Opini

Keislaman Quraish dan Gus Mus Menerangi Kekatolikanku

Jum, 23 Juni 2017 | 01:44 WIB

Oleh Pastor Kopong MSF
Dua sahabat; Quraish Shihab dan Gus Mus bertemu dan berkisah di Mata Najwa (21/6). Mereka mengulang kembali romantika kebersamaan 50 tahun yang lalu di kota Firaun-Mesir tempat mereka berdua menimba ilmu agama Islam di Universitas Islam ternama Al-Azhar. Lima puluh tahun lalu mereka bermain voli dan sepak bola bersama dan dari permainan itu pun mereka memaknai hidup dan keislaman.

Gus Mus memaknai hidup seperti permainan sepak bola. Satu bola dikejar oleh sekian banyak orang. Sudah ditangkap dilepas lagi. Keluar dimasukan lagi. Hidup ini sebuah permainan, jadi jangan terlalu serius, demikian canda Gus Mus. Quraish Shihab memaknai permainan sepak bola sebagai kerjasama, kebersamaan, meski ada yang kalah namun pada akhirnya bisa menerima kekalahan tersebut dan bisa salaman. Kemenangan karena ada kerjasama.

Cerita keislaman dua sahabat sejati bertemu dalam program Mata Najwa semalam meski hanya dari youtube, aura keislaman mereka seakan merasuk masuk dalam diriku, menyejukan namun juga menjadi tamparan kasih sekaligus menelanjangi praktek kekatolikanku selama ini:  

1. Moderat itu Ya Islam, Moderat itu Ya Katolik

Dari kisah mereka tentang bermain sepak bola bersama mereka berdua menegaskan bahwa wajah Islam adalah wajah yang ramah, yang luwes dan ramah serta bekerja sama dengan siapapun. Yang dalam bahasa Gus Mus; Islam itu memang moderat. Jadi tidak ada Islam moderat. Moderat itu sendiri ya Islam. Kalau tidak moderat berarti ia bukan Islam. Mengatakan Allahu Akbar tapi belum mengecilkan diri, kita belum menghayati Allahu Akbar kecuali untuk demo saja. Tuhan tidak rugi kalau tidak shalat. Daripada shalat tapi tidak mengecilkan diri, malah menjadi orang sombong.

Dari penjelasan Gus Mus ini, kekatolikan saya ditelanjangi. Katolikpun bisa menjadi radikal ketika tidak mampu merendahkan diri di hadapan Tuhan dan sesama. Bahkan memasukan Tuhan dalam urusan pilkada. Agama apapun, termasuk Katolik adalah moderat. Katolik ya moderat. Mengatakan Bapak Kami, Allah yang Maha Kuasa, namun tidak merendahkan diri tetapi malah menyombongkan diri, maka bukan Katolik. Bukan moderat. 

2. Kafir: Katolik bukan Kafir

Setiap kali pilkada maupun pilpres, kata kafir ini seakan menjadi monster bagi pihak lain. Bahasa yang selalu diungkapkan adalah; “jangan pilih pemimpin kafir”. Kafir seakan menjadi stigma yang selalu dikampanyekan kepada mereka yang berbeda keyakinan dengan Islam. Bahkan kekisruhan dan intoleransi berkepanjangan hingga hari ini di Republik Indonesia harus diakui pula bahwa itu berawal dari kata kafir.

Namun penjelasan Abi (sapaan ayah oleh Najwa) Qurais Shihab soal kafir kembali menelanjangi kekatolikanku. Kafir adalah yang mengingkari agama, mengingkari aqidah Islam, tidak shalat, munafik, kikir. Termasuk yang menutup kebenaran adalah kafir juga. Maka bahasa Al-Quran bahwa jangan memilih pemimpin kafir itu artinya jangan memilih pemimpin yang tidak membela kebenaran, pemimpin yang bohong. Jadi artinya bukan sekedar yang tidak seagama dengan agama Islam. Nabi berkata; “Yang mengkafirkan orang, dia adalah kafir”. 

Sayapun akhirnya sadar bahwa saya sebagai seorang Katolik pun bisa seorang kafir ketika mengingkari ajaran agama Katolik, tidak rajin berdoa, munafik, kikir. Bahkan saya juga adalah kafir kalau akhirnya menutup mata pada ketikebenaran dan ketidakeadilan, atau tidak memperjuangkan kebenaran dan keadilan.

3. Tanah simbol kerendahan hati

Untuk ketiga kalinya dua sahabat sejati (Gus Mus dan Quraish Shihab) menelanjangi kekatolikanku. Kali ini ketika berbicara soal toleransi dengan mengambil simbol tanah. Toleransi hanya bisa bertahan ketika kita semua menyadari diri kita ini diciptakan dari tanah. Kita diciptakan dari bumi tanah supaya rendah hati. Tanah walau diinjak tapi menumbuhkan tumbuhan. Semakin rendah hati semakin terbuka hatinya untuk menerima kebenaran dan memancarkan cahaya.

Sebagai seorang Imam Katolik, kata “tanah” ini sering saya ucapkan ketika memimpin upacara pemakaman jenasah secara Katolik; “engkau diciptakan dari tanah dan kembali ke tanah”. Bahkan setiap malam Paskah dalam pembacaan Kisah Penciptaan di Kitab Kejadian, kata ini selalu dibacakan mengingatkan saya pada pencipataan Allah namun juga penciptaan diriku.

Tanah yang selama ini dimaknai sebagai kerapuhan, ketidaklayakan namun di malam romantika dua sahabat sejati ini, saya disadarkan bahwa tanah bukan sekedar kerapuhan dan kelemahan tetapi adalah kekuatan untuk menerima kebenaran dan memancarkan cahaya-Nya. Kekuatan itu lahir dari sikap rendah hati untuk menerima setiap perbedaan menjadi satu kebenaran.

4. Cinta dan Persahabatan

Cinta itu mudah diucap, tapi harus diperjuangkan. Cinta itu dialog sehingga kalau ada pemaksaan kehendak itu bukan cinta. Persahabatan bukan interaksi dua badan namun juga kesepahaman hati dan pikiran. Orang berilmu adalah orang yang rendah hati. Maka dalam persahabatan harus melihat manusia sebagai manusia dan tetap menjaga kemanusiaannya, ungkap Gus Mus. Quraish Shihab menambahkan bahwa sahabat adalah Anda dalam sosok yang lain. Melihat sahabat adalah Anda.

Pesan yang muncul dari bahasa persahabatan kedua sahabat sejati ini adalah bahwa ketika kita melihat diri kita dan sahabat tetap sebagai seorang manusia yang tidak terlepas dari kesalahan maka yang kita lakukan adalah memaafkan sebagai sikap menjaga kemanusiaan. Karena kita sendiri pun tidak terlepas dari kesalahan. Demikian juga melihat kesalahan sahabat kita seharusnya memberikan kesadaran bahwa kitapun tidak terlepas dari kesalahan sehingga yang terjadi adalah kesepahaman hati dan bukan pemaksaan kehendak. 

Pesan bijak kedua sahabat yang sedang bernostalgia dalam keislaman yang ramah ini kembali menelanjangi kekatolikan saya untuk keempat kalinya. Seringkali penghakiman dan merasa paling benar membuat saya kehilangan kerendahan hati dan tidak mampu menjaga kemanusiaan sesama. Merasa paling benar dan menghakimi sesama membuat saya buta terhadap kesalahan sendiri. Dan sikap seperti ini yang kemudian melahirkan perselisihan.

Kisah dua sahabat yang bertemu meski menelanjangi kekatolikanku namun saya bersyukur karena akhirnya membuat saya menjadi bangga dan tidak malu lagi karena kini saya bukan seorang KAFIR seperti stigma kaum sumbu pendek. Saya Katolik ya saya moderat, kalau tidak moderat itu bukan Katolik. 

Maka sebagai Katolik-seperti Islam yang adalah moderat-wajib menerima perbedaan seperti diajarkan oleh kitab suci. Seperti Al-Quran yang menjadi ukuran toleransi, maka saya sebagai orang Katolik pun harus menjadikan kitab suci sebagai ukuran toleransi. Ketika saya mengimani kitab suci sebagai ukuran toleransi namun tidak menerima perbedaan maka saya sedang membuat Katolik tidak lagi moderat.

Kiai Quraish Shihab dan Gus Mus, nostalgia persahabatan kalian berdua adalah pancaran cahaya menerangi kekatolikanku.

Penulis adalah anggota Jaringan Gusdurian Kaltim