Opini HARLAH KE-92 NU

Jaringan Internasional Kiai NU

Sel, 30 Januari 2018 | 20:04 WIB

Oleh Abdullah Alawi

Sekitar tahun 2012, saya mengikuti peringatan harlah ke-90 tahun Pondok Pesantren Sukahideng. Selepas acara, pada malam harinya, saya menemui Ajengan Ii Abdul Basith. Fokus utama yang saya tanyakan adalah tentang KH Wahab Muhsin. 

Dari obrolan itu saya menyimpulkan dua hal tentang ajengan, khususenya Ajengan Wahab; cinta ilmu pengetahuan dalam bentuk sangat. Ketika makan, tangan kiri ia memegang kitab, tangan kanan menyuap. Giginya mengunya, sementara matanya menghadap lembaran kuning berisi aksara seperti semut hitam berbaris. Ia seolah tak ada waktu luang untuk membaca. 

Saya kemudian tak heran ketika Kiai Ali Yafie, menyebut kewajiban pertama umat Islam adalah membaca. Sebelum Nabi diperintah salat, ia disuruh membaca lebih dulu. Tak heran pula kita menemukan banyak ajengan membuahkan karya tulis. Dari waktu ke waktu seperti rantai yang saling bersambungan. Karya mereka saling mengutip, melengkapi, menerjemahkan, mengubah narasi ke bentuk syair atau sebaliknya, dan bahkan kritik. Bidang bahasan mereka pun beraggam, mulai bahasa, fiqih, tauhid, falaq, tasawuf, dan lain-lain. Hal itu berlangsung hingga hari ini.

Kedua, perhatian Ajengan Wahab kepada dunia internasional. Ia adalah ajengan yang memiliki globe sehingga hafal letak negara. Tentang hal ini, saya ingat kepada Ajengan Amang Muhammad di Sukabumi. Dia adalah ahli tafsir yang terkenal, melanjutkan tradisi leluhurnya sejak 1924 hingga kini, membuka pengajian Tafsir Jalalayn setiap Kamis pagi. Ketika menjelaskan, ia akan menyangkutkan dengan kitab-kitab tafsir lain. Ia juga akan menerangkan tempat-tempat yang disebut Al-Qur'an dengan gamblang karena ia pernah mengunjunginya.  

Wawasan tentang dunia itu para ajengan kita terbentuk ketika mereka menimba ilmu di sumbernya, Timur Tengah. Di sana, mereka menjalin hubungan dengan orang dari berbagai negara. Terjadilah persinggungan pengalaman dan persentuhan pengetahuan. Mereka diperkuat jaringan guru murid. Bahkan di Timur Tengah ajengan-ajengan itu memiliki murid dari dari daerah sama atau negara lain. Contoh terbaik dalam hal ini adalah Syekh Nawawi Al-Bantani, Syekh Ahmad Khotib Sambas dan lain-lain. 

Seorang santri atau ajengan yang hanya mengaji di tingkat lokal pun, ia akan bersentuhan dengan pemikiran Syekh Al-Malibari dari India, Imam Ghazali dari Thus, Iran. Imam Syafi’i (meninggal di Mesir). Kisah hidup Syekh Abdul Qadir Jailani (Baghdad), Alfiyah karya Ibnu Malik dari Andalusia, Spanyol. Tinggal boleh di kampung, tapi pertemuan mereka dengan pemikiran dunia.  

Wawasan ajengan tentang dunia juga terbukti di majalah Al-Mawaidz, Pangrojong NO Cabang Tasik. Di situ ada rubrik Dunia Islam. Melalui rubrik itu, para ajengan, paling tidak yang bergabung ke NU, wawasannya berhubungan dengan wilayah terjauh yang paling kekinian pada waktu itu. Tema yang pemberitannya tidak melulu masalah agama, tapi politik, ekonomi, dan kebudayaan, serta perjuangan untuk membebaskan diri dari belenggu penjajah. 

Jaringan ajengan juga ternyata terjalin melalui tarekat. Salah seorang pendiri NU Tasikmalaya KH A. Qulyubi (selanjutnya Ajengan Unung) memiliki hubungan dengan ulama-ulama luar negeri. Ia memang pernah menimba ilmu di Mekkah sejak 1910 hingga 1916. Sepulang ke Tanah Air, ia tinggal di kampung halamannya di Madewangi, Tasikmalaya.

Ketika di kampung, jaringan internasional Ajengan Unung tidak padam. Terbukti kampung halamannya pernah dikunjungi ulama-ulama Timur Tengah, di antaranya Sayid Husen Al-‘Athos (guru aurad athosoyah), Syekh Abdul Hamid (Mesir), Syekh Abdullah bin Ibrahim (Irak), Syekh Ali Thayib Madani (tarekat Tijaniyah). 

Ada yang menarik dari Syekh Ali Thayib ini. Ia pernah hadir di Muktamar NU keempat di Semarang tahun 1929. Di daftar hadir muktamar organisasi yang didirikan para kiai di Surabaya pada 1926 itu, Syekh Ali Thayib ini mewakili Tasikmalaya. 

Memang di Muktamar NU beberapa kali di hadiri ulama luar negeri seperti Mesir, India dan Singapura. Bahkan Singapura, sejak awal NU berdiri, telah terbentuk cabang. Pada Muktamar NU di Malang tahun 1937, perwakilan mereka datang.   

KH Wahab Hasbullah di Swara Nahdlatoel Oelama edisi tahun 1931 menulis bahwa keanggotaan NU melintasi batas negara. Namun, anggota NU tunduk kepada hukum-hukum negara tersebut. Syaratnya menjadi anggota adalah beragama Islam dan mengikuti salah satu mazhabat empat. Selesai urusan. 

Kiai Wahab dan para pendiri NU lain, sepertinya meamang memimpikan NU menjadi organisasi dunia. Lihat saja lambang NU, berbentuk bola dunia. Dan memang sejak awal gerakan NU tidak hanya merespon keadaan di tingkat lokal, tapi dunia. Misalnya, ketika awal berdiri, telah meminta Raja Arab Saudi agar memberi kebebasan bermazhab kepada umat Islam yang tengah berada di Haramain. 

Ada tafsiran menarik dari KH Zainul Arifin sebagaiman dilaporkan dalam Verslag Muktamar NU Ke-13 di Menes. Menurut dia, tali pengikat bola dunia di lambang NU saat ini masih longgar. Suatu saat akan kencang ketika anggota NU berada di seluruh dunia. 

Bayangan kiai-kiai NU itu, 92 tahun kemudian sepertinya menjadi kenyataan. Hari ini anggota NU tidak hanya di Inodonesia, tapi di hampir setiap negara Timur Tengah, Asia Timur, Eropa, Afrika, Amerika dan Australia. Bahkan mampu mendorong pendirian organisasi semacam NU di Afghanistan, Nahdlatul Ulama Afghanistan (NUA). Tiap anggota dan pengurusnya adalah warga negara Afghanistan. 

Mungkin itu relevansi tema muktamar NU ke-33 di Jombang yang mengangkat tema “Meneguhkan Islam Nusantara untuk peradaban Indonesia dan dunia”.   

“Dunia membutuhkan NU,” kata Katib ‘Aam PBNU KH Yahya C. Staquf. 

Menurut dia, hal itu karena dunia internasional tahu rekam jejak NU sejak awal berdiri hingga hari ini selalu menjadi penengah dan juru damai. Tokoh selalu menekankan kepada anggotanya agar memegang teguh tiga ukhwah, yaitu ukhwah wathoniyah (pesaudaraan sesasama warga negara), ukhwah basyariyah (persaudaraan sesama umat manusia), dan ukhwah islamiyah (persaudaraan sesama umat Islam). 

Para tokoh NU mampu merumuskan hal itu karena mereka selalu mendialogkan teks-teks keagamaan dengan realitas. 


Penulis, warga NU kelahiran Sukabumi, Jawa Barat