Opini

Jihad Santri Masa Kini

Rab, 11 Oktober 2017 | 00:29 WIB

Oleh Muhammad Afiq Zahara

Di masa lalu banyak sekali perjuangan melawan penjajah yang dilakukan para kiai dan santri-santrinya. Jauh sebelum tanggal 10 November 1945. Di Cirebon, terjadi Perang Kedondong (1802-1818 M) yang dimpimpin Ki Bagus Rangin dan Kiai Jatira (Pesantren Babakan, Ciwaringin). Di Banten, terjadi Geger Cilegon 1888 (perang melawan Belanda) yang dikomandoi oleh Kiai Wasyid dan Tubagus Ismail, keduanya murid Syeikh Abdul Karim Banten.
 
Di Yogyakarta dan Jawa Tengah, terjadi Perang Diponegoro (Perang Jawa) yang dilakukan para ulama di bawah kepemimpinan Pangeran Diponegoro dari Kesultanan Ngayogyakarto. Belum perang-perang kecil yang dilakukan para kiai melawan penjajah di berbagai daerah.

Di bumi Sumatera, Aceh menjadi wilayahyang paling sukar ditaklukkan Belanda. Mereka tertarikdengan kekayaan alam Aceh, khususnya lada dan minyak, sehingga Belanda melakukan invasi besar-besaran pada tahun 1873 M. Tidak ada yang memprediksi bahwa proses pengambil-alihan Aceh membutuhkan waktu 30 tahun lamanya (1873-1904 M), hingga para jenderal yang memimpin perang penaklukkan dikritik keras oleh publik Belanda karena perang berjalan terlalu lama, memakan banyak biaya dan taktik brutal yang diterapkan militer Belanda. (Adrian Vickers, A History of Modern Indonesia, Cambridge: Cambridge University Press, 2005, hlm 10-11).

Keberhasilan Aceh dalam menjaga wilayahnya bertahun-tahun tidak lepas dari peran para ulama dan murid-muridnya. Hal ini dibuktikan oleh saran Snouck Hurgronje (1857-1936 M) kepada Joannes Benedictus Van Heutz (1851-1924 M), Gubernur Jenderal Belanda, untuk mengesampingkan dulu serangan terhadap golongan bangsawan dan pengikutnya.

Hurgronje menyarankan agar militer Belanda memfokuskan targetnya kepada para ulama dan para pengikutnya. Strategi yang ditawarkan bersifat anti kompromi (perundingan) tapi juga berusaha menarik hati rakyat Aceh dengan mendirikan masjid, musholla, memperbaiki saluran irigasi dan lain sebagainya. (Adrian Vickers, 2005, hlm 13).

Setelah dua tahun berhubungan langsung dengan masyarakat Aceh, Hurgronje melakukan pemetaan metodelogis yang menyimpulkan bahwa pondasi utama rakyat Aceh adalah para ulama, seperti yang ditulis dalam bukunya, De Acehers (Rakyat Aceh). Buku ini kemudian menjadi acuan Van Heutz untuk melanjutkan kampanye militernya di wilayah Aceh dan akhirnya berhasil setelah menggunakan saran yang diberikan Snouck Hurgronje.

Semua itu adalah sedikit gambaran perjuangan ulama dan santri di masa lalu. Bagaimana dengan santri di era sekarang ini, meminjam bahasa populer ‘bagaimana santri di jaman now?’.

Dalam bahasa agama ‘berjuang’ disebut jihad. Di masa perang, jihad berarti mempertahankan diri dengan mengangkat senjata ketika ditindas dan dijajah. Jihad bukan berarti perang, tapi mempertahankan haknya menggunakan senjata merupakan bagian dari jihad. Sekarang telah terjadi reduksi makna jihad menjadi sekedar perang. Tidak hanya itu, bahkan aksi teror telah dianggap sebagai salah satu bentuk jihad.Ini salah. Karena di al-Qur’ân sendiri dikatakan (Q.S. al-Furqan [25]: 52):

فَلَا تُطِعِ الْكَافِرِينَ وَجَاهِدْهُمْ بِهِ جِهَادًا كَبِيرًا

“Maka janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir, dan berjihadlah terhadap mereka menggunakan Al Quran dengan jihad yang besar.”

Sayyidina Abdullah bin Abbas ra menafsirkan “bihi” dalam kalimat “wa jâhidhum bihi” sebagai al-Qur’ân (Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Adhîm, juz 3, hlm 337). Artinya, berjihad dengan al-Qur’ân merupakan jihad yang besar atau al-jihâd al-akbar, bukan jihad dengan peperangan (jihad kecil). Dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa kota Madinah ditaklukkan menggunakan al-Qur’ân, melalui perantara Sayidina Mus’ab bin Umari ra, bukan dengan pedang seperti kota-kota lainnya.

Itulah yang membuat Madinah berbeda—futihat bi al-qur’ân (ditaklukkan menggunakan al-Qur’an), yaitu dengan dakwah dan menjelaskan isi yang terkandung di dalam al-Qur’an sehingga menarik hati penduduknya untuk menerima agama Islam dengan tulus, tanpa paksaan.

Dengan dasar itu, perjuangan santri di masa sekarang adalah dakwah, bukan dakwah yang sekedar menyeru, melainkan dakwah dalam ruang lingkup yang lebih luas, karena itu dalam al-Qur’an disebut dengan jihad. Jika diuraikan dapat dibagi dalam beberapa kategori, meski tidak mewakili secara keseluruhannya:

Pertama, jihad sosial, yaitu jihad yang garapannya pokoknya adalah perbaikan sosial, termasuk pemberdayaan ekonomi masyarakat kurang mampu. Orang-orang dari agama lain telah menggarap bagian ini dengan sangat baik, salah satu contoh yang mereka lakukan adalah pembangunan irigasi dan mengalirkan air dari bawah ke atas di beberapa desa yang kekurangan air. Tidak sedikit dari penduduk desa itu yang kemudian tertarik terhadap agama yang dibawa orang-orang tersebut.

Dulu, para wali menggunakan pendekatan ini. Mereka adalah ahli agama yang juga ahli irigasi, pertanian, perikanan dan lain sebagainya. Dengan kemampuannya itu, mereka berhasil meningkatkan taraf hidup masyarakat yang hendak mereka bujuk untuk memeluk agama Islam.

Kedua, jihad kultural, yaitu jihad melestarikan budaya keagamaan yang telah ada dan mendekatkan beragam dimensinya sehingga lebih mudah diterima dan diamalkan oleh masyarakat, tanpa mengurangi esensi inti ajaran Islam, khususnya untuk orang-orang yang baru bertaubat atau mengenal Islam.

Ketiga, jihad spiritual, yaitu jihad yang mendorong para pengamal agama untuk memperbaiki kualitas ibadah mereka dengan permenungan, tadabbur dan tafakkur. Mempertanyakan kembali seluruh amal ibadahnya untuk menghasilkan kualitas ibadah yang lebih baik. Tujuannya agar tidak ada kesombongan dalam beragama.

Keempat, jihad pengetahuan, yaitu jihadmembangun dasar argumentasi yang kuat, untuk melindungi karakter beragama kita yang menghargai keragaman, agar tidak mudah dikebiri oleh pandangan baru yang memecah. Untuk itu dibutuhkan bangunan argumentatif (hujjah) yang kuat, khususnya dalam menghadapi penyebaran berita bohong di media sosial.

Kelima, jihad peradaban, yaitu jihad yang arahnya menciptakan masyarakat yang beradab atau harmonis, saling menghormati dan menghargai meski berbeda-beda. Masyarakat yang memadang diversitas atau kebhinekaan sebagai kekuatan, bukan kelemahan. Masyarakat yang mampu menjadi pelengkap bagi lainnya, sehingga nilai-nilai keislaman dan keindonesiaan dapat berjalan berdampingan dengan serasi, tanpa mencuri pandang curiga satu sama lainnya.

Dengan kata lain, jihad santri masa kini memiliki ranah garapan yang luas. Lima kategori jihad di atas sama sekali belum mewakili semuanya. Masih banyak pendekatan jihad yang harus diterapkan. Pada hakikatnya, segala sesuatu yang berkaitan dengan inner struggle (perjuangan batin) ke arah yang lebih baik adalah jihad. Hijrah dari keburukan menuju kebaikan adalah jihad. Berbakti kepada orangtua adalah jihad. Mengasihi sesama adalah jihad. 

Kenapa disebut jihad? Karena semua manusia memiliki celah di hatinya, entah itu rasa malas, masa bodoh ataupun acuh tak acuh. Dengan demikian, perjuangan melawan sifat-sifat negatif dalam diri manusia adalah jihad, yang di fase berikutnya melahirkan internal conflict (konflik internal) antara sisi baik manusia dan sisi buruknya.

Siapakah yang akan menang? Itu tergantung seberapa kuat pertahanan dan kemampuannya dalam terus berjihad.
Sebagai akhir kalam, rasanya sukar untuk tidak terperdaya oleh perkataanpemikir bebas asal Mesir, Jamal al-Banna tentang jihad. Katanya:

أن الجهاد اليوم ليس هو أن نموت في سبيل الله, ولكن أن نحيا في سبيل الله

“Sesungguhnya jihad di masa kini bukanlah mati di jalan Allah, melainkan hidup di jalanNya.” (Jamal al-Banna, Jihâd, hlm 212). Wallahu a’lam bi al-shawab.

Penulis adalah Alumnus Pesantren Al-Islah, Kaliketing, Doro, Pekalongan dan PP. Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen.