Opini

Kebebasan Mimbar dalam Masyarakat Muslim yang Kurang Terstruktur

Ahad, 17 Februari 2019 | 18:00 WIB

Oleh: Achmad Murtafi Haris

Dalam orasinya, seorang penceramah terkadang mengeluarkan seruan demi membela kepentingan  Islam. Timbul pertanyaan di sini, apakah yang tidak mengikuti ajakannya berarti tidak membela Islam? Apakah mereka yang tidak mengikutinya tergolong lemah iman atau bahkan munafik seperti kata sang penceramah? 

Secara faktual, sang dai berpidato dalam sebuah forum yang dihadiri oleh jamaah dalam bilangan tertentu dan di luar sana terdapat banyak forum serupa dengan penceramah dan  seruannya masing-masing. Artinya, setiap penceramah berada pada lingkupnya dan penceramah yang lain juga berada pada lingkupnya. Seruan yang keluar dari masing-masing berada dalam tataran yang sama tanpa yang satu mampu menggugurkan yang lain. 

Pengguguran bisa terjadi manakala ia berada di bawah payung sebuah organisasi. Jika demikian, maka posisi sang penceramah dalam organisasi  menentukan bobot seruan. Jika yang menyampaikan adalah pemimpin tertinggi, tentu berbeda dengan yang di bawahnya. Seruan itu pun masih harus menempuh prosedur  organisasi, jika ingin menjadikannya kewajiban organisasi yang harus dilaksanakan oleh segenap anggota. Sedangkan yang bukan anggota tidak berkewajiban melaksanakannya. 

Dengan demikian seruan atau ajakan apa pun seorang penceramah, berlaku sangat terbatas. Ia hanya berlaku bagi jamaah atau santri yang menganggap sang penceramah sebagai patron atau figur panutannya saja.

Adanya ucapan bahwa yang tidak mengikuti seruannya sebagai munafik paling banter hanya berlaku internal kelompok pengajian. Sedangkan bagi umat Islam yang lain, yang tidak mengikuti pengajian tersebut, ancaman munafik itu tidak berlaku.  Artinya, mayoritas umat Islam tidak tergolong munafik dengan tidak menjalankan seruan tersebut. Seruan tersebut tidak lebih dari sekadar aspirasi kelompok yang jauh dari bisa disebut mewakili umat. 

Dari sisi pergaulan sosial yang menuntut keharusan menjaga hubungan baik antara satu dengan yang lain, tuduhan munafik adalah ucapan yang tidak bertanggung jawab. Ia tidak memikirkan dampak yang diakibatkan dari ucapannya yang bisa mengakibatkan kekisruhan masyarakat. Mereka yang tidak setuju dengan seruan tersebut tentu tersakiti perasaannya. Sebutan munafik sangat merendahkan derajat seorang Muslim di mana dalam agama disebutkan bahwa orang munafik tiada lain tempatnya kecuali di intip neraka. Sesuatu yang dimungkinkan bagi yang bersangkutan (penceramah) diperkarakan secara hukum oleh pihak yang dirugikan.

Munculnya materi ceramah yang intoleran terhadap perbedaan pandangan dan menyerang kelompok lain adalah fakta sosial yang patut mengundang perhatian khusus. Fakta sosial tidak berdiri sendiri. Ia terbangun oleh faktor internal dan eksternal yang menjadikannya abai terhadap perasaan orang atau kelompok lain. Dari sisi internal, ia menunjukkan lemahnya kohesi umat Islam Indonesia. Kohesi atau daya perekat yang hilang itu menjadikan mereka berpisah satu sama lain sehingga sebuah pandangan tidak dipertimbangkan dampak negatifnya terhadap yang lain. Sebuah kelompok yang meyakini kebenaran pandangannya dan memasarkannya tanpa pandang bulu mengabaikan adanya pandangan lain yang berseberangan. 

Kohesi yang lemah menunjukkan lemahnya struktur sosial umat Islam Indonesia. Struktur yang sejatinya mampu mengendalikan umat berdasarkan divisi pemimpin dan pengikut dan hirarki sosial keagamaan, tidak berjalan. 

Struktur meniscayakan adanya hirarki patronistik yang seharusnya membuat seorang dai mempertimbangkan keberadaan ulama yang lebih tinggi darinya yang tidak bisa diabaikan. Seorang penceramah, siapa pun dia, memiliki figur yang lebih tinggi darinya sehingga tidak mungkin baginya sembarangan menyampaikan sesuatu karena adanya kontrol sosial. 

Seorang penceramah yang kerap menyampaikan pernyataan keras dan menyerang kelompok lain, bahkan dengan makian yang sangat tidak beradab, menunjukkan ketidaktahuannya   berada dalam  struktur sosial yang mau tidak mau menempatkannya pada tingkat dan fungsi sosial tertentu bersama yang lain.  Tuna struktur sosial itulah yang membuatnya serampangan dan tidak  mempertimbangkan kepatutan sosial.

Indonesia dengan kondisi masyarakat yang sangat plural menjadi tantangan berat akan terbangunnya struktur sosial keagamaan yang baik. Pluralitas yang tinggi lintas agama, ideologi, suku, ras dan bahasa berpotensi menimbulkan silang sengkarut struktur sosial. Lemahnya struktur Islam di antaranya karena ia harus berbagi dengan struktur sosial yang lain. Dalam hal ini menjadi jamak kalau kemudian struktur sosial keagamaan tidak kokoh sehingga banyak individu atau kelompok (agency) yang melompat dan memposisikan diri di atas bak paduka raja yang berhak bertitah. Padahal, dia sebenarnya di bawah dan harus patuh kepada atasannya. 

Lemahnya struktur sosial umat Islam dan apa yang diakibatkan darinya berupa ketegangan pemikiran hingga konflik fisik perlu menyadarkan kita akan akan perlunya membangun tatanan sosial keagamaan yang baik. Tanpa adanya langkah kongkret yang mengarah ke sana, umat Islam Indonesia akan rentan terhadap problem disharmoni sosial yang tidak mustahil akan menggiring pada disintegrasi dan luluh lantaknya umat.

Kemajemukan dan demokrasi yang telah menjadi konsensus bersama menghadapi tantangan berat dalam membangun tatanan sosial. Hal ini lantaran bahwa kebebasan berekspresi adalah bagian yang sangat fundamental  dalam praktik kemajemukan dan demokrasi. Tanpanya, maka masyarakat tidak lagi majemuk  dan tidak lagi demokratis. Persis seperti negara yang memberlakukan satu paham dominan sementara yang berseberangan marginal. Ketika kebebasan mimbar dijunjung dan dipraktikkan dalam  kehidupan masyarakat  berkohesi rendah, maka beban berat harus dipikul untuk sebuah idealitas. Kerja ganda oleh pemerintah dan masyarakat sipil  harus dilakukan. Mereka harus rajin mempertautkan pelbagai anasir masyarakat yang berbeda melalui dialog lintas kelompok dan golongan dan kegiatan literasi  kewarganegaraan.  Otherwise, bangunan sosial yang rapuh itu akan runtuh oleh beban berat kebebasan yang tidak terkendali.

Dosen Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.