Opini

Kisah Qabil-Habil dalam Mata Ali Syariati

Ahad, 17 Februari 2019 | 00:00 WIB

Kisah Qabil-Habil dalam Mata Ali Syariati

Ilustrasi (alfahmu).

Oleh Ali Makhrus

Kebanyakan kita memahami Qabil dan Habil sebagai sosok anak Adam yang tidak rukun hanya gegara “rebutan perempuan”. Jika cerita tersebut ditinjau dari kebijakan politik-ekonomi seorang pimpinan, terdapat distribusi aset yang terkesan tidak adil. Sebagai pemimpin, Adam seakan tidak adil dalam menjodohkan anaknya melalui perputaran kembaran perempuan Qabil yang lebih menawan dan anggun untuk dijodohkan dengan Habil. Sementara, Qabil mendapatkan jodoh kembaran Habil yang memiliki sifat sebaliknya. 

Penulis menilai kisah tersebut bias gender, karena perempuan dijadikan sebagai aset. Meski begitu, ada nilai kemanusiaan yang luar biasa yang dapat diambil dari kisah Qabil dan Habil tersebut.

Adanya distribusi aset yang tidak seimbang yang dilakukan oleh Adam selanjutnya memicu perlawanan anaknya. Menghadapi kebijakan Adam, sebagai kepala pemerintah atau negara juga kepala keluarga yang dianggap tidak tepat, Qabil melakukan protes kepada Adam, dengan berkata: "

انا احق بها, وهو احق بأخته, وليس هذا من الله تعالى, وإنما هو رأيك"

 Aku lebih berhak terhadapnya, dan dia lebih berhak terhadap saudaranya, tidaklah ini dari ketentuan Allah Taala, melainkan pendapat mu sendiri.

Sebagai kepala keluarga, Adam memberikan solusi untuk menyelesaikan konflik tersebut dengan membuat kebijakan adanya perintah untuk berkurban oleh kedua anaknya. Siapa yang kurbannya diterima, berhak menikah dengan perempuan yang lebih cantik (kembaran Qabil). Ar-Razi menerangkan dalam tafsirnya, korban jagung jelek Qabil tidak terlalap api, sementara kurban kambing (versi Ali Syariati Onta) Habil dilalap habis. Disebutkan pula, waktu itu api adalah simbol Tuhan. Dengan dilalap api maka dipercaya bahwa kurbannya diterima tuhan dimana tuhan hadir memberkati. 

Dalam versi lain dikatakan, Qabil adalah seorang petani. Sementara Habil adalah seorang peternak. Sudah menjadi kebiasaan, mereka menjalankan rutinitas kurban secara periodik. Saat ritual kurban menjadi cara memutuskan masalah, hasilnya malah memicu dendam Qabil. Karena tidak terima dengan hasil tersebut, Qabil membunuh Habil dalam posisi Habil tidak melakukan perlawanan sama sekali (al-Maidah 27-28). 

Namun, belum sempat menikah, Habil sudah mati dibunuh oleh Qabil. Kejadian buruk ini ditengarai karena Qabil tidak terima akan perpindahan kepemilikan dari Qabil (kembarannya) ke Habil, dan dari Habil ke Qabil, dengan kualitas aset yang tidak setara. Qabil melunasinya dengan aksi konspirasi secara sembunyi-sembunyi dengan membunuh Habil tanpa sepengetahuan Adam secara langsung.

Pada kisah di atas didapati sosok Qabil yang tidak menghargai kesepakatan, dan cenderung melindungi asetnya dengan berbagai macam cara. Menurut keterangan dalam Tafsir Mafatih al-Ghaib karya Muhammad ar-Razi, “saat itu Adam dan istrinya memiliki kebiasaan melahirkan kembar (bebarengan), satu laki-laki dan satu perempuan. Adam menerapkan kebijakan menikahkan silang antar kehamilan”. 

Jika peristiwa tersebut dikaitkan dengan era sekarang, maka sesungguhnya yang terjadi adalah ada hukum berkeluarga dan bernegara pada konteks itu yang ditentang oleh Qabil. Dalam menentang ketetapan yang diberikan, Qabil mengajukan gugatan pra peradilan ke MA yang dalam hal ini adalah Adam, sehingga keputusan berakhir dengan pelaksanaan kurban. Klausul pasal yang dikeluarkan berbunyi, “barangsiapa yang kurbannya terbakar api dari langit, maka berhak menikah dengan kembaran Qabil”.

Kisah Qabil dan Habil, bagi Ali Syariati, (1933-1977), merupakan kisah manusia dalam lintasan sejarah panjang yang dialektis-antagonistik, serta penuh nilai-nilai kemanusiaan bagi generasi zaman now. Mengapa demikian? Sebab, bagi Ali Syariati, skandal terbunuhnya Habil bukan sekadar kehilangan satu manusia, melainkan juga kehilangan sistem kemanusian. Selain itu terbunuhnya Habil juga menyebabkan perubahan dari sistem perekonomian kolektif (collective ownership) menuju individual-ownership (lihat lebih lanjut dalam buku On the Sociology of Islam.

Sosok Qabil diprofilkan sebagai manusia feodal yang sirik kepada Tuhan atau disebut mustakbirin. Sementara, Habil digambarkan sebagai sosok manusia bertauhid namun berada dalam situasi yang tidak menguntungkan (mustadhafin). Dari mana Ali Syariati mengambil kesimpulan bahwa Qabil sebagai seorang feodalistik, sementara Habil sebagai marjinal? Bukankah keduanya sama-sama memiliki hak untuk bertarung atau berkompetisi? Lantas, dimana posisi bapak Adam dalam konteks ini? Apakah ada yang berperan sebagai konglomerat-borjouis atau penguasa-aristokratis atau Feodal-Oligarkis?

Menurut Syariati, kesimpulan itu berangkat dari realitas land-ownerisme (pemilik lahan) yang direpresentasikan oleh Qabil, dan pastoralisme (penggembala) yang pada masa itu direpresentasikan oleh Habil. Habil dijadikan Ali Syariati sebagai simbol sosialisme masa itu, yakni sosok manusia yang menikmati sumber daya alam secukupnya, tanpa ada kepemilikan pribadi. Sebagai penggembala, Habil hanya menikmati hasil alam secukupnya. Dia mengambil rumput secukup makanan gembalanya. Lahan tempat dia mencari rumput tidak diaku sebagai miliknya pribadi, namun dapat digunakan dan dimanfaatkan oleh siapa pun. Disini berlaku konsep bahwa sumber daya alam yang ada menjadi milik bersama (collective ownership) dan dimanfaatkan secara bersama-sama (prinsip sosialisme).

Sementara, Qabil, sebagai petani, dia memiliki tanah dan memiliki penguasaan aset sumber dayanya secara pribadi. Tanah tidak lagi menjadi milik bersama, namun dipetak-petakkan. Dari sini muncullah konsep kepemilikan pribadi (individual-ownersip) yang menjadi prinsip dasar kapitalisme.

Terbunuhnya Habil dinilai Ali Syariati menjadi penanda berakhirnya paham sosialisme. Sistem dimana orang menjadi seperti penggembala yang mengedepankan akses dan eksploitasi alam secukupnya, berubah menjadi sistem dimana orang menjadi seperti petani yang mengedepankan penguasaan lahan secara pribadi. Qabil yang terus hidup menjadi simbol menyebarnya prinsip kapitalisme, yakni prinsip dimana orang melakukan segala cara untuk menjaga asetnya, juga prinsip dimana orang berusaha menguasai sumber daya alam yang ada untuk menjadi milik pribadinya.

Kisah di atas berakhir dengan hikmat yang luar biasa dari Habil, “Sungguh jika engkau menggerakkan tanganmu kepadaku untuk membunuhku, maka aku tidak akan menggerakkan tanganku kepadamu untuk membunuhmu, sungguh aku takut kepada Allah, Tuhan seluruh alam” (al-Maidah-28). Kelegowoan Habil patut direnungkan oleh kita semua. Persoalan ekonomi dan kapital memang penting, namun persoalan kemanusiaan jauh lebih penting.

Kisah Qobil-Habil diatas mengingatkan kita bagaimana eksploitasi dan dominasi kapital dapat mengakibatkan banyak kerusakan, bahkan pembunuhan terhadap manusia yang tidak bersalah. Keserakahan manusia untuk menguasai sumber daya alam sudah seharusnya dikurangi bahkan dihentikan. Sebagai Khalifah fil ardh, manusia seharusnya memperlakukan alam dengan ramah dan secukupnya.

Penulis adalah mahasiswa Sekolah Pascasarjana UIN Syarif HIdayatullah Jakarta