Opini

KH Maimoen Zubair dan Politik Tanah Air

Sab, 16 Februari 2019 | 05:09 WIB

KH Maimoen Zubair dan Politik Tanah Air

KH Maimoen Zubair (Dok. NU Online)

Oleh Fathoni Ahmad

Pertengahan Januari 2017 lalu, tepatnya 15 Januari 2017 penulis dengan beberapa rombongan sowan di kediaman ulama besar KH Maimoen Zubair di Pondok Pesantren Al-Anwar Sarang, Rembang, Jawa Tengah dalam kegiatan Anjangsana Islam Nusantara. Kebersahajaan luar biasa senantiasa ditunjukkan kiai kelahiran 28 Oktober 2018 setiap menerima tamu yang berkunjung ke Sarang.

Publik mungkin hanya mengetahui ulama besar, pejabat, dan tokoh nasional saja yang kerap mengunjungi untuk meminta restu dan doanya. Karena kunjungan tersebut mudah sekali mendapatkan sorotan media, kemudian viral. Namun di balik itu, Mbah Maimoen yang merupakan tokoh panutan masyarakat juga tidak jarang menerima kunjungan dari masyarakat bawah. Mereka datang dari berbagai daerah.

Terkait pelbagai macam jenis tamu tersebut, penulis teringat cerita KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Putra sulung KH Wahid Hasyim itu merupakan salah seorang tokoh yang banyak disambangi tamu setiap harinya. Tamu dari berbagai latar belakang semua diterima oleh Gus Dur. Suatu ketika, Gus Dur bercerita bahwa tamu yang datang kepadanya ada dari kalangan masyarakat kecil, menengah, dan atas. Ada juga dari kalangan politisi dan pejabat.

Mereka datang sowan kepada Gus Dur dengan berbagai maksud dan tujuan. Hebatnya, ketika rakyat kecil yang datang, mereka justru memberi. Gus Dur mengungkapkan, hal ini berbeda ketika para politisi yang datang. Mereka justru meminta.

“Kalau orang kecil yang datang, mereka pasti akan memberikan doa panjang umur, memudahkan kesulitan, dan lainnya. Tapi jika tokoh politik atau pejabat yang datang, mereka pasti meminta jabatan,” ucap Gus Dur.

Begitulah kenyataannya, keteduhan dan kesejukan yang memancar dari wajah Mbah Maimoen Zubair menjadi berkah tersendiri bagi masyarakat umum yang berkesempatan menyambangi Sarang. Keberkahan tersebut mendatangkan timbal balik berupa doa-doa dari masyarakat bawah itu. Tentu saja hal ini menjadi harapan masyarakat secara umum agar keberadaan Mbah Maimoen selalu menjadi penenteram dan penyejuk di tengah kekisruhan sosial dan konflik politik kepentingan.

Politik tanah air merupakan dunia yang tidak asing bagi Mbah Maimoen karena beliau sudah malang melintang dan makan asam garam di bidang tersebut. Namun, tentu saja bukan semata politik kepentingan, bukan pula politik kekuasaaan yang diperjuangkan Mbah Maimoen, melainkan kemaslahatan politik. Ini menunjukkan bahwa walaupun dirinya seorang ‘alim, tetapi tidak anti terhadap politik. Justru dinamika politik harus diisi oleh orang-orang yang baik dan benar, paham dan mengerti.

Politik bagi kiai yang saat ini menginjak usia 91 tahun tersebut bukan tujuan, tetapi hanya perantara untuk mencapai tujuan tersebut. Yakni tujuan menyejahterakan umat, memberikan rasa keadilan, kenyamanan, dan keamanan, serta memajukan negara dan bangsanya. Secara umum, Nahdlatul Ulama mempraktikkan politik kebangsaan, politik kerakyatan, politik yang menjunjung nilai-nilai dan etika.

Sudah lazim di negeri ini dalam setiap perhelatan pemilihan umum, baik pilkada, pileg, maupun pilpres, ulama besar menjadi tempat berkunjung meminta restu. Namun, Mbah Maimoen tidak ingin membeda-bedakan para tamu yang berkunjung ke kediamannya. Karena ulama-ulama kesohor yang pernah bertamu di rumahnya tak terhitung. Sebut saja Mufassir Muhammad Quraish Shihab, almarhum Habib Mundzir Al-Musawa (Pendiri Majelis Rasulullah), dan beberapa ulama-ulama mancanegara. Pertalian sanad tarekat memang menjadikan ulama-ulama tersebut berkunjung kepada Mbah Maimoen selain tentu menimba ilmu dari sang syaikhona.

Saat ini, bisa dikatakan bahwa Mbah Maimoen Zubair merupakan ulama yang komplet. Beliau cukup tersohor di antara ulama-ulama thariqah dunia. Pemandangan akrab dan hangat terlihat ketika Mbah Maimoen berbincang dengan para mufti dunia dalam kegiatan konferensi ulama internasional di Pekalongan pada 27-29 Juli 2016 lalu. Mereka berbincang menggunakan bahasa Arab, bahasa yang juga digunakan oleh Mbah Maimoen ketika kedatangan tamu ulama di rumahnya.

Kealiman Mbah Maimoen juga ditunjukkan oleh karya-karya kitab yang telah berhasil ia tulis. Beliau tercatat telah menulis sejumlah kitab di antaranya: Tuhfatul Ahbab, Nushushul Akhyar, Tarajim Masyayikh Al-Ma’ahid Ad-Diniyah bi Sarang Al-Qudama’, Al-Ulama’ Al-Mujaddidun, Kifayatul Ashhab, Maslakuk Tanasuk, Taqrirat Badil Amali, dan Taqrirat Mandzumah Jauharut Tauhid.

Meskipun usia boleh terbilang senja, namun penglihatan, suara, dan pembicaraannya masih lantang. Di saat orang-orang sebayanya memakai kaca mata tebal, beliau masih mampu membaca kitab dengan mata telanjang, tanpa kacamata. Tentu saja ingatannya pun masih sangat tajam. Termasuk membaca dan mengisahkan sejarah-sejarah masa lalu. Hal itu ditunjukkannya ketika penulis dan rombongan Anjangsana Islam Nusantara bermaksud menelusuri sanad dan jejaring keilmuan Islam di Nusantara melalui Mbah Maimoen. 

Mbah Maimoen masih terang dalam berujar dan penuh dengan humor dalam beberapa penuturan dan obrolannya. Siapa pun tamunya, yang tadinya agak sedikit kikuk seketika langsung mencair melihat senyum dan tawa Mbah Maimoen yang khas. 

Dalam persoalan menimba ilmu, Mbah Maimoen menyatakan bahwa ilmu itu harus didatangi oleh manusia, karena ia tidak mendatangi. Sebab itu, kedatangan rombongan Tim Anjangsana dengan maksud memperkokoh keilmuan merupakan langkah yang tepat. Apalagi sekaligus menelusuri sanadnya sehingga ilmu itu nyambung hingga ke pucuk sumber yang shahih, yaitu Nabi Muhammad.

“Al-ilmu yu'ta wa la ya'tii. Ilmu itu didatangi bukan mendatangi dirimu,” tutur Mbah Maimoen Zubair dengan penuh kehikmatan menerangkan kepada para tamu. Beliau mengumpamakan air di dalam sumur yang harus ditimba. “Sebagaimana kita menginginkan air di dalam sumur, kita harus menimbanya,” ujar Mbah Maimoen.

Tak hanya terkait dengan esensi ilmu yang manusia harus terus menerus menimba dan belajar, tetapi juga berbagai persoalan bangsa maupun penjelasan sejarah meluncur deras dari mulutnya sehingga para tamu nampak makin khidmat dalam menyimak paparan-paparan Mbah Maimoen.

Terkait dengan persoalan kebangsaan dan politik yang terus mengalami turbulensi, Mbah Maimoen berpesan agar tidak semua orang ikut larut dalam permasalahan sehingga melupakan tugas terdekatnya sebagai manusia. Hal ini akan berdampak pada ketidakseimbangan hidup dan kehidupan itu sendiri.

Mbah Maimoen juga berpesan kepada santri dan seluruh masyarakat Indonesia pada umumnya untuk menjaga tali silaturrahim, utamanya kepada guru-guru dan kiai-kiai sepuh dalam menyikapi setiap persoalan bangsa maupun konflik yang sering terjadi di tubuh organisasi.


Penulis adalah anggota Tim Anjangsana Islam Nusantara 2017 Pascasarjana UNUSIA Jakarta; Redaktur NU Online