Opini

Jamiyah Bhenning; KHR Achmad Azaim Ibrahimy, Shalawat, Sastra, dan Budaya

Sel, 15 Januari 2019 | 22:00 WIB

Jamiyah Bhenning; KHR Achmad Azaim Ibrahimy, Shalawat, Sastra, dan Budaya

Screnshot video penampilan Jamiyah Bhenning

Oleh Mukhammad Lutfi

Bagi kebanyakan kita yang tinggal di Jawa, utamanya teman-teman santri pondok pesantren, pasti sudah tidak asing lagi dengan nama-nama seperti Habib Syech bin Abdul Qadir As-Segaf–kebanyakan orang mengetahuinya dengan sebutan Habib Syech–, Gus Azmi.

Benar, keduanya adalah pentolan dari majelis shalawat. Habib Syech dengan Ahbabul Mustofa-nya dan Gus Azmi dengan Syubbanul Muslimin-nya. Sebenarnya masih banyak habaib–jamak dari habib–dan kiai yang kemudian memiliki majelis shalawat. Akan tetapi Majelis Shalawat Habib Syech dan Gus Azmi inilah yang beberapa tahun belakangan ini lebih dikenal masyarakat.

Fenomena majelis shalawat yang ada seperti sekarang ini tak pernah sepi dari ribuan jamaah yang kemudian rela berkumpul, dan rela berdesak-desakan demi melantunkan untaian-untaian shalawat Nabi yang dibaca sekaligus diiringi tabuhan alat terbang.

Bergeser ke daerah timur jawa tepatnya di KabupatenSitubondo. Ada yang menarik dari Kabupaten Situbondo ini, daerah ini disebut dengan 'Bumi Shalawat Nariyah'. Mungkin Anda yang pernah berkunjung atau sekedar melintas ketika ke Pulau Bali mengerti akan sebutan itu, karena tulisan 'Bumi Shalawat Nariyah' ini terletak persis di samping jalan Situbondo-Banyuwangi. Saya kurang begitu faham asal-muasal dari sebutan tersebut.

Kembali  ke pembahasan fenomena majelis shalawat, di Situbondo ini pun ada majelis shalawat. Majelis shalawat ini diasuh oleh KHR Achmad Azaim Ibrahimy yang juga merupakan pengasuh dari Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo. Di kalangan Nahdliyin pesantren ini sangatlah masyhur. Pesantren ini didirikan oleh KHR As'ad Syamsul Arifin, ulama besar sekaligus tokoh Nahdlatul Ulama dengan jabatan terakhir sebagai Dewan Penasihat (Musytasar) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama hingga akhir hayatnya.

Seperti diketahui, pada 18-20 Desember 2018 yang lalu, di pesantren ini ada Muktamar Sastra untuk yang pertama kalinya digelar. Pada malam penutupan gelaran ini KHR Achmad Azaim Ibrahimy meluncurkan Jamiyah Shalawat Bhenning. Jamiyah Shalawat ini juga mengiringi pembacaan parade puisi yang menjadi rentetan dari penutupan Muktamar Sastra.

Saya sebagai mahasiswa sastra tak ingin melewatkan penutupan muktamar sastra ini. Waktu itu saya menyaksikannya di live streaming channel youtube AMTV P2S3 yang tak lain merupakan channel youtube pesantren. Saya cukup bingung karena dari awal hingga akhir penutupan ini selalu diselingi dengan lantunan shalawat dari Jamiyah Shalawat Bhenning. Selesai baca puisi diselingi shalawat, selesai sambutan shalawat lagi, begitu terus sampai akhir setiap pindah penampilan selalu diselingi shalawat.

Uniknya lagi lantunan shalawat yang dibawakan oleh mejelis shalawat ini menggunakan perpaduan bahasa Arab dan Madura mungkin karena daerah ini Pendalungan–asimilasi dari budaya Jawa dan Madura. Tempo pukulan rebana pengiringnya pun sedikit berbeda dari majelis-majelis shalawat seperti Habib Syech dan Gus Azmi. Dan pada satu penampilannya para pemain dari majelis shalawat ini memakai caping yaitu pada saat melantunkan lagu ole olang –lagu tradisional Madura. Kalai itu kemudian dilanjutkan dengan pembacaan puisi Ajara Ombak oleh KHR Achmad Azaim Ibrahimy.

Terlepas dari keunikan Jamiyah Shalawat Bhenning ini, kemudian saya memfokuskan pada sesi ketika pemutaran video asal-usul dan perjalanan Jamiyah Shalawat Bhenning yang diputar saat penutupan Muktamar Sastra.
Dalam video tersebut sang narator menjelaskan muasal Jamiyah Shalawat Bhenning ini. Kira-kiranarasinya seperti berikut ini

Mulanya mejelis ini terbentuk dari para pemuda, abang becak, tetangga yang berada di sekitar lingkungan pesantren, beserta juga disertai oleh pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Almukaram KHR Achmad Azaim Ibrahimy. 

Bertepatan pada tanggal 14 Mei 2015 dilaksanakanlah pengajian yang bertema 'Semalam di Karangan' dalam acara renungan suci bersama KHR Achmad Azaim Ibrahimy. Pemberian nama 'Bhenning' baru muncul ketika inisiasi jamiyah hadrah pasca acara renungan malam di karangan.

Pada tanggal 21 Mei 2015 tercetuslah nama 'Bhenning'. Pemberian nama 'Bhenning' itu langsung diberikan oleh KHR Achmad Azaim Ibrahimy. Seiring perkembangannya konsep acaranya mengalami metamorfosa; lantunan shalawat;pagelaran puisi; drama teatrikal; dilanjutkan ceramah dan tanya jawab hadirin dengan KHR Achmad Azaim Ibrahimy.

Pengajian ini tidak ada tujuan lain, hanya ingin berkontemplasi bersama untuk menjernihkan hati, jiwa, pikiran, dan tingkah laku. Dengan harapan semoga bermanfaat bagi semua lapisan masyarakat tanpa melihat latar belakang dan asal-usulnya. Asalkan di dalam hatinya ada kerinduan untuk belajar mencintai Rasulullah maka ia adalah saudara. Dan berikrar terendam sama basah, terampai sama kering.

Kita berjanji untuk saling megikat hati sampai hari kiamat tiba. Dan semoga Allah merahmati kita semua dan kelak kita bersama-sama di bawah naungan bendera Rasulullah Saw. Aamiin.

Dari penyampaian narator di atas, penulis mengambil kesimpulan bahwa Jamiyah Shalawat Bhenning ini merupakan perpaduan antara dakwah, shalawat, sastra, dan budaya. 

KHR Achmad Azaim Ibrahimy sebagai simbol dakwah; untaian pujian kepada Nabi sebagai simbol shalawat; pagelaran puisi dan teatrikal sebagai simbol sastra; serta penggunaan bahasa Madura adalah simbol budaya. 

Wallahu A’lam

Penulis adalah mahasiswa UIN Malang, kelahiran Pasuruan, mengabdi di Pusat Ma’had Al Jamiah UIN Malang.