Opini INTERNATIONAL SUMMIT OF MODERATE ISLAMIC LEADERS (6)

Konfigurasi Islam Nusantara: dari Islam Santri, Abangan, hingga Priyayi

Jum, 6 Mei 2016 | 20:00 WIB

Oleh Mohammad Takdir Ilahi
Kekhasan Islam Nusantara bila dibandingkan dengan karakter Islam di seluruh dunia, barangkali memiliki perbedaan yang cukup signifikan. Islam Nusantara sejak awal kedatangannya, telah memberikan suatu warna yang khas pada mayoritas muslim di berbagai daerah. Ketika Islam bersentuhan langsung dengan budaya lokal, maka bisa dipastikan tercipta suatu pola keagamaan yang berbeda satu sama lain sehingga semakin memperkaya khazanah keislaman dalam konteks budaya lokal. Hal inilah yang mungkin memunculkan berbagai varian keagamaan sesuai dengan karakter etnisitas kebangsaan yang beragam dan menghasilkan tipologi tersendiri bagi pola-pola keagamaan masyarakat di suatu daerah.

Islam sebagai doktrin memang tidak bisa ditentang ketunggalannya, namun Islam akan memiliki beragam penafsiran ketika bersentuhan dengan situasi masyarakat yang beragam pula. Islam dapat ditafsirkan berwajah plural sesuai dengan karakter keberagamaan masyarakat. Begitu pula dengan keberagamaan masyarakat Islam Nusantara yang memiliki corak maupun pemahaman yang berbeda sehingga memunculkan tipologi tertentu dalam soal praktik ritual maupun corak tradisional-modernis yang mewarnai identitas-lokalitas masyarakat. Keberagamaan masyarakat muslim Nusantara tentu saja banyak dipengaruhi oleh pluralitas ideologi maupun pemahaman keagamaan yang berbeda satu sama lain sebagai implikasi perubahan sosial yang mencerminkan Muslim pedesan atau Muslim urban (perkotaan).

Kenyataan ini membuktikan bahwa praktik keagamaan setiap daerah dapat dipastikan berbeda sesuai dengan karakter kebudayaan masyarakatnya. Tidak ada satu agama yang terbebas dari pluralitas tradisi yang dihasilkan oleh kebudayaan suatu bangsa atau masyarakat yang warganya tetap setia mempertahankan kearifan lokal. Karena itu, Islam yang dipahami orang Jawa-setidaknya pada tataran praktis-tidak sama dengan Islam yang dipahami dan dihayati oleh orang Sunda. Lalu, dalam wilayah yang lebih luas, Islam dihayati orang Timur Tengah, sampai pada batas tertentu, berbeda dengan Islam yang dihayati oleh bangsa Indonesia. Meskipun harus diakui terdapat persamaan dalam kesemua varian Islam itu-terutama pada prinsip-prinsip dasarnya-namun dalam praktiknya terdapat banyak variasi (Machasin: 2011).

Dalam lingkungan masyarakat Jawa, misalnya, kategorisasi Islam secara kasar mungkin bisa dibagi dalam empat penafsiran. Pertama, Islam yang telah bercampur dengan tradisi lokal dengan beragam praktik ritual yang sulit diamati. Kedua, muslim yang terbaratkan (westernized) atau setidaknya memperoleh pengaruh Barat secara kental, sementara tradisi dan wawasan keislamaan terbilang minim atau kurang memadai. Ketiga, muslim yang memahami dan menghayati Islam dalam kadar pas-pasan dan memiliki pengetahuan maupun pemahaman terhadap peradaban Barat yang juga kurang memadai. Keempat, muslim yang memiliki kedalaman tentang Islam dan mampu memelihara etos dan disiplin ilmu keislaman, yang sering disebut sebagai kaum santri (Komaruddin Hidayat: 2003).   

Di luar keempat katagorisasi di atas, sesungguhnya terdapat sekelompok  orang yang memiliki akses atau apresiasi terhadap kebudayaan Islam lokal maupun Barat yang senantiasa dapat merubah pola atau sistem sosial keagamaan mereka. Meski demikian, pengkategorisasian Islam Nusantara, khususnya muslim Jawa, setidaknya dapat menjadi gambaran tentang keragaman masyarakat muslim Jawa yang dilihat dari faktor keilmuan maupun pemahaman keagamaan. Pluralitas praktik keagamaan merupakan salah satu faktor yang menyebabkan munculnya varian-varian dalam Islam, terutama berkaitan langsung dengan karakteristik kehidupan masyarakat Jawa yang cukup heterogen.
Berdasarkan hasil survei yang dilakukan peneliti tentang Islam di Indonesia, kita menemukan beragam katagori yang membedakan karakteristik keislaman masyarakat Nusantara berdasarkan tipologisasi yang mengarah pada kesadaran dalam beragama. Hasil penelitian tentang pluralitas konfigurasi Islam Nusantara mencerminkan kekhasan tipologi berdasarkan seni kesukuan yang berwajah ganda, misalnya munculnya katagorisasi Islam Santri, Islam Abangan, dan Islam Priyayi, atau katagorisasi seperti Islam Tradisional, Modernis, Liberal, Islam Jawa, maupun Islam Lokal.

Munculnya varian-varian dalam keberagaman Islam Nusantara setidaknya membuka ruang perdebatan tentang peran agama dalam ruang lingkup yang lebih luas. Belakangan, perdebatan seputar peran agama dalam ruang publik di Indonesia secara tidak langsung telah menghadirkan berbagai varian baru yang berkaitan dengan pluralitas konfigurasi Islam Nusantara. Bila Clifford Geertz telah mengajukan tesis tentang varian muslim Jawa, berdasarkan ekspresi keberagamaan mereka, yang terdiri dari Santri, Abangan, dan Priyayi, fenomena saat ini boleh dibilang lebik unik, karena varian-varian yang hadir merupakan derivasi kelompok santri itu sendiri.

Beberapa sarjana memang sering menggunakan istilah yang berbeda, seperti Islam konservatif, moderat, dan liberal. Kategorisasi ini dilatarbelakangi oleh sebuah fakta bahwa telah terjadi kontestasi politik dan revolusi budaya di kalangan muslim Nusantara yang ditandai dengan semakin spesifiknya orientasi keagamaan mereka. Varian baru ini mencerminkan kekhasan pluralitas Islam Nusantara berdasarkan konfigurasi yang unik dan memberikan pengetahuan tentang nilai-nilai kemusliman masyarakat. Perubahan orientasi keagamaan ini bisa jadi merupakan faktor munculnya kategorisasi yang menciptakan sudut pandang bagi masyarakat muslim Jawa maupun Madura secara umum.

Dari fenomena inilah, saya mencoba menghadirkan tipologi varian Islam Nusantara dalam masyarakat negeri ini. Penelitian model antropologis-sosiologis ini telah menarik minat banyak pengamat dan peneliti dalam maupun luar negeri, karena dianggap memberikan sumbangan penting bagi pengembangan kehidupan kultur masyarakat muslim Jawa-Madura, meskipun juga dinilai tidak lagi relevan dalam konteks kehidupan sekarang. Penelitian Geertz tetap berharga bagi peneliti Indonesia yang mengkategorikan lapisan masyarakat menjadi abangan, santri, dan priyayi. Dalam karya pentingnya ini, Geertz mencoba mencermati praktik-praktik keagamaan santri, abangan, dan priyayi, lalu kecenderungan yang merepresentasikan perilaku ketiga varian atau golongan dalam masyarakat Jawa.

Islam Santri: Representasi Muslim Nusantara
Di berbagai komunitas muslim dunia, istilah Islam santri hanya ada bumi Nusantara. Kekhasan Islam Nusantara ini merupakan kekayaan yang monumental bagi kemajuan peradaban sebagai inspirasi dari semua Negara muslim di berbagai belahan dunia. Kemajuan peradaban muslim Nusantara dengan berbagai karakter yang menghiasinya bisa menjadi mercusuar bagi tegaknya nilai-nilai keislaman dalam konteks global sehingga memberikan kontribusi penting bagi pembentukan generasi muslim yang berkarakter luhur dan mulia.

Penggolongan santri dalam penelitian Geertz termasuk dalam kategorisasi Islam Nusantara yang mencakup pola kehidupan keagamaan masyarakat Jawa berkaitan langsung dengan representasi perilaku dan praktik-praktik ritual dalam beragama. Dalam penelitan Geertz, santri merupakan tipe masyarakat yang dinilai taat dan mantap dalam menjalankan perintah agama yang berkaitan dengan rukun Islam maupun ajaran-ajaran yang lain. Sebagai kelompok masyarakat yang mendalami agama Islam dengan sungguh-sungguh, santri dapat dikategorikan sebagai generasi muslim yang dapat diandalkan untuk meneruskan estafet kepemimpinan ulama atau kiai dalam tradisi pesantren.

Dalam penelitian Geertz, santri ditempatkan sebagai kelompok masyarakat yang paling taat dalam menjalankan perintah agama dan mampu menguasai ilmu agama dengan baik. Bagi kalangan santri, peribadatan menjadi aktifitas yang paling penting dalam memperkuat keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan. Perintah agama seperti shalat, puasa, zakat, dan lainnya menjadi karakter tersendiri yang melekat dalam varian santri sehingga menempatkan mereka sebagai penjaga moral dan sosial dalam kehidupan masyarakat. Tipikal yang melekat dalam varian santri ini jelas dapat dibedakan dengan varian-varian lainnya, seperi abangan maupun priyayi.

Penafsiran Geertz tentang varian santri sesungguhnya tidak jauh berbeda dengan penafsiran dalam tradisi pesantren. Sebagai bagian dari Islam tradisional, pesantren memang sangat identik elemen santri yang menjadi bagian penting dalam pengembangan sistem pendidikan Islam di Indonesia. Terlepas dari penelitian Geertz yang menempatkan santri sebagai kelompok masyarakat yang sungguh-sungguh dalam menjalankan perintah agama, varian atau kelompok keagamaan seperti santri memang tidak bisa dilepaskan dari tradisi pesantren. Harus disadari bahwa setiap orang yang betul-betul menjalankan ibadah dan perintah agama dapat dikatagorikan atau disebut sebagai santri, walaupun tidak pernah mondok di pesantren. Bagi saya, santri dan pesantren adalah permata berpisau dua yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain, karena ketika menyebut istilah santri, maka yang muncul di benak kita adalah pesantren.

Kemunculan pesantren pada abad ke-19 bisa menjadi bukti kekhasan Islam Nusantara yang diwarnai berbagai macam varian atau pola keagamaan yang berbeda. Varian santri dalam tradisi pesantren menjadi salah satu kekhasan Islam Nusantara yang tidak dimiliki negara lain yang mayoritas muslim. Kekhasan dalam tradisi pesantren ini merupakan kekayaan tersendiri dalam dinamika perkembangan pendidikan Islam tradisional sehingga menempatkan santri sebagai tonggak penyelamatan bangsa dari kehancuran moral dan juga sebagai generasi muslim yang dapat diandalkan untuk turut serta dalam membangun bangsa ke arah kemajuan yang signifikan.

Tidak heran bila sebutan santri tidak bisa tergantikan oleh varian muslim lainnya yang dianggap mampu memberikan harapan akan pengembangan pendidikan dan keilmuan bagi kepentingan masyarakat luas. Sebagai varian yang sangat taat dalam menjalankan ajaran agama, santri bisa menjadi pemimpin dalam berbagai kegiatan sosial yang menjalankan fungsinya untuk kepentingan keummatan. Dalam dimensi keberagamaan, kaum santri boleh dibilang sebagai “orang saleh” yang selain memenuhi aturan syariat kualitas kesalehan, tapi juga dilihat dari cara hidup yang mendekati perilaku seorang sufi.
Kesalehan dalam menjalankan perintah agama dengan sungguh-sungguh merupakan potret nyata atau merepresentasikan varian santri yang disebut Geerzt sebagai “kelompok muslim yang menjalankan syariat dengan konsisten”. Menurut Abdul Munir Mulkhan, kesalehan tidak hanya berkaitan dengan ketaatan dalam menjalakan perintah agama, namun juga berkaitan dengan prinsip humanisme universal. Kesalehan adalah tindakan yang berguna bagi diri sendiri dan orang lain, serta dilakukan atas dasar kesadaran pada ajaran Tuhan. Tindakan saleh (sering disebut dalam kosa kata ”amal saleh”) merupakan implementasi keberimanan, pernyataan atau produk dari iman (percaya kepada Tuhan) seseorang yang dilakukan secara sadar.

Cermin kesalehan yang merepresentasikan santri tidak bisa dipungkiri, karena bekal pengetahuan agama yang mumpuni semakin memberikan nilai tambah bagi kelompok muslim tradisional ini. Tidak heran bila pesantren identik dengan santri, karena berdirinya lembaga pendidikan Islam tradisional ini berkaitan langsung dengan tujuan awal yang hendak mencetak kader-kader ulama potensial bagi perkembangan dan kemajuan peradaban Islam. Tanpa adanya santri, sebuah lembaga pendidikan tidak bisa disebut pesantren. Keberadaan santri menjadi modal sosial bagi masyarakat yang berada di lingkungan pesantren, yang diharapkan menjadi penerus estafet syiar Islam. Sebagai penerus syiar Islam, santri sudah barang tentu menguasai berbagai disiplin ilmu agama yang menjadi kajian spesifik dalam dunia pesantren, semisal ilmu falak, faraidh, gramatika bahasa Arab (nahwu, sharraf, balaghah), mantiq, ulumul qur’an, tafsir, hadits, dan lain sebagainya.

Meskipun sebutan santri tidak terbatas pada kalangan yang belajar di sebuah pondok, namun tetap saja istilah ini melekat dalam dinamika kultur masyarakat Islam tradisional seperti pesantren. Maka, sebutan santri hanya bisa dipakai bagi kader-kader muda Islam yang belajar ilmu agama di pesantren. Sebutan santri memang mencerminkan penguasaan terhadap kitab-kitab Islam klasik, karena sebagian besar pelajaran yang diterima menekankan pada bimbingan khusus untuk mendidik para santri agar bisa membaca kitab kuning dengan lancar. Namun, tidak semua santri yang pernah menimba ilmu di pesantren bisa menguasai semua kitab-kitab Islam. Barangkali hanya santri yang memiliki ketekunan dan tarekat saja yang bisa alim dalam memahami ajaran agama secara keseluruhan. Tidak heran bila kitab kuning identik dengan santri yang merupakan kitab klasik yang ditulis berabad-abad lalu dan menjadi salah satu tradisi agung (great tradition) di Indonesia.

Bila merujuk pada istilah Clifford Geertz, sebutan santri ternyata mempunyai dualisme pengertian dalam arti luas dan sempit. Dalam arti luas, santri adalah orang yang memeluk Islam secara tulen, bersembah yang, pergi ke masjid pada hari jum’at dan sebagainya. Sementara dalam arti sempit, santri adalah seorang murid satu sekolah agama yang belajar di pondok pesantren. Di pesantren inilah seorang santri membekali diri dengan beragam pengetahuan agama dari seorang kiai yang tidak hanya menjadi pemimpin umat di kalangan intern sendiri, melainkan juga bagi masyarakat Islam secara lebih luas.

Katagori Islam santri yang dimaksud Clifford Geertz memang mencakup pengertian yang lebih luas, karena tidak secara langsung diidentikkan dengan sebutan santri yang belajar di pesantren. Sementara dalam pengertian saya, santri adalah identik dengan pesantren yang tetap menunjung tinggi nilai-nilai dan tradisi keberagamaan yang kuat. Meski demikian, santri adalah tetap identik dengan seseorang yang mapan dalam ilmu agama walaupun tidak pernah belajar di pesantren, tetapi memenuhi kriteria sebagai kelompok masyarakat muslim yang taat menjalankan perintah agama. Meski demikian, peran kiai dan atau pemimpin umat memegang peranan penting dalam hal pembaruan pendidikan Islam, yang sekaligus merupakan sikap resistensinya (perlawanan terselubung) terhadap pemerintah imperialis Belanda dan Jepang. Kepercayaan santri dan masyarakat terhadap kiai menyebabkan posisi kiai sangat dihormati oleh masyarakat melebihi penghormatan mereka terhadap pejabat setempat.

Di Madura, santri adalah bagian terpenting dari pesantren yang mencakup sekelompok generasi muslim yang berupa belajar ilmu agama dengan konsisten. Bila pesantren selalu identik dengan lembaga pendidikan Islam tradisional, maka pada perkembangan selanjutnya pesantren sudah mulai mengalami perubahan dari berbagai aspek yang melatarbelakanginya, termasuk sistem pendidikan yang dijalankan. Sampai kapan pun, kelompok santri dalam varian muslim tidak bisa dilepaskan dari lembaga pendidikan Islam tradisional seperti pesantren. Buktinya, Belanda mulai melirik pesantren sebagai budaya asli Indonesia yang berasal dari akar rumput, terutama dari kalangan Islam tradisionalis.
Sampai kapan pun, kelompok santri dianggap sebagai generasi emas dari sebuah lembaga pendidikan Islam di Indonesia. Kendati dianggap statis dalam penerapan sistem pendidikan, santri dan pesantren tetap menjadi simbol bagi kekuatan budaya bangsa yang mengisyaratkan perkembangan dakwak Islam secara total. Snouck Hurgronje menunjukkan betapa Islam tradisional di Jawa begitu sangat kuat mempengaruhi pikiran masyarakat sehingga memiliki vitalitas dalam mempertahakan kekuatan sosial, kultural, dan keagamaan. Ia melihat bahwa Islam tradisional di Jawa yang kelihatannya begitu statis dan terbelenggu oleh pikiran-pikiran para ulama pada abad pertengahan, sebenarnya telah mengalami perubahan yang sangat fundamental melalui tahapan-tahapan penting yang tersembunyi di dalamnya.  

Islam Abangan: Representasi Muslim Sinkretis dan Magis
Katagori Islam Nusantara yang terbilang unik juga adalah istilah Islam Abangan yang menjadi varian muslim di Indonesia. Katagorisasi Islam Abangan yang dikemukakan Geertz sebagai bagian dari perilaku pola keagamaan pada masyarakat muslim Jawa, sesungguhnya kurang tepat karena abangan dan santri memiliki kedekatan emosional sebagai muslim tradisional yang mayoritas hidup di pedesaan. Sebagai bagian dari muslim Jawa, Abangan ditempatkan oleh Geertz menjadi kelompok masyarakat yang kurang memiliki pengetahuan tentang ajaran agama, bahkan bisa dianggap sebagai muslim awam yang berasal dari desa.

Kelompok keagamaan dalam tradisi masyarakat Jawa termasuk Islam Abangan merupakan representasi dari kecenderungan perilaku masyarakat yang mengaku sebagai muslim, tetapi tidak konsisten dalam menjalankan perintah agama. Ketidakkonsistenan menjalankan perintah agama bukan karena tidak paham tentang agamanya, melainkan lebih karena mereka masih percaya dengan tradisi-tradisi lokal yang sudah berkembang sejak lama. Islam Abangan memang tidak secara terang-terangan menyatakan dirinya sebagai muslim, karena mereka memang Islam berdasarkan faktor keturunan yang mempengaruhi proses awal penyebaran agama Islam ketika dibawa oleh Wali Songo.

Perilaku muslim Abangan bisa merepresentasikan sebagai kelompok tani yang kurang memerhatikan doktrin Islam secara mapan dan lebih mengedepankan kepercayaan-kepercayaan lokal berupa klenik yang berbau mistis sehingga memberikan kesan sebagai kelompok masyarakat yang kurang taat. Kawasan pedesaan dan masyarakat miskin yang berasal dari kaum petani merupakan peta wilayah Islam Abangan yang memiliki tradisi kehidupan dan kepercayaan yang cenderung sinkretis dan magis yang dipandang sebagai ancaman masa depan purifikasi Islam di Nusantara. Perilaku keagamaan muslim Abangan juga tidak lepas dari pengaruh animisme dan dinamisme (Hindu-Budha) dari nenek moyang sejak dulu.

Kepercayaan kuat Islam Abangan akan sinkretisme makin mempersulit gerakan fundamentalisme atau pemurnian Islam di kalangan masyarakat muslim yang mengusung pembaharuan (modernisasi) untuk menghilangkan kepercayaan yang berbau tahayyul dan khurafat-sehingga apa yang dianasir Abdul Munir Mulkhan tentang pudarnya fundamentalisme di pedesaan tampak nyata dalam dinamika keagamaan kaum Abangan. Apalagi kepercayaan yang tumbuh dari kehidupan petani di pedesaan muncul dalam polarisasi yang selalu berubah, baik dalam pola gerakan atau pun perilaku masyarakatnya. Polarisasi demikian akan tampak pada berada dalam garis fundamentalisme dalam pemurnian Islam dan toleransi yang lebih besar terhadap realitas kehidupan keagamaan petani yang cenderung sinkretik.    

Tampaknya apa yang sinyalir Abdul Munir Mulkhan tentang pudarnya fundamentalisme di pedesaan bisa dikatakan sebagai sesuatu yang mungkin saja terjadi. Ini karena, kepercayaan sinkretisme begitu mengakar kuat dalam kehidupan keagamaan kaum Abangan sehingga sulit untuk menghapus kepercayaan tersebut. Kepercayaan terhadap mekanisme alam yang di luar kemampuan kontrol dan kendali petani, membuat sinkretisme tumbuh subur di pedesaan dan kurang begitu berkembang di dalam masyarakat yang hidup dari mekanisme pasar. Bahkan, sinkretisme hampir mustahil dihilangkan dari praktik keagamaan muslim Abangan karena faham ini begitu inheren dalam kultur masyarakat yang tradisional dan kolot.

Dari perspektif ini, kaum tani sulit menghilangkan dan meninggalkan sinkretisme, kecuali oleh kekuatan lebih besar yang bisa membebaskan ketergantungan atas alam. Pada saat yang lain, Islam murni tidak mampu memberi pedoman secara rinci bagaimana kaum petani bisa membebaskan diri dari ancaman alam, kecuali dengan menghubungkan setiap peristiwa dengan peran Tuhan yang misterius. Ini karena Islam murni yang abstrak jauh dari dunia pertanian yang tidak berhubungan dengan masalah objektif dari kehidupan petani, sementara sinkretisme memberi cukup informasi bagaimana menjalin hubungan dengan kekuatan supernatural berupa roh gaib atau Tuhan sekalipun.

Meskipun kaum Abangan disebut sebagai kelompok muslim, namun tingkat pemahaman keagamaan mereka jauh dari kepercayaan terhadap syariat. Hal ini berarti bahwa ada hubungan antara kepercayaan seseorang dengan dinamika sosial mereka hidup. Kepercayaan syariat adalah bagian dari proyeksi manusiawi mengenai kepentingan kehidupan ideal yang ingin dicapai dan secara idealektik berhubungan dengan dinamika kehidupan sosial penganutnya, termasuk kepercayaan kaum Abangan terhadap sinkretisme. Kepercayaan sinkretis yang tampak dalam perilaku keagamaan kaum Abangan merupakan unsur pokok agama sebagai proyeksi manusiawi yang lahir dari alam dan hubungan sosial. Tidak heran bila kehidupan sosial yang tumbuh dari mekanisme pertanian dan terikat dengan alam, menjadikan proyeksi duniawi ini selalu terarah pada kekuatan yang mempengaruhi alam secara magis.

Menurut Abdul Munir Mulkhan, kepercayaan magis tampak memainkan peranan penting dalam kehidupan petani sebagai representasi kaum Abangan, meskipun juga dasar kepercayaan Islam murni mendorong adanya rasionalisasi hubungan petani dan alam. Kepercayaan terhadap sinkretisme secara tidak langsung telah mempengaruhi pola kehidupan keagamaan kaum Abangan sehingga mereka meyakini bahwa kekuatan magis atau hal-hal yang menyangkut mistis bisa merubah nasib dan takdir mereka sendiri. Pola kehidupan keagamaan semacam ini tidak bisa dipungkiri telah menjadikan kaum Abangan sebagai tipikal kultur masyarakat yang jauh dari agama yang ketat.

Bagi Geertz, fenomena perilaku keagamaan kaum petani yang merepresentasikan muslim Abangan tidak bisa lepas dari pengaruh kebudayaan lokal yang sudah berkembang sejak lama, terutama kepercayaan terhadap animisme dan dinamisme. Bagi kalangan Abangan, kepercayaan terhadap doktrin agama tidak terlalu penting, bahkan mereka terkesan acuh tak acuh. Hal ini juga banyak dilatarbelakangi oleh pesona ritual yang inhern terutama pada saat melaksanakan slamaten. Perayaan slametan bagi kaum Abangan tak ubahnya seperti kewajiban dan tidak bisa ditinggalkan begitu saja, semisal slametan “bersih desa” atau kepercayaan lain yang mengundang roh-roh atau hal-hal ghaib dalam pola kehidupan mereka.

Ritual slamaten dalam kehidupan kaum Abangan begitu tampak ketika mengadakan upacara-upacara keagamaan untuk memperoleh keberkatan. Meskipun perayaan ritual bercorak keagamaan, namun tidak bisa lepas dari tradisi kebudayaan lokal yang dikorelasikan dengan pengetahuan filosofi masyarakat setempat. Tidak heran ritual keagamaan dalam konteks sosial dan kebudayaan Jawa, misalnya, sering disebut dengan slametan (salvation), yang mengharapkan keselamatan dan semakin kuatnya kebersamaan serta kesetiakawanan antar sesama masyarakat. Kehadiran konsep slametan bukan berarti sebagai pameran atau pertunjukan dan bukan juga berarti “menyenikan” ritual agama, melainkan merupakan suatu pengalaman yang harmonis antara Allah dan manusia (hablum min-allah), manusia dan alam semesta (hablum min-alam), dan manusia dengan sesama (hablum min-naas).

Meski demikian, kaum Abangan kurang memerhatikan hal-hal yang bernilai syar’i dan berkaitan dengan ajaran doktrin agama ketika melaksanakan ritual atau slamaten dalam pola kehidupan keagamaan mereka. Kepercayaan kaum Abangan yang kolot menyebabkan kelompok masyarakat ini tidak bisa meninggalkan sinkretisme dalam kehidupan mereka. Bahkan kehidupan mereka sudah mendarah daging sebagai tipologi Islam sinkretik yang menjadikan percampurnaan ritual dalam nilai Jawa (pengaruh Hindu-Budha) dengan Islam murni. Apalagi menurut Geertz, posisi Islam murni tampak lemah ketika berhadapan dengan Islam sinkretik yang dalam penelitian ini menjadi petunjuk semakin meluasnya toleransi pemurnian Islam atas Islam sinkretik sebagai representasi kebudayaan lokal.

Di situlah kaum Abangan tetap berkibar dengan sinkretiknya walaupun mereka menyadari bahwa kepercayaan itu bertentangan dengan ajaran Islam murni. Kalaupun kaum Abangan yang merepresentasikan petani menerima Islam murni, hal itu disebabkan oleh diubahnya pola keagamaan gerakan ini oleh elite lokal sehingga lebih sesuai dengan petani yang sinkretik. Dari sini, tipologi hubungan Islam dan budaya lokal dalam proses penyebaran Islam ke Nusantara dapat dijadikan model perluasan Islam murni ke pedesaan yang membentuk empat formasi sosial sepanjang kontinum dua kutub Islam murni dan Islam sinkretik, yaitu Islamisasi, pribumisasi, negosiasi, dan konflik atau koeksistensi.

Varian Abangan sebagai bagian dari kelompok keagamaan dalam masyarakat Jawa tentu saja semakin menarik untuk diteliti. Apalagi ketergantungan masyarakat pedesaan terhadap usaha tani menjadikan masyarakat ini merupakan pengemban dan pelestari sinkretisme paling konsisten lebih dari masyarakat perkotaan yang bukan petani. Karena itu, mungkin akan muncul dua varian pola keagamaan yaitu fundamentalis atau puritan dan perpaduan Islam murni di satu pihak dan Islam sinkretik di pihak lain. Bagi Mensching, ketergantungan petani atas sinkretisme menyebabkan mereka tidak mungkin berhubungan dengan Islam murni kecuali diinovasi (bid’ah) dalam bentuk sinkretisasi Islam murni dan tradisi keagamaan petani yang bersifat magis.

Terlepas dari kepercayaan-kepercayaan sinkretis yang melekat dalam perilaku keagamaan kaum Abangan, ternyata kelompok masyarakat yang disebut oleh Clifford Geertz sebagai ”abangan” secara moral-psikis juga menjadi makmum terhadap ketokohan kiai. Maklum saja, kaum Abangan mayoritas hidup di pedesaan yang bekerja sebagai petani dalam kehidupan sehari-hari sehingga tidak bisa lepas dari sentuhan dan arahan kiai. Meskipun kaum Abangan tidak begitu gencar membantu kiai dalam melawan pemerintahan kolonial, keberadaan Abangan tetap dianggap sebagai penganut Islam yang mempertahankan tradisi lokal. Di tengah-tengah kehidupan kaum Abangan, kiai begitu mudah memobilisasi massa, kemudian menempati baris terdepan dalam mengadakan perlawanan terhadap pemerintah kolonial Belanda dan Jepang maupun raja-raja tiran (antek-antek kaum imperialis). Bahkan, Sartono Kartodirjo mengemukakan bahwa sejak kolonialisme datang ke Indonesia hingga masa imperialisme, peran efektif kiai begitu dominan dalam menanamkan sikap permusuhan dan agresif terhadap orang asing dan pribumi yang menjadi birokrat kolonial.

Perilaku kehidupan kaum Abangan yang kurang taat terhadap doktrin dan ajaran agama, tidak lantas membuat figur kiai gerah dengan kepercayaan sinkretik yang mereka anut selama ini. Figur kiai sangat memaklumi karena Islam hadir di tengah kehidupan masyarakat yang sudah memiliki kepercayaan terhadap animisme dan dinamisme maupun Hindu-Budha. Dalam situasi keagamaan yang cepat berkembang, pesantren yang menjadi elan vital bagi kiai untuk memperjuangkan penyebaran dakwah Islam, juga sering menuai stigma negatif maupun persepsi miring yang dianggap sebagai bagian kaum Abangan karena masih dalam katagori konservatif atau kolot. Sebutan orang-orang pesantren sebagai orang Islam “kolot” tak pelak menjadi santapan ringan yang selalu menghiasi dinamika perkembangan lembaga pendidikan Islam ini.

Geertz berpendapat bahwa salah satu sifat kekolotan itu ialah penerimaan mereka terhadap elemen-elemen sinkretis yang bertentangan dengan ajaran Islam. Akan tetapi lucunya identifikasi tentang Islam kolot sama dengan apa yang Geertz simpulkan tentang ciri khas Abangan yang merupakan campuran darpada kehidupan keagamaan yang bersifat animistis, Hindu-Budha, dan Islam. Kita dapat membaca kesimpangsiuran tersebut dalam analisis Alan Samson yang menggambarkan wajah Islam kolot di Jawa sebagai penganut suatu sistem keagamaan yang berdasarkan campuran antara elemen-elemen animisme, Hindu-Budha, dan Islam, sama dengan wajah keagamaan orang Abangan. Sangat jelas bahwa Alan Samson hanya sekadar menegaskan kesimpangsiuran Geertz tentang sifat-sifat abangan dan Islam kolot.

Dalam penelitian lainnya, Geertz mencoba membandingkan bagaimana perkembangan Islam di Jawa dan di Maroko. Geertz mengatakan bahwa Islam yang masuk ke Indonesia secara sistematis berkembang terjadi pada abad ke-14, berbarengan dengan suatu kebudayaan besar yang telah menciptakan suatu sistem politik, nilai-nilai estetika, dan kehidupan sosial keagamaan yang sangat maju, yang dikembangkan langsung oleh kerajaan Hindu-Budha di Jawa, yang dianggap mampu menanamkan akar kebudayaan dalam kehidupan masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Bahkan, bila dibandingkan dengan Islam di India, Islam di Indonesia, menurut Geertz, demikian sangat lemah, tak berakar dan bersifat sementara, sinkretis, dan berwajak plural.  

Islam Priyayi: Representasi Muslim Aristokrasi
Varian terakhir dari tipologi muslim Jawa adalah kalangan Priyayi yang oleh Geertz diasumsikan sebagai kaum elite atau golongan bangsawan yang menduduki posisi penting di pemerintahan. Golongan Priyayi awalnya hanya diistilahkan bagi kalangan aristokrasi turun temurun yang oleh Belanda diambil dengan mudah dari raja-raja Jawa yang ditaklukkan untuk kemudian diangkat sebagai pejabat sipil yang digaji. Elite pegawai ini, yang ujung akar-akarnya terletak pada kraton Hindu-Jawa sebelum masa kolonial, memelihara dan mengembangkan etiket kraton yang sangat halus, kesenian yang sangat komleks dalam tarian, sandiwara, musik, sastra, dan mistisme Hindu-Budha.

Sebagai bagian dari tipologi keagamaan dalam masyarakat Jawa, kaum Priyayi tentu saja sangat dipengaruhi oleh kehidupan aristokrasi pada masa kolonial. Sementara titik utama orientasi kehidupan keagamaan kaum Priyayi adalah etiket seni dan praktik mistis yang bercorak Hinduisme. Tidak heran bila mereka tidak menekankan pada elemen animistis dari sinkretisme Jawa yang serba melingkupi seperti kaum Abangan, tidak pula menekankan pada elemen Islam sebagaimana kaum Santri, tetapi menitikberatkan pada elemen Hinduisme. Corak yang demikian tidak bisa dilepaskan dari pola kehidupan kaum Priyayi, yang secara langsung berafisiliasi dengan struktur sosial yang termasuk golongan pegawai birokrasi.

Pengaruh kultur keraton juga sangat kuat seiring dengan berbaurnya kelompok ini dengan raja-raja pribumi yang waktu itu dibayang-bayangi oleh penjajahan Belanda. Varian ini menunjuk pada elemen Hinduisme lanjutan dari tradisi Keraton Hindu-Jawa yang menguasasi pemerintahan. Sebagaimana halnya keraton (simbol pemerintahan birokratis), maka priyayi lebih menekankan pada kekuatan sopan santun yang halus, seni tinggi, dan mistisisme intuitif dan potensi sosialnya yang memenuhi kebutuhan kolonial Belanda untuk mengisi birokrasi pemerintahannya. Secara tidak langsung kaum Priyayi telah berafiliasi dengan kolonial Belanda, karena mereka banyak menduduki posisi strategis untuk membantu misi penjajahan.

Situasi ini membuat mengakibatkan kultur kraton yang tradisional makin diperlemah oleh kolonial, karena kaum Priyayi dicomot dari kerajaan pribumi yang dipekerjakan sebagai instrumen adimistrasi kekuasaan kolonial. Meski demikian, varian Priyayi tidak saja tetap kuat bertahan di kalangan anasir masyarakat yang lebih konservatif, tetapi juga memainkan peranan penting dalam membentuk pandangan dunia (world view), etika dan tingkah laku sosial anasir yang bahkan paling diperbarat dalam kelompok pegawai yang masih dominan itu. Tidak heran bila sikap sopan santun yang halus, seni tinggi, dan mistisme intuitif masih dianggap sebagai karakteristik utama elite jawa ini. Dan sekalipun sudah makin memudar dan mengalami adaptasi dengan keadaan yang sudah berubah, gaya hidup (life style) Priyayi masih tetap jadi model tidak saja untuk kalangan elite, tapi dengan berbagai jalan juga menjadi model bagi seluruh masyarakat.

Terkait dengan kepercayaan agama di kalangan Priyayi, sesungguhnya cukup beragam sesuai dengan suatu tradisi yang mewarnai varian dari sistem agama orang Jawa ini. Pertama, ada priyayi yang secara aktif melibatkan diri dalam agama Islam, yang biasa disebut dengan priyayi santri. Biasanya mereka terdiri dari atas orang-orang lanjut usia dan ketaatan mereka terhadap agama dapat diungkapkan dalam mistik atau dengan jalan menekuni tulisan-tulisan tentang Islam. Kedua, ada priyayi yang tidak begitu menghiraukan Islam, yang biasa disebut dengan priyayi abangan. Sebagian dari mereka bahkan sama sekali tidak mempedulikan agama, mereka mungkin atheis atau agnostik meskipun tidak banyak golongan yang seperti itu. Sebaliknya, ada priyayi yang disebut abangan, akan tetapi sebenarnya mereka bukanlah orang-orang yang tidak beragama. Mereka mungkin saja memeluk agama leluhur mereka yang sangat kental dengan nilai-nilai mistis.

Terlepas dari orientasi keagamaan kaum Priyayi, varian ini juga turut membantu mengusir penjajahan dengan memberikan kesempatan kepada kaum santri untuk terlibat langsung dalam berbagai gerilya. Penyebaran Islam di Jawa bukan hanya dibantu oleh para ulama dan santri yang bermukim di pesantren, melainkan juga oleh kerajaan-kerajaan Islam yang turut serta dalam melancarkan proses islamisasi. Memang harus diakui pada masa penjajahan Belanda, proses Islamisasi tidak berjalan mudah karena selalu mendapatkan pertentangan dan hambatan langsung dari pemerintahan kolonial Belanda sehingga proses pemantapan keislaman agar menjadi muslim yang taat sedikit mengalami jalan terjal.

Sementara kalangan bangsawan dan kaum priyayi tidak banyak melakukan tindakan untuk membantu proses pemantapan ketaatan masyarakat kepada ajaran Islam, karena di samping menghadapi pembatasan, mereka juga mendapatkan ancaman dari kekuasaan Belanda yang dikenal sangat kejam terhadap kalangan rakyat jelata.

Sebagai bagian dari tipologi masyarakat Jawa, keengganan kaum priyayi untuk melakukan pemantapan keimanan terhadap ajaran Islam patut dipertanyakan, karena mereka juga merupakan kalangan Islam modern yang memiliki kedekatan dengan kekuasaan. Sejauh Islam dianggap antikolonial, kaum priyayi lebih cenderung untuk mengembangkan pola kehidupan keagamaan yang lebih bersifat kejawen daripada memilih menjadi santri.

Ketakutan Belanda kepada orang-orang yang cenderung condong kepada Islam mempengaruhi struktur dan kesempatan dalam administrasi kepegawaian pribumi. Semisal pada waktu seorang patih yang dilaporkan menghina Islam oleh Belanda kemudian dinaikkan pangkatnya menjadi bupati, maka hal ini menjadi pelajaran yang jelas bagi teman-temannya.

Penulis adalah dosen Fakultas Ushuluddin Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (INTIKA) Guluk-Guluk, Sumenep Madura dan finalis kompetisi penulisan esai International Summit of Moderate Islamic Leaders (Isomil) PBNU