Oleh Hamidulloh Ibda
Seperti tahun kemarin, menjelang bulan puasa sampai lebaran, banyak sekali organisasi masyarakat (ormas) yang melakukan demonstrasi, sweeping, bahkan merusak tempat hiburan dan penjual minuman keras. Tujuan mereka adalah untuk menertibkan dan menjadikan bulan suci bebas dari maksiat. Namun, baru-baru ini Kepala Kepolisian RI Jenderal Timur Pradopo meminta ormas untuk tidak melakukan sweeping menjelang pelaksanaan ibadah puasa di bulan Ramadhan (Kompas, 17/7/2012). Pradopo menegaskan, polisi akan menindak tegas organisasi-organisasi kemasyarakatan yang melakukan tindakan sweeping. Menurutnya, sweeping merupakan tindakan yang melawan hukum.<>
Sebenarnya, langkah yang ditempuh ormas bertujuan baik, karena ingin “menertibkan” tempat hiburan dan maksiat saat bulan puasa. Namun, cara mereka dipandang salah dan melanggar hukum, apalagi mereka melakukan tindakan anarkis, tentu sangat dilarang. Di sisi lain, langkah ini juga percuma jika hanya dilakukan pada saat bulan puasa, karena setelah lebaran tempat itu juga akan beroperasi lagi.
Pemicu Anarkisme
Akibat tidak adanya sweeping dan tindakan tegas dari pemerintah atas maraknya tempat hiburan, lokalisasi, karaoke, warung makan yang beroperasi siang hari, akhirnya ormas pun mengambil tindakan. Bahkan, tindakan mereka bukan sekadar lewat peringatan atau cara diplomasi, tapi sudah keterlaluan. Tak jarang dari massa ormas seperti FPI, FUI melakukan tindak anarkis sesuai kehendak mereka. Ini membuktikan “citra buruk” pemerintah Indonesia. Artinya, jika pemerintah tegas menertibkan tempat maksiat dan ormas nakal, maka kekerasan pun tak akan terjadi.
Padahal, masyarakat sudah “muak” dengan perilaku ormas yang mengusik kedamaian dan ketertiban masyarakat. Maka dari itu, masyarakat akan terus menunggu ketegasan pemerintah dalam menindak kebrutalan ormas. Jika tidak pemerintah, lalu siapa lagi? Karena tidak mungkin “tukang cendol” yang menindak ormas brutal.
Pemicu anarkisme ormas juga terjadi atas dasar menumpas kejahatan dan maksiat. Mereka ingin negara ini bersih dari praktik mesum, minuman keras, dan narkoba. Apalagi, pada saat bulan puasa, tentu ini menjadikan ormas selalu siaga menindak tempat-tempat hiburan.
Sebenarnya, dalih “memberantas maksiat” melalui tindakan anarkis ormas tidak bisa melegitimasi dan menghilangkan tanggung jawab pidana pelakunya, namun kepolisian dan aparat penegak hukum harus semakin tegas melaksanakan tugas secara optimal dan cepat dalam menindak kejahatan atau kemaksiatan yang melanggar undang-undang yang terjadi di masyarakat. Jika polisi tidak cekatan menumpas kejahatan di bulan puasa, maka jangan salahkan jika ormas melakukan tindak anarkis dalam rangka memberantas kemaksiatan.
Peran Pemerintah
Jika pemerintah tegas dan bergerak cepat melakukan penertiban tempat hiburan yang dinilai menganggu aktivitas bulan puasa, maka ormas pun tak akan bertindak. Pasalnya, selama ini peran pemerintah yang dipegang oleh Kepolisian dinilai masih lambat dalam bergerak. Akhirnya, mereka tak hanya bertugas menertibkan tempat hiburan, justru sibuk menertibkan ormas anarkis.
Dalam hal ini, pemerintah harus melakukan langkah preventif dan represif untuk menuntaskannya. Ada dua pekerjaan yang harus dikerjakan pihak Kepolisian, yaitu menindak tempat hiburan dan ormas anarkis. Jika tidak segara bertindak, maka citra pemerintah akan semakin buruk.
Lemahnya UU Ormas
Munculnya kekerasan ormas-ormas di luar jalur hukum, dipicu akibat lemahnya regulasi dan ketegasan pemerintah. UU No 8/1985 dan PP No. 18/1986 sebagai pengatur, ternyata belum kuat sebagai payung hukum. Itu artinya, UU ormas masih menjadi problem dan pemicu lahirnya kekerasan ormas.
Karena itu, pemerintah harus segara merevisi UU ormas. Jangan sampai kekerasan ormas melukai hukum di negeri ini. Bahkan, kekerasan ormas selama ini sangat “lebay” dan keterlaluan. Tujuan dari revisi itu adalah untuk memberdayakaan ormas agar lebih produktif, kontributif, dan tidak kontradiktif dalam melakukan pergerakan di masyarakat.
Diakui atau tidak, hadirnya ormas radikal seperti FPI karena lemahnya penegakan hukum negeri ini. Sehingga, dengan dalih menegakkan “amar ma'ruf nahi munkar,” FPI ikut memberantas tindakan maksiat yang bertentangan dengan norma-norma agama di tengah masyarakat. Apalagi, pada saat bulan suci, tentu maksiat harus ditumpas. Namun, terkadang aksi mereka dinilai keras dan radikal.
Jika benar-benar kepolisian, Kejaksaan Agung, pengadilan, dan seluruh penegak hukum menjalankan UUD 1945, tanpa UU tanpa PP, tidak perlu ada ormas. Atas dasar itu, aksi ormas radikal jangan disimpulkan melawan hukum dan berkesimpulan harus membubarkannya tanpa melihat akar permasalahan. Pasalnya, sebelum bergerak, ormas juga menyurati aparat keamanan. Pada intinya, negara ini membutuhkan regulasi dan UU jelas terkait ormas. Jika pemerintah tidak bertindak, maka permasalahan ini akan semakin kacau. Wallahu a’lam bisshawab.
* Peneliti di Centre for Democrasi and Islamic Studies IAIN Walisongo
Terpopuler
1
Rais 'Aam PBNU Ajak Pengurus Mewarisi Dakwah Wali Songo yang Santun dan Menyejukkan
2
Fantasi Sedarah, Psikiater Jelaskan Faktor Penyebab dan Penanganannya
3
Kisah Levina, Jamaah Haji Termuda Pengganti Sang Ibunda yang Telah Berpulang
4
Pergunu Buka Pendaftaran Beasiswa Kuliah di Universitas KH Abdul Chalim Tahun Ajaran 2025
5
Pakai Celana Dalam saat Ihram Wajib Bayar Dam
6
Inses dalam Islam: Dosa Terbesar Melebihi Zina, Dikecam Sejak Zaman Nabi Adam!
Terkini
Lihat Semua