Opini

Konsep Psikologi Imam Al-Ghazali

Ahad, 17 September 2017 | 21:01 WIB

Oleh Muhammad Afiq Zahara

Sigmund Freud (1856-1939 M) berpendapat bahwa watak dasar manusia (human disposition/human nature) adalah jahat (evil), ia menggambarkannya dengan istilah homo homini lupus (manusia adalah serigala bagi manusia lainnya). Di sisi lain, B.F. Skinner (1904-1990 M), seorang behaviorist Amerika, berpandangan bahwa manusia tidak mempunyai watak dasar (man has no nature). Sementara Carl Rogers (1902-1987 M) dengan pendekatan humanistiknya menganggap manusia baik secara dasarnya (man is good by nature).

Dari semua pandangan itu, saya paling tertarik dengan al-Ghazali (1058-1111 M), yang mengatakan bahwa manusia by nature adalah spiritual goodnes (suci, fitrah). Konsep sentralnya, manusia memiliki dua watak dasar (dual nature), baik dan buruk. Yang menentukan manusia baik atau tidak adalah keadaan spiritualnya. Bukan bergantung pada aspek biological determinism seperti pendapat Freud; environmental (lingkungan, eksternal) seperti pandangan Skinner; dan diri sendiri (internal, self) seperti anggapan Rogers. (Lih. Abbas Hussein Ali, The Nature of Human Disposition, dalam jurnal Intellectual Discourse, 1995, vol III).

Ada berbagai macam determinisme, saya akan menyebutkan dua saja;pertama adalah environmental determinism (determinisme lingkungan) yang memandang sumbernya berasal dari outside (luar individu), misalnya anak dengan orangtua yang kasar akan berubah menjadi orangtua yang kasar pula melalui observasi dan imitasi (Alfred Bandura, dkk,Transmission Of Aggression Through The Imitation Of Aggressive Modelsdalam Journal Of Abnormal And Social Psychology, vol 63, 1961). 

Kedua, biological determinism (determinisme biologis), yang berpandangan bahwa sumber determinisme berasal dari dalam, berbentuk motivasi tidak sadar, bersifat genetik dan biologis (M.J. Chorney, dkk,. A Quantitative Trait Locus Associated with Cognitive Ability in Childrendalam Psychological Science, vol 9,1998).

Berbeda dengan semua pendapat di atas, al-Ghazali mememandang disposisi manusia (human nature) sebagai sesuatu yang suci, kosong dan murni, dalam bahasa Arab disebut fitrah.Seperti tokoh imajinatifnya Ibnu Thufail (1105-1185 M), Hayy bin Yaqdzan, yang hidup tanpa manusia lainnya, ia berkembang menjadi manusia dengan mempelajari gerak alam di sekitarnya.

Tentu saja, al-Ghazali tidak menafikan peran lingkungan terhadap perkembangan kejiwaan seseorang. Perbedaannya, ia tidak memanggapnya sebagai deterministik mutlak.Contohnya anak kecil, menurut al-Ghazali, hati anak kecil itu bersih (al-thâhir) dan kosong dari segala inskripsi dan gambaran (khâliyah ‘an kulli naqsy wa shûrah). Kekosongan itu dapat diisi dengan berbagai inskripsi yang diberikan dan dapat diarahkan menuju kecenderungan tertentu (Abu Hâmid al-Ghazali, Ihyâ ‘Ulûm al-Dîn, juz 3, hlm 78).

Meski demikian, al-Ghazali menambahkan, bahwa anak-anak,secara alami, memiliki kecenderungan egosentris. Landasan logisnya adalah, keinginan anak jarang sekali menyertakan konsekuensi potensial bagi orang lain (ingin menang sendiri). Ia juga meyakini bahwa ketakutan adalah kondisi terpelajar, keadaan yang didapat karena mengalami, bukan watak bawaan manusia.

Konsekuensi logis dari pandangan yang menyatakan bahwa disposisi manusia itu fitrah—sesuai dengan hadits Nabi Saw—menjadikan pendidikan usia dini memegang peranan penting.Tujuannya untuk mencegah kefitrahan itu dimasuki hal-hal negatif. Atas dasar inilah Islam menghendaki umatnya membangun masyarakat beradab dan berbudaya melalui pendidikan intensif yang menggarap dua wilayah sekaligus, spiritual dan fisik (jiwa dan raga).

A-Ghazali menekankan pentingnya orangtua untuk mendidik anak mereka, bukan mendiktenya, terutama dalam pendidikan moral. Al-Ghazali menyarankan para orangtua harus berusaha sehalus mungkin menerapkan hukuman psikologis dan menjauhi hukuman fisik. Alasannya, agar menimbulkan perasaan sesal dan bersalah daripada ketakutan dan kemarahan.

Al-Ghazali membagi penyakit manusia ke dalam dua kategori, penyakit fisik dan penyakit spiritual. Dalam pandangannya, penyakit spiritual jauh lebih berbahaya dibandingkan penyakit fisik, karena menghasilkan kebodohan dan deviasi dari Tuhan, semacam penyakit kecanduan dihormati, hasrat kaya yang berlebih, hasud, iri hati, takabbur, sombong, munafik, ujub, dengki dan seterusnya.

Metode terapi penyembuhan yang digunakan al-Ghazali, untuk penyakit spiritual tersebut, adalah metode ‘berlawanan’ (opposite), misalnya menyembuhkan kebodohan dengan belajar; menyembuhkan benci dengan cinta; menyembuhkan takabbur dengan rendah hati. Metode penyembuhan tersebut bersifat aplikatif, dengan kontemplasi ketat terhadap diri sendiri sebagaimana yang dilakukan al-Ghazali ketika menghilang bertahun-tahun untuk menemukan terapi paling tepat mengatasi penyakit hatinya.

Dalam studi kejiwaan, al-Ghazali memperkenalkan pendekatan excercise of soul (pelatihan jiwa), disiplin moral, dan penyembuhan perilaku buruk. Teorinya ini bisa dikatakan tidak meniru filosof sebelumnya. Ia memperkenalkan cara efektif baru untuk memodifikasi perilaku manusia dan memperbaiki kecacatannya. Ia merancang pendekatan ini karena mengendalikan jiwa bukan perkara mudah. 

Ia sering mengeluh: “Never have I dealt with anything more difficult than my own soul, which sometimes helps me and sometimes opposes me—aku tidak pernah berurusan dengan sesuatu yang lebih sulit dari jiwaku sendiri, terkadang ia membantuku dan di lain waktu ia menentangku.”

Al-Ghazali juga orang pertama yang membedakan eksternal sense (panca indera luar) dan internal sense (panca indera dalam). Panca indera luar adalah hidung, mata, telinga, lidah dan kulit. Sedangkan panca indera dalam adalah hiss musytharik (akal sehat, common sense), takhayyul (imajinasi), tafakkur (refleksi), tadzakkur (ingatan), dan hâfidz (memori). Inner sense, menurutnya, berfungsi untuk membantu seseorang mempelajari pengalaman masa lalu dan memproyeksikannya di situasi yang akan datang. 

Dalam ruang terbatas ini, tidak cukup menguraikan teori psikologi al-Ghazali secara komprehensif dan terperinci. Apalagi pandangan-pandangan beliau tentang jiwa masih tersebar di berbagai buku-bukunya,tidak seperti psikolog modern yang menyusun buku khusus tentang teori psikologinya. 

Diperlukan ekstraksi kritis dan teliti dari karya-karyanya untuk mendapatkan hasil maksimal. Memang, telah ada beberapa buku yang ditulis dengan sangat baik tentang tema ini. Misalnya buku Al-Ghazali’s Unspeakable Doctrine of The Soul: Unveiling The Esoteric Psychology and Eschatology of The Ihya tulisan Dr. Timothy J. Gianotti.

Karena itu, kita perlu melakukan kajian komprehensif terhadap karya-karya al-Ghazali, dari berbagai pendekatan dan sudut pandang. Di dalamnya masih banyak mutiara terpendam. Kita juga perlu melakukan tarik mundur, artinya membaca metodelogi yang digunakan al-Ghazali dan mengalisa proses kreatifnya untuk menambah kekayaan tradisi kita.

Dilingkaran akademisi Barat, al-Ghazali telah dianggap sebagai psikolog. Dalam The Oxford Handbook of the History of Psychology dan A History of Psychology: The Emergence of Science and Applications, nama al-Ghazali disebut sebagai psikolog yang memberi pengaruh terhadap perkembangan psikologi. 

Salah satu teorinya yang disebut di buku tersebut adalah, bahwa jiwa memiliki motivasi gerak dan sensor untuk memenuhi kebutuhan tubuh kasarnya (David B. Baker. The Oxford Handbook of the History of Psychology. 2012. hlm 444).

Tulisan ini masih jauh dari lengkap. Istilah ‘tidak lengkap’ pun belum cukup mewakili ketidak-lengkapannya. Sebagai tambahan, untuk sedikit menutupi ketidak-lengkapan pembahsan ini, Leleh Bakhtiar mengatakan: “(Psikologi al-Ghazali) adalah sebuah filsafat holistik kehidupan yang mengkombinasikan unsur realitas spiritual/mistis dengan observasi saintifik.” Wallahu a’lam.

Penulis adalah Alumnus Pondok Pesantren al-Islah, Kaliketing, Doro, Pekalongan dan Pondok Pesantren Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen.