Opini

Kemandirian Warga dan Literasi Keuangan Jam’iyah

Ahad, 20 Maret 2022 | 22:00 WIB

Kemandirian Warga dan Literasi Keuangan Jam’iyah

Kemandirian Warga dan Literasi Keuangan Jam’iyah

Oleh Syafii


Dalam memperkuat jamaah (masyarakat) dan jam’iyah (organisasi), sikap kemandirian merupakan kata kunci yang tidak bisa diabaikan. Kemandirian juga menjadi identitas atas kekuatan dan ghirah untuk terus tumbuh dan berkembang dalam komitmen dan independensi perjuangan.


Maka tidak aneh, jika muktamar ke-34 di Lampung, 23-25 Desember 2021 silam, Nahdlatul Ulama mengusung tema besar “Menuju Satu Abad NU, Membangun Kemandirian Warga untuk Perdamaian Dunia”.


Kemandirian warga menjadi salah satu kunci kontinuitas jamaah, juga jam’iyah, dalam meniti jalan NU ke depan. Hal ini menjadi momentum bersama melihat kembali konstruksi kemandirian beserta wacana literasi keuangan Jam’iyah.


Dalam penyampaian rekomendasi Muktamar ke-34, Ketua Komisi Rekomendasi Muktamar Alissa Qotrunnada Munawaroh Wahid menyitir sebuah quote dari KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) bahwa “Kalau negara lain mengemukakan kemakmuran dan kemerdekaan (prosperity and liberty) sebagai tujuan, maka negara kita (Indonesia) lebih menekankan prinsip keadilan daripada prinsip kemerdekaan itu” (KH Abdurrahman Wahid, Islam dan Keadilan Sosial, 2006).
 

Oleh karena itu, membincangkan kemandirian warga, atau kemandirian ekonomi, tidak akan terlepas dari kemampuan literasi keuangan yang di dalamnya memuat unsur penerapan prinsip keadilan. Keadilan dalam pelaporan dan keadilan dalam pendayagunaan (tasaruf).
 

Kemandirian Warga dan Sumber Keuangan Jam’iyah

Dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (Ad-ART) NU hasil muktamar ke-33 (2015) disebutkan bahwa “Keuangan Nahdlatul Ulama digali dari sumber-sumber dana di lingkungan Nahdlatul Ulama, umat Islam, maupun sumber-sumber lain yang halal dan tidak mengikat” (Pasal 29 ayat 1).
 

Selanjutnya, “Sumber dana Nahdlatul Ulama diperoleh dari uang pangkal, uang i’anah syahriyah, sumbangan, dan usaha-usaha lain yang halal” (Pasal 29 ayat 2).
 

Jika mengamati sumber-sumber dana jam’iyah dan jenisnya, maka kemandirian jam’iyah berkait erat dengan kemandirian warga. Begitu juga sebaliknya. Kemandirian warga juga berkaitan dengan kemandirian jam’iyah. Berkaitan dengan pendanaan dan sumber, memperkuat literasi keuangan jam’iyah menjadi titik tekan yang penting.
 

Semakin kita menyadari akan makna kemandirian warga dan jam’iyah dalam menjalankan roda organisasi dan program-programnya, semakin kita menyadari akan pentingnya literasi keuangan Jam’iyah.
 

Landasan dan Prinsip Keuangan Jam’iyah

Salah satu ayat yang membahas tentang landasan pelaporan keuangan terdapat dalam Surat al-Baqarah ayat 282. Ayat terpanjang dalam Al-Qur’an ini seringkali disebut sebagai ayat Mudâyanah, ayat yang membahas tentang utang piutang.
 

Unsur kalimat penting dalam ayat tersebut adalah sebagai berikut:
 

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوْهُۗ وَلْيَكْتُبْ بَّيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ


Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu melakukan utang piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan adil (benar).”


Dalam Surat al-Baqarah ayat 282, disebutkan kewajiban bagi umat mukmin untuk menulis setiap transaksi yang masih belum tuntas (not completed atau non-cash).
 

Dalam ayat ini, terdapat perintah untuk menjaga keadilan dan kebenaran, artinya perintah itu ditekankan pada kepentingan pertanggungjawaban (accountability) agar pihak yang terlibat dalam transaksi itu tidak dirugikan, supaya tidak menimbulkan konflik, serta agar adil bagi semua pihak.
 

Al-Qur’an melindungi kepentingan masyarakat dengan meniscayakan ditegakkannya keadilan dan kebenaran. Hal ini lantaran Laporan keuangan bukan semata menjadi pertanggungjawaban (accountability), namun juga menjadi basis data dalam pengambilan keputusan (decision making).
 

Dalam Al-Qur’an juga disampaikan bahwa kita harus mengukur secara adil, jangan dilebihkan dan jangan dikurangi. Bahkan, kita juga dilarang untuk menuntut keadilan ukuran dan timbangan bagi kita, sedangkan bagi orang lain kita menguranginya.
 

Dalam hal ini, Al-Qur’an menyatakan dalam berbagai ayat, antara lain dalam Surat asy-Syu’ara ayat 181-184 yang artinya:
 

Sempurnakanlah takaran dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang merugikan dan timbanglah dengan timbangan yang lurus. Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan dan bertakwalah kepada Allah yang telah menciptakan kamu dan umat-umat yang dahulu.”
 

Kebenaran dan keadilan dalam mengukur (menakar) di antaranya menyangkut pengukuran saldo awal, pendapatan (dana masuk), biaya (dana keluar), dan saldo akhir, sehingga seorang pemegang amanah keuangan dapat mengukur kekayaan secara benar dan adil.
 

Pemegang amanah wajib menyajikan laporan keuangan berdasarkan bukti-bukti yang ada sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Laporan keuangan bisa disajikan menurut motivasi dan kepentingan.
 

Untuk menjaga kebenaran pengukuran dan penyajian, terkadang diperlukan pengawas yang melakukan pemeriksaan atas laporan beserta bukti-buktinya. Perintah Allah dalam Al-Qur’an untuk menyempurnakan pengukuran secara adil membutuhkan pengawas dan pemantau, baik internal maupun eksternal, yang berkompeten dalam membuat laporan tersebut.
 

Ada 3 prinsip utama dalam laporan keuangan dalam Islam:
 

1. Pertanggungjawaban (accountability)
Pertanggungjawaban selalu berkaitan dengan konsep amanah. Bagi kaum Muslim, persoalan amanah merupakan hasil transaksi manusia dengan Sang Khaliq untuk menjalankan fungsi kekhalifahan di muka bumi. Banyak ayat Al-Qur’an yang menjelaskan tentang proses pertanggungjawaban manusia sebagai pelaku amanah Allah di muka bumi. Selain itu, pertanggungjawaban amanah dilakukan juga pada pihak-pihak yang terkait.

2. Prinsip keadilan
Pada konteks literasi keuangan, pencatatan transaksi yang belum selesai, sebagaimana tertuang dalam Surat al-Baqarah ayat 282, dilakukan dan dicatat dengan benar. Makna “benar” inilah yang terkandung dalam keadilan. Misalnya, bila nilai transaksi adalah sebesar Rp265 juta maka pengemban amanah harus mencatat dengan jumlah yang sama dan sesuai dengan nominal transaksi.

3. Prinsip kebenaran
Prinsip ini sebenarnya tidak dapat dilepaskan dengan prinsip keadilan. Kebenaran ini akan dapat menciptakan nilai keadilan dalam mengakui, mengukur, dan melaporkan tansaksi-transaksi dalam ekonomi. Maka, pengembangan literasi keuangan dalam Islam mencakup nilai-nilai kebenaran, kejujuran, dan keadilan.

 

Sedangkan ciri-ciri laporan keuangan yang sehat dan benar di antaranya sebagai berikut:

  1. Dilaporkan secara benar (tidak ada manipulasi)
  2. Dilaporkan secara cepat
  3. Dibuat oleh ahlinya
  4. Dilaksanakan secara terarah, jelas, tegas, dan informatif
  5. Diinformasikan secara menyeluruh dan terperinci
  6. Ditujukan kepada semua pihak yang terlibat dan membutuhkan
  7. Dilakukan secara kontinu (tidak lalai)


Di tengah gaung kemandirian ekonomi untuk warga dan organisasi meningkat, kompetensi dan kapabilitas atas literasi keuangan menjadi mutlak dibutuhkan. Hal ini bukan saja terkait dengan dokumentasi atas transaksi-transaksi yang ada, namun juga sebagai amanah yang diemban pengurus/pengelola dana yang dipertanggungjawabkan kepada jamaah (masyarakat) dan kepada Allah.
 

Syafii, Bendahara Pengurus Ranting NU Wedi dan Dosen Akuntansi Universitas Bhayangkara Surabaya