Opini

Kesabaran; Sikap dan Pelatihan

NU Online  ·  Senin, 16 Oktober 2006 | 14:32 WIB

Oleh: Prof. Dr. KH Said Aqiel Siradj, MA

Sabar, kata yang sering kali kita dengar memang mudah dikatakan, tapi rasanya sulit dipraktikkan. Banyak orang enteng mengata-ngatai orang lain untuk bersikap sabar di saat sedang dibarakan oleh kemarahan atau ditimpa musibah.

Bagai cerita di sinetron-sinetron yang menayangkan bagaimana orang yang tengah dililit, misalnya kemiskinan, lalu si aktor pelaku utama digambarkan tak kuat menahannya, sehingga dia memilih melakukan perbuatan yang tidak terpuji demi mengeruk uang. Meski sulit dipraktikkan, manusia sepertinya sudah tertancap idealitas akan makna dan fungsi kesabaran.

<>

Sampai-sampai, karena pengharapan (tafa’ul) yang tinggi, ada yang menamakan anaknya dengan sabar. Hal ini menyingkapkan bahwa ada keinginan atau cita-cita terpendam bagi manusia untuk menggapai sikap dan nilai-nilai adiluhung kesabaran. Dalam konteks yang lebih luas, coba kita gayutkan dengan kenyataan yang tengah terjadi di negeri kita. Saat ini, negeri kita sedang mengalami berbagai bencana.

Ada bencana alam seperti gempa, tsunami, atau banjir lumpur. Ada terpaan keadaan ekonomi yang belum menunjukkan perbaikan secara merata, kekerasan massa, kemarahan massal, anarkisme, atau politik saling sikut dan demam pergunjingan. Kenyataan ini boleh dikatakan sebagian akibat ekspresi dari adanya ketidaksabaran yang sifatnya masif untuk bergegas menyongsong kehidupan yang damai dan sejahtera.

Atau pula, wujud adanya ketidaksabaran dalam mengelola kekayaan alam dan kehidupan sosial, berbangsa, dan bernegara, sehingga justru menimbulkan dampak yang merugikan kepentingan umum. Manusia dengan segala sifat-sifat kemanusiaannya memang sulit menghindari dari sifat amarah yang merupakan antitesis kesabaran. Karena pada dasarnya, manusia adalah makhluk sosial, makhluk yang bergaul dan berinteraksi dengan sesamanya.

Pergaulan dan interaksi sosial tidak selamanya dilangsungkan dengan manis. Tetapi apa betul manusia tidak bisa menggapai kesabaran. Tentu saja, manusia bisa meraih sabar. Untuk mencapainya diperlukan pelatihan diri secara konsisten. Betapa pun, manusia memiliki sifat amarah dan keburukan lainnya, namun sifat sabar sesungguhnya juga menempel dari dalam dirinya.

Teladan manusia-manusia penyabar telah banyak diungkapkan dalam kisah-kisah yang terkandung dalam kitab suci atau juga kisah-kisah para sufi. Dan sebenarnya, sifat sabar bukanlah bersifat privat-elitis, melainkan sifat populis, yakni bisa diraih setiap manusia. Sabar mempunyai tingkatan (maqam) tersendiri. Ini menyangkut proses pelatihan untuk sampai pada idealitas sabar.

Pertama, sabar semata karena Allah (sabr lillah). Artinya, manusia dalam menjalankan kesabaran harus memantapkan dirinya semata demi meraih ridha ilahi. Bersabar bukan semata untuk memecahkan persoalan yang melilit, tapi difokuskan untuk mendapatkan rahmat dari Allah. Kedua, sabar yang membuat ketergugahan diri bahwa Allah yang menguji kesabarannya (sabr billahi). Dengan begitu, seseorang sadar apa yang dirasakan merupakan ujian dari Allah. Karena itu, dia akan selalu menjaga kesabarannya agar tidak terjengkang sedikit pun dari perhatian Allah. Ketiga, sabar bersama Allah (sabr ma’allah).

Sabar ini merupakan tingkatan tertinggi yang digapai oleh manusia. Artinya, seseorang betul-betul merasakan bahwa dirinya meraih sifat kesabaran dari Allah. Bila demikian, seseorang akan memiliki jiwa yang tahan banting dalam menghadapi segala musibah. Nah, kesabaran nyatanya selain sikap niscaya yang perlu dimiliki manusia dalam menempuh ujian hidup, juga merupakan ”proses pendakian” untuk menjadi hamba Allah yang sempurna (insan kamil).

Apa pun perbuatan baik itu yang bersifat ritual maupun sosial, akan selalu membutuhkan kesabaran. Tanpa kesabaran, perbuatan yang diupayakan akan menemui kendala internal, yakni aspek diri manusia sendiri yang membuat kesukaran dan juga hilangnya nilai-nilai intrinsik yang dipendam dalam makna dan fungsi kesabaran. Yang terpenting lagi, kesabaran yang menjasad secara kolektif, bukan sekadar individual dalam konteks berbangsa dan bernegara, sehingga negeri ini akan menggapai kemaslahatan yang sejati.(*)  

Ketua PBNU