Opini

Lembaga Perguruan Tinggi Nahdlatul Ulama 4.0

Ahad, 17 Februari 2019 | 22:30 WIB

Lembaga Perguruan Tinggi Nahdlatul Ulama 4.0

Rakornas LPTNU di Bandung 2019

Oleh Alfin Mustikawan

A new chapter begins (Kasali, 2017) begitulah peringatan yang pernah disampaikan Steve Jobs kepada kita semua seperti yang dicuplik oleh Rhenald Kasali dalam bukunya Distruption. Sebuah era baru yang benar-benar baru telah dimulai, dimana perubahan terjadi begitu cepat, melejit tanpa sekat. Anomali seakan tidak mampu diprediksi lagi, jikalau dulu dinamika berjalan dengan linear dan teratur akan tetapi saat ini  dinamika telah berjalan dengan begitu kompleks. 

Digitalisasi terjadi dalam segala aspek terjadi disekitar kita, bahkan terdapat pergeseran kebutuhan dasar manusia zaman now yaitu dari kebutuhan fisik ke kebutuhan komunikasi, sehingga batrei dan kuota internet menjadi sebuah kebutuhan dasar baru dalam era distrupsi teknologi atau revolusi industri 4.0 seperti yang terjadi saat ini.

Perubahan zaman yang sedemikian itu tentu membawa dampak yang signifikan pada segala aspek kehidupan, termasuk pada Lembaga Perguruan Tinggi Nahdlatul Ulama (LPTNU). Peter Drucker (1997) pernah meramalkan universitas akan mengalami krisis yang mendalam dan tidak bisa bertahan lagi karena tidak mampu memenuhi harapan penggunanya. Sebuah ramalan yang bisa dibilang terlalu berlebihan, namun apabila dipikir secara jernih dan mendalam ramalan tersebut tentu ada benarnya bila kita melihat kondisi perguruan tinggi kita terutama LPTNU di Indonesia dewasa ini.

LPTNU di Indonesia saat ini berjumlah lebih dari 200 perguruan tinggi. Namun, dari sekian banyak LPTNU tersebut, masih belum ada satupun LPTNU yang memiliki akreditasi A atau unggul dari Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Tinggi (BAN-PT) dan yang ada masih dalam kategori akreditasi B dan C serta masih banyak pula yang belum terakreditasi. Capaian akreditasi tersebut merupakan parameter umum yang menggambarkan mutu LPTNU.

Untuk mendapatkan Akreditasi unggul tersebut, diperlukan kerja keras dan konsistensi tinggi dalam melaksanakan sistem manajemen yang memenuhi standar yang telah ditetapkan oleh perundangan yang berlaku, dan tentu juga harus menjauhkan diri dari pola pikir pragmatis yang simsalabim satu malam langsung jadi. Implementasi sistem penjaminan mutu internal (SPMI) yang sungguh-sungguh merupakan harga yang harus dibayar oleh setiap PT untuk bisa mendapatkan pengakuan dari sistem penjaminan mutu eksternal (SPME) atau Akreditasi yang unggul. Akreditasi PT harus dimaknai seperti wajah berseri-seri dan bersinar secara alami akibat selalu terkena air wudhu, dan bukan seperti wajah polesan make up yang tebal. SPMI merupakan wudhu dalam penjaminan mutu di LPTNU sebagai prasyarat tercapainya mutu pendidikan yang mampu menjawab kebutuhan zaman dengan melahirkan lulusan dengan kualitas unggul di era revolusi industri 4.0.

Pendidikan Tinggi 4.0
LPTNU sebagai lembaga pendidikan tinggi yang memiliki platform Ahlusunnah wal Jamaah an-nahdliyah memiliki  peran yang tidak ringan dan sangat strategis dalam melahirkan lulusan yang memiliki keunggulan dalam aspek ilmu dan agama serta mampu berperan aktif dalam situasi dan kondisi terkini. Dengan asumsi yang terbangun di atas, menjadi sebuah keniscayaan LPTNU harus berbenah secepatnya dalam beberapa aspek.

Pertama, penguatan kelembagaan, karena hal  tersebut merupakan aspek yang fundamental untuk menjadikan lembaga yang sehat secara institusional. Pengembangkan sistem pengelolaan perguruan tinggi yang sesuai dengan karakteristiknya serta memiliki akselerasi yang cepat dan mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman. Penerapan SPMI dan SPME adalah keniscayaan untuk membangun kelembagaan tersebut.

Kedua, reorientasi kurikulum, kurikulum pendidikan harus didesain untuk bisa berkembang dan fleksibel dan membuka peluang seluasnya-luasnya untuk setiap saat dilakukan perubahan sesuai perkembangan zaman sesuai dengan kekhasan masing-masing. LPTNU dalam hal ini juga wajib merawat kekhasan tersebut. Pemerintah telah menetapkan kerangka kualifikasi nasional yang wajib dijadikan pedoman dalam penyusunan kurikulum tersebut, agar lulusan LPTNU bisa bersaing dan diterima di masyarakat. Selain itu digitalisasi pembelajaran sebagai penerjemahan kurikulum LPTNU juga wajib dilakukan dengan konsisten dan berkelanjutan.

Ketiga, melek literasi, menghadapi revolusi industri 4.0 agar lulusan bisa kompetitif perlu penyiapan agar lulusan tidak hanya melek dengan literasi lama terkait dengan membaca, menulis dan berhitung. Akan tetapi dibutuhkan literasi baru (Aoun, MIT, 2017) menyangkut kemampuan untuk membaca, analisis dan menggunakan informasi (big data) di dunia digital, lalu kemampuan untuk memahami cara kerja mesin, aplikasi teknologi seperti coding, artificial intelegence, & engineering principles (literasi teknologi) dan yang terakhir yaitu pemahaman tentang nilai-nilai humanities, komunikasi dan desain (literasi manusia).         

Sekali lagi, ikhtiar untuk mewujudkan LPTNU yang ideal seperti yang digambarkan diatas, tentu membutuhkan kerja keras, kerja sama, fokus, pikiran terbuka dan istiqomah yang melibatkan berbagai pihak. Dengan begitu LPTNU akan memiliki peran optimal dan mampu menembus batas (infinix) di era revolusi industri 4.0. Wallahua’lam


Penulis adalah Ketua Desk Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) LPTNU PBNU