Makah menuju Masjidil Aqsa di Palestina, dilanjutkan ke Sidratul Muntaha menembusi batas-batas langit- adalah salah satu keistimewan dari Allah yang diberikan hanya kepada Nabi Muhammad saw. Pada perjalanan tersebut Rasulullah telah menembus batas-batas materi alam semesta yang menurut catatan berjarak 13,7 miliar tahun cahaya sekaligus memecahkan rekor telah melampaui jarak tersebut (Misbakhudin, 2012). Maka tak pelak jika Al-Qur’an mengabadikannya dan menyebut bahwa Rasulullah telah mendapat tanda-tanda kekuasaan Allah paling besar (An-Najm [53]:13-18).

Mengapa Rasulullah diberi keistimewaan untuk Isra Mi‘raj -peristiwa yang oleh An-Najm digambarkan sebagai tanda kekuasan paling besar?

Rendah Hati

Salah satu jawabannya adalah karena Rasulullah memiliki sikap rendah hati (andhap asor). Dalam suatu kesempatan, Allah pernah memberikan tawaran kepada Muhammad untuk memilih antara menjadi nabi atau menjadi seorang raja (ikhtar baina an takuuna nabiyyan aw takuna malikan). Namun, dengan kerendahan hatinya Nabi Muhammad saw tidak memilih kedua-duanya dan justru menginginkan sekadar menjadi hamba-Nya ('abdu).

Atas kehambaan Rasulullah, Allah kemudian justru mengangkatnya pada tempat paling tinggi (takhatut), tempat di mana Rasulullah dapat berdialog langsung dengan Allah. Jawaban ini diperkuat dengan diksi dalam Al-Qur’an yang baik dalam menerangkan peristiwa Isra pada surat Al-Isra maupun dalam menerangkan Mi‘raj pada surat An-Najm, keduanya menyebut Muhammad dengan kata “abdu”. Lalu apa relevansinya terhadap kehidupan umat Islam saat ini?

Isra Mi‘raj yang dalam artian sebenarnya memang hanya mungkin dilakukan oleh Rasulullah. Namun, dalam makna yang lain, “Isra Mi‘raj” juga dapat ditempuh oleh umat Islam secara umum. Kita dapat menganalogikan Isra Mi‘raj sebagai suatu “kado istimewa” dari Allah. Dan untuk mendapatkan “kado istimewa” tersebut kita diharuskan memiliki sikap rendah hati (tawadhu’).

Sikap rendah hati sangat diperlukan oleh umat Islam saat ini sebab sudah lama umat ini mengidap penyakit saling menyalahkan satu sama lain. Jika dibiarkan terus menerus penyakit tersebut hanya akan membawa konflik dan kerugian di internal umat Islam.Sikap rendah hati menjadi sangat penting karena selalu membawa kita untuk tidak merasa paling benar.Sikap tidak merasa paling benar pada gilirannya akan membawa kita untuk pantang menyalahkan orang lain. Hal ini segaris dengan tuntunan Al-Quran pada surat Al-Fatihah yang kita baca setiap shalat di mana di dalamnya memuat doa “tunjukkanlah jalan yang lurus” (ihdinash shirathal mustaqim). Ayat tersebut, menurut Emha Ainun Nadjib memuat pesan tersirat agar umat Islam, sebenar apa pun, diperintah untuk selalu merasa belum benar.

Toleransi


Dari sikap rendah hati tumbuh sikap tidak merasa paling benar, dan pada akhirnya akan timbul sikap menghargai pendapat dan perilaku orang lain (toleransi). Toleransi (tasamuh) juga merupakan sikap yang selalu dibutuhkan umat Islam Indonesia. Allah telah menegaskan pentingnya toleransi di antaranya dalam surat Al-Baqarah ayat 256, Al-Kafirun ayat 1-6, Al-Ghasiyah ayat 21, Al-Qaaf ayat 45, dan Al-Kahfi ayat 29.

Rasulullah juga telah meneladankan sikap toleransi. Sesaat setelah hijrah ke Madinah, Nabi Muhammad melihat adanya kemajemukan (pluralitas) di sana. Pluralitas tersebut bukan hanya karena perbedaan etnis, tetapi juga perbedaan agama. Selain Islam, ada penganut agama Yahudi dan Nasrani. Melihat pluralitas tersebut, Rasulullah berinisiatif untuk membangun kebersamaan dengan melahirkan apa yang kemudian dikenal dengan nama “Piagam Madinah”. Dalam pandangan Nurcholish Madjid (1992: 195) “Piagam Madinah” merupakan dokumen politik resmi pertama yang meletakkan prinsip kebebasan beragama dan berusaha.

Ada persamaan antara Madinah saat itu dengan Indonesia saat ini, yaitu keduanya memiliki masyarakat yang pluralistis. Negeri ini bukan saja dihuni oleh masyarakat dari pelbagai etnis dan agama, tetapi bahkan juga dibangun oleh pelbagai etnis dan agama. Oleh karena itu, apa yang telah diteladankan Rasulullah melalui Piagam Madinah, sudah semestinya diimplementasikan oleh umat Islam Indonesia. Apalagi sudah disebutkan dalam Pasal 29 UUD 1945 bahwa Indonesia menjamin warganya untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat sesuai dengan agama dan kepercayaannya.

Pada akhirnya, melalui peringatan Isra Mi‘raj ini, umat Islam Indonesia yang merupakan warga mayoritas pada dasarnya sedang diuji dan ditantang: apakah mereka dapat bersikap rendah hati dan toleran?Jika umat Islam Indonesia ingin diangkat derajatnya, sebagaimana Rasulullah diberi keistimewaan Isra Mi‘raj, maka sudah seharusnya  mereka bersikap rendah hati dan toleran.


Penulis adalah Santri Pondok Pesantren Futuhiyyah Mranggen, Lulusan Fakultas Syariah UIN Walisongo Semarang